1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masih Diancam, Israel Urung Akui Duet Haniya-Abbas

19 Maret 2007

Israel dan Palestina belum akan tenang, bahkan setelah terbentuknya pemerintahan baru yang mengusung koalisi antara Hamas dan Fatah. Apa pasal?

https://p.dw.com/p/CIu1
Presiden Mahmud Abbas dan PM Ismail Haniya
Presiden Mahmud Abbas dan PM Ismail HaniyaFoto: AP

Adalah pidato Perdana Menteri Ismail Haniya yang menjadi akar persoalan. Di hadapan Parlemen Palestina akhir minggu lalu, Haniya mengecam Israel dan mengancam akan menggelar perlawanan bersenjata.

Tak pelak pidato tersebut ditanggapi oleh Yerusalem dengan sikap keras. Tidak bisa ditolelir sama sekali, begitu menurut sumber di Yerusalem. Bukan hal yang aneh jika lantas Perdana Menteri israel Ehud Olmert menolak mentah-mentah bekerjasama dengan pemerintahan baru Palestina di bawah Ismail Haniya.

Dalam pidatonya hari Sabtu (17/03), Haniya menekankan bahwa rakyat Palestina berhak untuk melawan pendudukan Israel. Tidak butuh waktu lama, sehari kemudian pemerintah Israel mengumumkan, bahwa pemerintahan baru Palestina belum bisa dijadikan mitra perundingan.

Perdana Menteri israel, Ehud Olmert mengatakan, "Saya kira, pemerintah baru Palestina tidak memberikan banyak pilihan untuk memulai dialog. Mereka juga membatasi agenda perundingan. Kalau seandainya ada pemerintahan Palestina yang menyanggupi syarat yang diberikan dunia internasional, maka kami bisa saja memperbesar cakupan tema perundingan, yang juga bisa kami bahas dengan presiden pemerintahan otonomi Palestina."

Berbeda dengan sikap Olmert, beberapa negara Barat, misalnya Norwegia, bersedia mencabut blokade keuangan dan membuka kembali hubungan diplomasi dengan pemerintah Palestina.

Norwegia juga berencana mengirimkan pejabat setingkat sekretaris negara ke Ramallah untuk memulai perundingan. Bahkan sebagian besar penduduk Israel setuju agar pemerintahan Yerusalem duduk satu meja dengan pemerintah Palestina.

Di lain pihak, Perdana Menteri Ismail Haniya untuk kesekian kalinya menegaskan, bahwa pemerintah Palestina akan mendirikan sebuah negara di wilayah yang diduduki Israel sejak 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibukota negara. Sebenarnya, dengan pernyataan itu, Haniya sudah mengakui hak eksistensi Israel.

Tapi buat pemerintah di Yerusalem, pernyataan itu saja belum cukup. Olmert menuntut Haniya untuk mengakui eksistensi Israel secara formal antara pemerintah. Tidak hanya itu, Israel juga mendesak pemerintah Palestina mencabut tuntutannya atas pengembalian pengungsi Palestina dari wilayah yang didukui Israel sejak 40 tahun lalu.

Pengakuan terhadap eksistensinya juga sedang dinanti Israel dari pertemuan puncak negara-negara Arab di Riad, Arab Saudi, akhir bulan ini. Di sana, inisiatif perdamaian Arab Saudi yang digagas empat tahun silam akan kembali dibahas.

Inisiatif perdamaian itu mensyaratkan penarikan mundur habis-habisan pasukan Israel dari wilayah yang didudukinya sejak 1949. Jika syarat tersbut dipenuhi, maka negara-negara Arab akan mengakui eksistensi Israel.

Raleb Majadleh, satu-satunya menteri berkebangsaan Arab yang duduk di kabinet Israel mendesak, agar Yerusalem menyikapi inisiatif itu dengan serius. Dikatakannya, "Kita harus menjawab desakan damai yang diajukan segitiga negara-negara Arab, yakni Mesir, Arab Saudi dan Yordania. Kita tidak boleh memenjarakan diri sendiri. Sebaiknya kita segera menyikapi hasil pertemuan puncak di Riad, yang tentunya akan mengajukan syarat penarikan mundur pasukan dari wilayah yang diduduki untuk sebuah pengakuan resmi. Kita tidak harus menghadapi dunia sendirian, tapi bersama-sama dengan mereka yang menginginkan perdamaian."