1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mari Belajar (Ber)Politik

Hendra Pasuhuk8 Oktober 2014

Kubu Jokowi-JK yang dimotori PDIP bertarung keras dengan Koalisi Prabowo di parlemen. Mana yang menang, kubu yang katanya reformis anti korupsi atau Neo Orde Baru? Kolom Hendra Pasuhuk (DW).

https://p.dw.com/p/1DRbG
Foto: picture-alliance/dpa/Bagus Indahono

Publik dan media di Indonesia beberapa minggu terakhir seperti terpaku pada satu isu utama, pertarungan politik dua kubu yang muncul selama pemilu presiden bulan Juli lalu. Untuk mudahnya, kita sebut saja kubu Jokowi-JK melawan kubu Prabowo.

Politik dan politisi memang cenderung melahirkan sebutan-sebutan baru. Pertama, untuk memudahkan penyampaian gagasan. Kedua, untuk mengaburkan tujuan sebenarnya yang ingin dicapai.

Misalnya pilihan nama Koalisi Indonesia Hebat oleh PDIP. Kalau kita mau melihat dengan rasional, apanya yang hebat? Koalisi ini ternyata gagal mengalang dukungan di parlemen dan akhirnya kalah dalam pemilihan ketua DPR. Itu satu contoh.

Selain itu, Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menolak berbicara dengan SBY. Megawati juga menolak menghadiri upacara kenegaraan memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia.

Politik merajuk

Alasan yang dikemukakan tidak jelas, tapi alasan sebenarnya cukup gamblang. Megawati masih kesal dengan SBY karena dianggap tidak loyal. Istilah gaulnya: Megawati merajuk. Lalu apa yang hebat dari seorang politisi yang suka merajuk? Apa yang hebat dari sebuah partai PDIP yang garis politiknya mengikuti pemimpin yang terus-menerus merajuk?

Indonesische Redaktion - Hendra Pasuhuk
Hendra PasuhukFoto: DW

Sedangkan Prabowo memilih nama "Merah-Putih" untuk koalisinya. Alasannya, mereka berjuang demi kepentingan negara dan bangsa. Tapi tindakannya ternyata sangat kekanak-kanakan. Prabowo "ogah" mengaku kalah, karena menganggap dirinya sebenarnya lebih tampan dan lebih pintar dari Jokowi. Bagaimana dia bisa kalah?

Jadi Prabowo merajuk terhadap rakyat pemilih, karena mereka secara mayoritas menolak dia. Bagaimana Koalisi Prabowo bisa mengklaim bertindak "demi kepentingan negara dan negara", kalau urusannya hanya merajuk karena tidak dipilih rakyat, lalu berusaha membabi-buta mengganjal pemerintahan Jokowi-JK?

Belajar mengingat

Kita tidak perlu terpengaruh pada nama-nama hebat dan simbolisme yang bermegahan. Kita juga tidak perlu apatis dengan perkembangan politik di Indonesia. Pertarungan politik adalah hal biasa yang terjadi dimana-mana.

Yang penting, pemilih harus belajar mengamati dan melatih ingatan, agar tidak cepat lupa. Media harus bisa memaparkan latar belakang suatu tindakan politik dan apa saja konsekuensinya yang mungkin harus dihadapi rakyat Indonesia.

Para pemimpin politik perlu belajar dari kekalahan, untuk tampil lebih baik lagi kali berikutnya, atau mundur dan memberi kesempatan kepada mereka yang lebih mampu.

Untuk memahami politik, kita tidak perlu belajar tinggi-tinggi sampai ke luar negeri. Yang perlu adalah pengamatan dan akal sehat, lalu kesabaran dan sikap tidak cepat percaya.

Pada akhirnya, politisi yang berhasil adalah mereka yang berkerja keras, dengan niat baik yang tulus. Merekalah yang harus kita dukung, apapun nama partai atau kubu politiknya.