1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah:Doktrin atau Buka Wawasan?

Zaky Yamani
Zaky Yamani
15 Agustus 2018

Pernah memperhatikan, apa yang dipelajari anak sekolah hingga mahasiswa di Indonesia tentang sejarah tanah airnya? Butanya kita pada sejarah juga berarti butanya kita pada hari ini dan masa depan.

https://p.dw.com/p/31Rcc
Indonesien Jakarta chinesisches Museum
Foto: Monique Rijkers

Beberapa kali saya mendapat kesempatan mengajar di perguruan tinggi swasta. Saya mengajar bidang jurnalisme, dan karenanya saya merasa perlu tahu apa yang mahasiswa saya ketahui tentang sejarah jurnalisme di Indonesia. Dari empat kelas yang pernah saya ajar, tak satu pun mahasiswa di kelas saya tahu tentang sejarah jurnalisme di Indonesia.

Ketidaktahuan para mahasiswa itu membuat saya penasaran untuk terus bertanya, apa yang mereka ketahui tentang sejarah Indonesia, setidaknya mulai dari awal abad 20? Para mahasiswa itu pun tak tahu apa-apa. Saya tarik maju lagi, saya tanya apa yang mereka tahu tentang Indonesia sejak 1945 sampai 1965. Tak banyak juga pengetahuan mereka, kecuali tentang Sukarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Tentang 1965, hanya satu yang mereka tahu, bahwa di tahun itu Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan. Hal itu membuat kening saya mengerut.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Lalu saya tanya lagi mereka, apa yang mereka ketahui tentang Indonesia sejak 1965 sampai 1998. Ada sebagian yang menjawab, masa itu adalah masa ketika hidup rakyat mudah, dan diakhiri dengan mundurnya Suharto pada 1998 karena ada demonstrasi mahasiswa. Kening saya semakin mengerut. Lalu saya tanya, "Kalian tahu sejarah Indonesia dari mana?” Semuanya menjawab sama, "Dari pelajaran sejarah sejak SD sampai SMA.”

Pelajaran sejarah, mengasyikan atau membosankan?

Saya tanya lagi, "Kalian suka pelajaran sejarah?” Semuanya menjawab tidak. Umumnya, alasan mereka karena pelajaran sejarah di sekolah membosankan, dan guru hanya menuntut para siswa untuk menghapal nama-nama tokoh, lembaga-lembaga, dan tanggal-tanggal kejadian.

Didorong rasa penasaran, saya kemudian membaca buku pelajaran sejarah untuk SMA  dari dua kurikulum berbeda: kurikulum 2006 dan kurikulum 2013. Kurikulum 2006 isinya nyaris tak ada bedanya pelajaran sejarah yang diajarkan pada masa Orde Baru. Tak ada narasi dan penjelasan yang kaya tentang bagaimana sejarah mengalir. Isinya lebih banyak tentang kejayaan, sejak zaman kerajaan-kerajaan, sampai zaman modern.

Begitu juga tentang pergantian kekuasaan, isinya masih seperti dulu: seakan-akan pergantian kekuasaan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru sampai ke "Orde Reformasi” terjadi dengan normal. Seakan-akan setiap pergantian kekuasaan itu semuanya berjalan normal dan lembut. Konflik-konflik sosial yang menyertai setiap pergantian kekuasaan itu tidak disampaikan, alasan-alasan pergantian kekuasaan juga tidak dibahas. Tak terasa ada rangsangan bagi siswa untuk melihat alur sejarah itu dengan kritis dan memancing diskusi.

Di buku pelajaran sejarah kurikulum 2013, isinya sudah lebih baik. Ada upaya kepada guru dan siswa untuk mendiskusikan materi sejarah, dan siswa didorong untuk mencari sumber-sumber informasi lain tentang sejarah negeri ini. Namun, saya melihat materi di dalam buku pelajaran sejarah Indonesia isinya masih kental dengan doktrin untuk membuat siswa bangga dengan sejarah bangsanya, bukan untuk menjadi pembelajar yang kritis. Saya khawatir, jika guru sejarahnya tidak memperkaya diri dengan perkembangan pengetahuan sejarah, pelajaran sejarah akan kembali tergelincir ke masa Orde Baru: menjadi alat doktrin, alih-alih menjadi pembuka pikiran kritis.

Misalnya saja dalam pemaparan konflik politik dan sosial tahun 1965, G30S. Narasi sejarah yang disampaikan masih didominasi narasi sejarah versi Orde Baru, tanpa membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang mendorong terjadinya peristiwa itu, dan peristiwa berdarah yang terjadi sesudahnya: pembantaian ribuan (bahkan ada juga klaim jutaan) warga yang dituding sebagai simpatisan PKI.

Narasi itu bagi saya mengerikan. Pertama, tidak ada narasi mengenai situasi nasional dan internasional yang utuh terkait peristiwa G30S, dan PKI masih dijadikan sebagai satu-satunya penyebab peristiwa itu. Kedua, narasi itu mengarahkan siswa untuk melihat PKI sebagai satu-satunya tokoh jahat, dan dengan demikian harus dibasmi. Ketiga, dengan justifikasi pembasmian PKI itu, jika suatu hari siswa mengetahui bahwa Indonesia pernah melakukan pembantaian massal terhadap warganya sendiri, siswa akan menganggap hal itu sebagai wajar dan sudah seharusnya.

Saya pernah punya pengalaman tentang hal itu. Suatu hari saya memberi tugas kepada para mahasiswa saya di dua kelas (jumlah totalnya sekitar 80-90 orang) untuk membuat paper tentang dua film dokumenter karya Joshua Oppenheimer, "Jagal” dan "Senyap”. Dari seluruh paper yang dikumpulkan, sekitar 80 persen lebih terfokus pada teknik pembuatan film, dan tidak banyak menyentuh situasi moral di film itu. Jika pun ada yang menyentuh masalah moral film itu, argumentasinya kurang lebih "wajar ada pembantaian karena PKI itu pemberontak.”

Yang mengagetkan, sekitar 20 persen paper memaparkan bahwa film itu menceritakan kekejaman PKI dalam melakukan pembantaian terhadap rakyat Indonesia. Tadinya saya pikir, mereka yang membuat paper itu tidak menonton filmnya dan asal membuat paper. Tetapi setelah berkali-kali saya konfirmasi, saya ketahui mereka memang menonton dua film itu, tapi mereka tak sanggup untuk lepas dari kerangka berpikir bahwa yang seharusnya jahat dan melakukan pembantaian itu PKI, bukan negara, walau pun film itu mengungkap fakta yang sebaliknya.

Bagi saya ini bukan persoalan sepele, karena tidak seharusnya ada manusia yang memaklumi (bahkan membenarkan) sebuah pembantaian. Lebih sulit lagi bagi saya untuk menerima manusia yang tidak bisa melepaskan doktrin yang mengungkung kepalanya, sampai-sampai memaksa menulis paper yang menceritakan kejadian yang sebaliknya dari fakta yang terpampang.

Fakta itu juga menakutkan

Karena butanya kita pada sejarah juga berarti butanya kita pada hari ini dan masa depan. Misalnya, jika siswa sekolah tak pernah diajarkan tentang bagaimana konflik-konflik sosial terjadi—sejak zaman prakemerdekaan sampai masa kemerdekaan—mereka tidak akan pernah punya pengetahuan untuk menghindarkan konflik-konflik sosial hari ini dan di masa mendatang. Lebih menakutkan lagi, mereka yang pikirannya sudah terkungkung doktrin sanggup untuk menganggap wajar sebuah peristiwa pembantaian.

Karena buta sejarah, Indonesia akan selalu terancam mengulang banyak kejadian berdarah dalam alur sejarahnya sendiri: mulai dari pembantaian ratusan ribu  orang yang dituduh komunis pada 1965, kerusuhan yang memporak-poranda Jakarta pada 1998, konflik antar agama di Ambon, konflik antar suku di Sampit, dan berbagai konflik berdarah lainnya.

Akibat-akibat dari kebutaan akan sejarah konflik-konflik itu, menurut saya, sudah terpampang belakangan ini: persekusi dan pengusiran massal terhadap warga Ahmadiyah dan Syiah, sentimen rasial anti warga Tionghoa yang selalu dipelihara dari dulu sampai sekarang, juga sikap-sikap anti-toleransi terhadap suku dan agama lain yang yang terjadi di berbagai daerah, dan disirkulasikan melalui media-media sosial. Bahkan masih tetap saja ada yang menganggap wajar sebuah aksi persekusi. Misalnya dalam peristiwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok baru-baru ini. Tak henti saya menatap respon pengguna media sosial yang mengatakan, "Biar saja, mereka itu sesat.”

Sementara itu, masyarakat yang merasa bahwa kelompok-kelompok intoleran itu sebagai gangguan, juga tidak banyak yang memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya kelompok-kelompok intoleran itu bukan saja mengganggu kenyamanan, tetapi berbahaya bagi kemanusiaan. Salah satu sebabnya, saya yakin, karena sebagian besar dari kita tidak banyak memiliki referensi sejarah tentang bangsa kita sendiri, dan tidak memiliki kesadaran bahwa sebuah tragedi bisa terulang karena masyarakat tidak memiliki ingatan akan tragedi sebelumnya.

Di titik itu, ketidakpedulian para pihak yang terkait dengan pendidikan sejarah, adalah dosa bagi peradaban dan kemanusiaan.

Penulis:

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.