1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

041209 START Russland

5 Januari 2010

Masa berlaku Perjanjian START yang membatasi jumlah senjata atom AS dan Rusia berakhir Desember lalu. Namun hal ini tidak berarti akan dimulai kompetisi baru siapa memiliki senjata nuklir lebih banyak.

https://p.dw.com/p/LLXt
Ketika perjanjian START 1 diratifikasi tahun 1991Foto: picture-alliance / dpa

Perjanjian pengurangan persenjantaan strategis START merupakan langkah penting dan logis dalam upaya pengurangan persenjataan nuklir internasional. Selama Perang Dingin perundingan terkait pembatasan jumlah senjata atom penting sekali. Namun kini, tidak terbayangkan AS dan Rusia menambah simpanan senjata atom strategisnya dan konflik atom pun tidak mungkin terjadi.

Kepentingan Rusia menyetujui perjanjian tersebut berbeda dengan AS. Menurut pakar militer independen Pawel Felgengauer, simpanan senjata atom Rusia memang berkurang setiap tahun dengan alasan, sebagian besar rudal Rusia dibuat di zaman Uni Soviet. Sehingga memang senjata-senjata itu harus ditarik dari peredaran karena tidak dapat dipakai lagi. Karena itu, pemerintah Rusia menginginkan AS menyamakan jumlah senjatanya dengan Rusia. Felgengauaer, selain itu, Rusia menginginkan AS membatasi jumlah penangkis rudalnya. Tentunya potensi Rusia sebagai pemilik senjata nuklir bisa diupayakan berakhir. Tidak hari ini ataupun besok, akan tetapi hingga tahun 2030. Hal ini di Rusia dapat dipandang sebagai bencana untuk kepentingan strategis mereka.

Sedangkan bagi AS perjanjian tersebut pada dasarnya mempunyai arti taktis. Kembali Pawel Felgengauer, Obama memerlukan perjanjian itu, agar hubungannya dengan Rusia membaik. Supaya permasalahan ini dapat diselesaikan dalam suasana yang lebih baik. Dan ini memang sangat penting bagi AS. Pemerintah AS mengharapkan dengan menandatangani perjanjian tersebut, Rusia akan merasa diperlakukan sederajat dan sikapnya akan berubah. Namun sampai saat ini belum ada perjanjian yang disepakati. Dan yang diharapkan dapat memperbaiki suasana, mungkin justru berdampak kebalikannya.“

Felgengauer menambahkan, bahwa alasan terhambatnya penandatanganan perjanjian tersebut kemungkinan adalah penyelesaian masalah-masalah teknis.

Menurut Aleksandr Pikajew dari Pusat Keamanan Internasional IMEMO, ada dua masalah kecil yang menghambat penandatanganan perjanjian START. Pertama, peraturan bagaimana menghitung senjata. Kedua, metode apa yang harus diterapkan untuk mengurangi senjata.

Dalam KTT di Moskow Juli lalu Barack Obama dan Dimtry Medvedev menyepakati pembatasan jumlah senjata nuklir antara 500 hingga 1.100 sistem peluncur nuklir dan 1500 hingga 1675 hulu ledak nuklir. Namun masalahnya, demikian tutur Pikajew, cara menghitung dan pengkategorian senjata. Mislanya bagi AS kapal selam yang aktif di laut patut dihitung sebagai sistem peluncur rudal. Sedangkan kapal selam yang berada di sebuah galangan kapal karena inti reaktornya diganti, tidak dikategorikan sebagai senjata. Dengan cara demikian, sekitar 1.500 hulu ledak tidak termasuk dalam pengkategorian AS sebagai senjata, lanjut Pikajew.

Masih ada persyaratan AS lainnya, yang belum disetujui oleh Rusia. Seperti pengawasan ketat oleh AS terhadap rudal Topol Rusia.

Walaupun tahun ini Dimtry Medvedev dan Barack Obama menandatangani kelanjutan perjanjian START, pejanjian itu masih harus diratifikasi oleh parlemen di Moskow dan senat di Washington. Nampaknya di Duma, lembaga yang diawasi pemerintah Rusia, tidak akan ada masalah. Namun berbeda dengan halnya di senat AS. 60 kursi yang dimiliki kubu demokrat di senat tidak mencukupi untuk mendukung ratifikasi perjanjian baru START. Masih dibutuhkan dukungan dari beberapa senator Republik. Semakin banyak kelonggaran yang diberikan Obama pada Rusia, kemungkinan perjanjian itu diratifikasi di senat semakin tipis. Pakar militer independen Felgengauer, bukan hanya anggota Republik yang akan menyerang Obama, akan tetapi kemungkinan besar juga anggota Demokrat lainnya. Di dalam negeri ratifikasi itu mungkin gagal. Karena itu, Obama harus meningkatkan upayanya. Ia harus berusaha agar kesepakatan dengan Rusia tercapai sekaligus ratifikasi kelanjutan perjanjian."

Vladimir Sergejew / Andriani Nangoy

Editor. Hendra Pasuhuk