1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelajaran Berharga dari Pendidikan di Jerman

Fransisca Mira Hapsari
23 Maret 2020

Melalui tulisan ini saya ingin mengemukakan beberapa hipotesis yang berasal dari pengalaman saya satu setengah tahun bermukim di Jerman. Oleh Fransisca Mira Hapsari.

https://p.dw.com/p/3ZupC
Mahasiswa asing di Jerman
Foto: Privat

Jika ditanya apa yang membuat saya jatuh cinta dengan negara Jerman, salah satunya adalah pendidikannya. Entah mengapa, meskipun dengan banyaknya libur sekolah dan party di universitas, Land der Dichter und Denker – salah satu panggilan negara Jerman yang berarti: Negerinya Para Pujangga dan Pemikir -  ini tetap berhasil mencetak warga negara yang berkualitas.

Fransisca Mira Hapsari
Fransisca Mira HapsariFoto: Privat

Lantas, mengapa? Melalui tulisan ini saya akan mengemukakan beberapa hipotesis yang berasal dari pengalaman saya satu setengah tahun bermukim di Jerman, dari kursus Bahasa Jerman sebagai au-pair dan hampir 1 semester kuliah master di Jerman. Perlu dicatat bahwa pengalaman belajar formal saya di Jerman kebanyakan difasilitasi pengajar Jerman, namun dengan peserta didik yang beragam karena kelas yang saya ambil kelas Internasional (berbahasa pengantar Inggris).

Hipotesis pertama adalah pembelajaran yang aktif dan dua arah. Konsep ini mungkin sudah umum diketahui dan digalakkan sekolah dan institusi pendidikan di Indonesia, namun baru di Jerman saya merasakannya secara langsung. Kesan pertama saya: Menyenangkan! Seminar (kelas kecil di universitas) sering dimulai dengan brainstorming, para profesor meminta pendapat mahasiswa tentang suatu topik, baru kemudian menjelaskan lebih dalam.  Di Indonesia, biasanya murid "duduk manis” secara harafiah, hanya duduk diam mendengarkan guru dan menjawab kalau ditanya. Jika ada murid yang aktif bertanya dan mengemukakan pendapat, bisanya akan dianggap aneh oleh murid lainnya, atau bahkan gurunya. Tapi, jangan khawatir, budaya malu dan takut salah di kelas ini tidak ekskusif milik kita saja, tetapi juga milik orang-orang Asia lain yang saya temui di Jerman. Pada hari pertama di kelas, saya cukup kaget dengan para mahasiswa yang berebut untuk mengemukakan pendapat, terutama mereka yang dari negara Barat. Mahasiswa Asia biasanya baru akan angkat suara ketika ditanya, kecuali mahasiswa India yang juga cukup outspoken seperti mahasiswa western.

Para profesor pun tidak pernah menganggap suatu jawaban atau pendapat salah, mereka hanya mengemukakan kalalu mereka juga berpendapat sama atau berbeda. Banyak pula mahasiswa yang tidak setuju dengan profesor mengemukakan keberatannya, bahkan dengan nada yang menurut saya cukup kasar, sampai malah saya yang merasa tidak enak pada si profesor. Dari sini saya belajar untuk memasang kacamata seperti orang Jerman: tidak ada yang hitam atau putih, salah atau benar, namun semua dapat terletak di suatu titik dalam spektrum yang luas. Hal ini mungkin juga karena bidang studi saya adalah Cognitive Science yang masuk dalam fakultas ilmu sosial, di bidang eksakta tentu saja salah-benar masih dapat lebih dibedakan.

Cafe, Köln, kursus bahasa Jerman
Bersama teman-teman kursus Bahasa VHS Koeln (saya kedua dari kiri), di sebuah Cafe di Koeln, 10 Desember 2018Foto: Privat

Hal kedua adalah fokus pada kelebihan atau kemajuan peserta didiknya. Di tempat kursus maupun universitas, pengajar selalu memberikan feedback positif dahulu sebelum feedback negatif. Mungkin mereka mengerti tentang konsep "sandwich feedback”; menyelipkan feedback negatif di antara feedback positif agar lebih mudah diterima. Meskipun hasil kerja atau pendapat seseorang biasa saja, mereka tetap tak pelit memberikan pujian. Satu kali, saya salah menangkap instruksi dan hanya membuat ringkasan jurnal bagian 1, dari yang seharusnya seluruh jurnal yang mencakup bagian 1-5 (Introduction to discussion). Saya pun panik dan segera minta maaf, namun profesor santai saja dan malah memuji kalau kerja saya bagus, tapi lain kali saya harus membaca instruksi dengan lebih teliti. Budaya ini sudah sejak di keluarga ditanamkan. Saat au-pair, saya melihat anak di keluarga tamu saya sering sekali dipuji untuk hal-hal yang kecil, yang awalnya saya pikir "lebay”, namun ternyata benar-benar berarti untuk si anak dan selanjutnya mendorong dia untuk melakukan lebih baik.

Yang ketiga dan tidak kalah penting, tentunya adalah disiplin. Banyak yang mengatakan kalau orang muda Jerman tidak lagi sedisiplin dulu, namun menurut saya kedisiplinan mereka masih perlu diacungi jempol. Jika Anda bertanya ke orang Jerman, umumnya mereka sudah tahu akan melakukan apa dari jam berapa di hari esoknya, atau akan liburan kemana tahun depan. Begitupun dalam belajar, mereka punya jadwal belajar yang dilaksanakan (tanpa interupsi sosial media tentunya). Bahkan untuk anak TK yang mau bermain ke rumah temannya pun, akan dijadwalkan dari jam berapa sampai jam berapa. Orang tuanya akan mengantar si anak tepat di jam yang ditentukan atau 5 menit lebih awal. Lebih dari 5 menit di awal pun dianggap kurang sopan, misalnya jika saya diundang main jam 5 sore, namun datang jam 4.50 sore.

Di minggu pertama kuliah, saya selalu datang ke seminar mengikuti aturan ini, tepat waktu atau kurang dari 5 menit. Tapi, para profesor selalu sudah lebih dahulu ada di kelas. Di minggu berikutnya baru saya tahu, kalau mereka selalu datang 15-20 menit sebelum seminar untuk mempersiapkan semuanya. Ternyata aturan "5 menit sebelum tenggo” hanya berlaku jika kita berkunjung ke rumah seseorang atau acara-acara pribadi. Selanjutnya saya pun berusaha untuk datang lebih awal lagi, sesuatu yang bertolak belakang dari saat kuliah di Indonesia. Kebiasaan buruk saya, dan mungkin banyak teman mahasiswa lain: jika kuliah dimulai jam 8, saya baru berangkat jam 8 pula. Disiplin orang Jerman pun tidak hanya mencakup kewajiban, namun juga hak. Ketika liburan, tidak ada profesor atau guru di sekolah yang memberikan PR. Mereka akan benar-benar abstain dari bekerja dan belajar; tidak heran hampir semua toko dan bisnis tutup di hari Minggu dan hari raya.

Keempat, adalah Leidenschaft atau passion mereka untuk belajar. Mereka cinta ilmu pengetahuan dan tahu tentang banyak hal: die Deutsche sind eigentlich Besserwisser! Saat mengobrol dengan siapapun, tidak hanya di Uni atau tempat kursus namun juga di kereta maupun di taman kota, setiap orang Jerman rasanya punya suatu hal baru untuk dikatakan yang belum pernah saya dengar. Ada cerita menarik terkait hal ini. Saat berkenalan dengan salah satu teman kuliah saya, sebut saja namanya Minwa (singkatan dari Mineralwasser, karena kebetulan namanya persis dengan salah satu merk air mineral di Jerman), terjadilah percakapan berikut ini:

Minwa (M) = "Halo, namaku Minwa”

Saya (S) = "Oh, seperti air mineral Minwa ya tulisannya?”

M = "Iya, merk itu punya aku” (bercanda)

S = "Seriusan?”

M = "Nggak deh, bercanda”

S = "Kalau itu beneran punya kamu, kamu nggak perlu sekolah lagi ya” (ikut bercanda)

M = "Nggak tuh, aku kan sekolah karena suka bidangnya, bukan demi uang”.

Kalimat terakhir tersebut bukan merupakan bukti bahwa orang Jerman sulit diajak bercanda, namun bukti bahwa jika orang Jerman memilih jurusan kuliah, biasanya karena benar-benar ingin belajar. Di Indonesia, bahkan di universitas unggulan pun, masih banyak pemilihan jurusan berdasarkan motivasi ekstrinsik seperti prospek lowongan kerja, saran orang tua, atau bahkan karena tidak diterima di jurusan favorit.

Universitas Teknik di Kaiserslautern
Universitas Teknik TU Kaiserslautern di malam hariFoto: Privat

Meskipun tidak semua sisi pendidikan Jerman lebih unggul daripada Indonesia, saya merasa beruntung dapat berpartisipasi langsung dalam proses pendidikan di Jerman. Secara singkat, keempat hal itu lah yang menurut saya perlu kita contoh: pembelajaran yang aktif, fokus ke keunggulan, disiplin, dan passionate. Pembenahan karakter pendidikan ini tentunya bukan tugas menteri pendidikan dan guru saja, tetapi justru harus dimulai dari tingkat keluarga. Diskusi yang rasional dan terbuka dapat jadi permulaannya. Jika ada keluarga atau teman yang bertanya, jawablah dengan referensi yang bertanggung jawab, bukan dengan akun hoax atau lambe-lambean. Sejak dalam pikiran, kita sendiri harus aktif dan kritis mempertanyakan berbagai isi dan sumber informasi, jangan sampai asal telan bulat-bulat. Dalam diskusi, hargailah perbedaan pendapat dan singkirkan sejenak emosi sesaat. Niscaya kelak bangsa Indonesia akan melahirkan pujangga dan pemikir pula. Semoga.

* Fransisca Mira Hapsari adalah pemenang kompetisi Blog DWNesia 2020

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.