1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mati Ketawa Cara Arab

Andy Budiman1 Juli 2014

Pada masa represif, tertawa bisa menjadi tindakan paling subversif. Seorang satiris Arab dibungkam karena mengajak orang tertawa.

https://p.dw.com/p/1CTIR
Foto: GMF

Hari-hari belakangan ini, hidup terasa semakin berat bagi rakyat Mesir. Kekerasan demi kekerasan, harga-harga yang terus melambung, dan kebencian yang terus disebarkan, membuat mereka tak lagi yakin tentang arah perubahan.

Pada masa sulit inilah, seorang satiris muncul. Bassem Youssef, seorang dokter ahli bedah jantung mengajak orang menertawakan apa saja: diri sendiri maupun kekuasaan.

Al-Bernameg atau Program, demikian nama acara satir berita TV yang ia bawakan, setiap episode disaksikan lebih dari 30 juta orang. Ia memecahkan rekor paling banyak dilihat di kanal YouTube, dengan jumlah penonton lebih dari 200 juta penonton.

Menertawakan para Islamis

Pada masa ketika kelompok Ikhwanul Muslimin berkuasa, Bassem dipandang sebagai ancaman.

Ia sempat digugat dengan tuduhan menghina presiden Mohamed Mursi dan Islam. Saat diperiksa, Bassem sempat-sempatnya mengirim tweet menjelaskan kepada para followernya bahwa dia ditangkap karena polisi dan jaksa ingin berfoto bersama dirinya.

Bassem Youssef disebut sebagai Jon Stewart versi Arab. Pada suatu ketika, ia diundang sebagai tamu acara satir terkenal Amerika itu dan ditanya pandangannya tentang Ikhwanul Muslimin. Sambil merenung ke arah host ia berkata ”Mereka insecure… (masih) terperangkap di usia remaja. Mereka masih berjerawat dan sibuk dengan…saya tidak tahu…tubuh mereka yang berbulu…"

Pada sebuah episode Program lainnya, ia mengatakan ingin membahas pernyataan presiden. Pada layar lalu muncul foto Mohammed Badei, yang langsung diralat dengan panik oleh Bassem “Bukan, bukan dia, sialan… bukan dia.” Dengan cara jenaka, Bassem ingin menyindir bahwa “presiden Mesir sesungguhnya” adalah penasihat spiritual Ikhwanul Muslimin tersebut bukan Mohamed Mursi.

Tertawa dan rasa takut

Bassem Youssef bisa menertawai siapa saja, termasuk mereka yang menggunakan agama untuk menakut-nakuti orang lain.

Pilihannya untuk melawan kelompok Islamis Mesir lewat lelucon, bisa jadi mengingatkan kita pada “In The Name of the Rose”. Ada sebuah dialog, dimana William of Baskerville -- tokoh utama magnum opus Umberto Eco itu -- bertanya kepada Jorge de Burgos, pastor fanatik yang membunuh para biarawan yang membaca kitab humor: "Apa yang menakutkan dari tertawa?“

Burgos, sang bigot menjawab: “Tertawa membunuh rasa takut. Tanpa rasa takut tidak ada Iman. Kalau manusia tidak lagi takut… mereka tidak lagi butuh Tuhan“.

Hubungan tertawa dengan rasa takut itulah yang menjadi tema utama Bassem ketika berbicara di Bonn.

“Rasa takut adalah senjata untuk mengintimidasi orang lain,” kata Bassem sambil menambahkan bahwa rasa takut membuat orang menjauh dari rasionalitas.

“Satir dan komedi adalah antidote melawan rasa takut.“

Ketika anda tertawa, kata Bassem, anda tak akan lagi merasa takut.

Lelucon menertawakan dunia yang retak, sementara kaum fanatik ingin menegakkan kesempurnaan. Itulah yang menjelaskan kenapa kelompok Islamis di Mesir membenci Bassem yang suka cengar cengir di depan kamera dengan tatapan nakal mengejek.

Meski, Bassem berterimakasih kepada mereka, para pendukung Ikhwanul Muslimin dan kaum Salafi, yang ia sebut ikut berpartisipasi menaikkan rating acaranya.

Kini musuh Bassem bertambah. Setelah rezim Islamis tumbang, kini rezim militer yang berkuasa juga melihat ia sebagai ancaman. Acaranya satirnya di televisi dilarang.

Tapi, Bassem tidak takut. Ia berjanji akan terus menularkan keberanian kepada banyak orang untuk menertawakan kekuasaan yang absolut. Tak hanya di Mesir, tapi juga dunia Arab yang sedang bergelut dengan kebebasan.

Bassem Youssef lewat humor-humornya, mengingatkan kita pada buku terkenal era perang dingin "Mati Ketawa Cara Rusia" yang berisi jokes yang mengolok-olok rezim Komunis. Dengan cara yang sama, kini Bassem mengajak kita mati tertawa cara Arab.