1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masih Layakkah Reklamasi di Tengah Krisis Iklim?

Martin Kübler
16 Mei 2023

Reklamasi semakin digemari di Asia kendati merusak lingkungan. Sebagian proyek bahkan diklaim bersifat ekologis, tanpa memitigasi kerusakan yang muncul dari penambangan pasir atau pengrusakan ekosistem dasar laut.

https://p.dw.com/p/4RMzv
Proyek reklamasi di Qinzhou, Cina
Proyek reklamasi di Qinzhou, CinaFoto: Zhang Ailin/Photoshot/picture alliance

Reklamasi sudah digunakan sejak berabad-abad untuk mengontrol banjir, atau untuk meluaskan lahan pertanian dan industri pesisir.

Biasanya, proses reklamasi diawali dengan membangun tanggul di sekitar zona pasang surut yang lalu dikeringkan. Dalam sejumlah kasus, pengembang harus mengalihkan sungai untuk menjamin pasokan sedimen ke wilayah reklamasi. Tanah dan bebatuan di daratan juga bisa ditambang untuk memperluas pulau atau kawasan pesisir.

Seringkali, lahan reklamasi berada di bawah permukaan air laut. Fenomena ini bisa dijumpai di hampir sepanjang pesisir Belanda, di mana air laut harus dipompa secara manual ke luar untuk menghalau banjir rob.

Saat ini, proyek reklamasi dijadikan ujung tombak untuk perluasan kota-kota di pesisir dan menjadi "fenomena global," menurut sebuah riset yang dipublikasikan di jurnal Earth's Future awal tahun ini. Studi yang dibuat dengan menganalisa citra satelit di kota-kota pesisir di dunia itu mencatat, proyek reklamasi di 106 kota menciptakan lahan baru seluas 2.530 km per segi. 

Hampir 90 persen proyek reklamasi tercatat berada di Asia Timur dan kebanyakan untuk memperluas kawasan industri atau pelabuhan. Cina merupakan negara yang paling getol menguruk laut, disusul Singapura dan Korea Selatan.

"Pertumbuhan kawasan urban merupakan sumber keuntungan yang besar di Cina dan negara lain," kata Young Rae Choi, ahli tata laut dan pesisir yang terlibat dalam riset tersebut. Reklamasi dinilai memudahkan pengembang untuk "memulai dari nol", ketimbang mengupayakan lahan di tengah kota.

Kenapa Dunia Terancam Menghadapi Krisis Pasir?

Risiko banjir dan badai

Choi mengatakan, hingga baru-baru ini, proyek reklamasi jarang memperhitungkan bahaya kenaikan air laut sebagai dampak perubahan iklim. "Isunya menjadi semakin serius beberapa tahun terakhir," kata dia. "Tapi secara umum, jika Anda melihat daratan-daratan baru yang direklamasi selama 20 tahun terakhir, mereka tidak benar-benar siap menghadapi kenaikan muka laut."

Menurut riset Earth's Future, ekspansi wilayah pesisir banyak dilakukan di daratan rendah, dengan lebih dari 70 persen lahan "menghadapi risiko tinggi diterjang banjir rob antara 2046 dan 2100," antara lain karena intensitas badai yang menguat atau penurunan muka tanah.

"Kita menyimak kasus di mana lahan yang baru direklamasi mulai banjir," kata Choi lagi. Dia menyontohkan kota pesisir Korea Selatan, Busan, yang kewalahan menghadapi dampak topan ekstrem, meski telah membangun tembok laut.

Namun begitu, Fredrick Leong, direktur lingkungan untuk firma desain Australia, Aurecon, sebaliknya meyakini reklamasi masih menguntungkan. "Ia akan tetap menjadi solusi bagi banyak negara di dunia untuk menjawab kebutuhan mendesak bagi urbanisasi dan pertumbuhan kota, serta untuk menyeimbangkan ekonomi dan lingkungan," tulisnya via Email.

Leong banyak mengerjakan proyek reklamasi di Hong Kong atau Cina daratan. Menurutnya, kota-kota di Asia sudah mulai berinvestasi untuk melibatkan teknik reklamasi yang "futuristik," antara lain mencakup desain tanggul yang lebih kokoh.

Nelayan di Utara Jakarta Korban Reklamasi Perluasan Lahan

Reklamasi ekologis?

Choi mengakui, sebagian proyek reklamasi saat ini sudah dikembangkan sebagai proyek ramah lingkungan, seperti konsep "kota ekologis" di Tianjin atau Tangshan, di dekat Beijing, Cina. Proyek semacam itu mewajibkan rehabilitasi lahan basah, pembangunan terumbu karang artifisial, infrastruktur ramah energi, atau hutan bakau yang berfungsi sebagai tembok badai.

Menurutnya, label ekologis dalam proyek reklamasi berpotensi menutupi dampak destruktif terhadap ekosistem lokal. Studi Earth's Future mencatat, pengurukan laut justru merusak lahan basah, rawa atau hutan bakau. "Lebih dari separuh lahan berlumpur di bantaran Sungai Kuning sudah punah akibat reklamasi."

Selain itu, penambangan bahan baku yang dibutuhkan untuk pengurukan laut juga memicu dampak lingkungan, kata Frederik Leong dari Aurecon.

"Menggunakan pasir yang ditambang dari ekosistem sungai atau laut berarti kerusakan pada habitat dan lahan reproduksi bagi organisme-organisme, yang bisa berdampak serius pada rantai makanan, dari sudut pandang konservasi lingkungan," kata dia. Salah satu cara untuk mereduksi dampaknya adalah dengan menggunakan bahan baku alternatif untuk pengurukan, mulai dari limbah konstruksi atau aspal.

Saat ini, sejumlah negara sudah melarang ekspor pasir, termasuk Kamboja, Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Dampaknya yang berupa kelangkaan pasir memaksa pengembang untuk menambang pasir dan tanah liat dari dasar laut. Tapi dalam prosesnya, praktik ini merusak ekosistem dasar laut.

"Perencana tata kota seringkali berpikir bahwa kawasan ini adalah kawasan kosong. Padahal tidak sama sekali. Ada banyak komunitas manusia atau nonmanusiawi yang bergantung hidup dari laut," pungkasnya.

rzn/hp