1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Medan Perang Medsos: Bagaimana Hoaks Mendikte Pilpres 2019

21 Maret 2019

Kabar hoaks kian membanjiri media sosial jelang Pilpres 2019. Terutama serangan kabar palsu terhadap lembaga penyelenggara pemilu diyakini akan menyisakan dampak jangka panjang pada masa depan demokrasi di tanah air.

https://p.dw.com/p/3FQvZ
Symbolbild Fake-News-Untersuchung in Facebook
Foto: picture-alliance/empics/D. Lipinski

Syahdan seorang penceramah masjid di bilangan Kemang melukis gambaran muram jika Calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin gagal terpilih. Menurutnya tanpa keberadaan ketua umum Majelis Ulama Indonesia itu, kegiatan ibadah seperti istigosah, tahlil dan zikir "tidak akan berkumandang lagi di Istana," kata dia seperti dikutip oleh CNN Indonesia.

Sontak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggugat klaim tersebut sebagai sebuah hoaks dan fitnah. Repotnya Ma'ruf termasuk di antara jemaah yang hadir. Tidak lama berselang muncul konten tandingan di media-media sosial dengan judul, "kyai Ma'ruf khusyuk mendengarkan hoaks."

Baca juga: Semburan Dusta, Lapar Kuasa

Episode muram itu menggarisbawahi rumitnya membedakan antara hoaks dengan persepsi atau pendapat. Hal ini mempersulit upaya memerangi konten fitnah yang kian marak, terutama jelang Pemilu Kepresidenan 2019. Menurut studi yang dirangkai Masyarkat Anti FItnah Indonesia, jumlah kabar hoaks yang memenuhi media sosial meningkat sebanyak 61% antara Desember 2018 dan Januari 2019. Dari sebanyak 109 hoaks yang beredar Januari lalu, sebanyak 58 buah bertemakan Pilpres 2019.

"Narasi dan foto adalah yang paling banyak beredar di masyarakat. Kemudian diikuti dengan narasi serta video dan narasi. Jadi tiga bentuk ini yang paling luas beredar," kata pendiri Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, kepada Deutsche Welle.

Dari 58 hoaks politik yang beredar selama Januari, sebanyak 36,20% membidik Paslon 02. Sementara  Paslon 01 ditimpa oleh fitnah sebanyak 32,75 % dan pemerintah menerima serangan 8 kabar hoaks atau sekitar 13,79%.  "Sebenarnya hoaks yang diarahkan kepada pemerintah, secara tidak langsung diarahkan terhadap Capres 01," kata Septiaji lagi.

Temuan Mafindo bersinggungan dengan data yang dikumpulkan Kementerian Komunikasi dan Informatika. "Memang jumlah hoaks menjelang 17 April cendrung meningkat," kata Jurubicara Kominfo, Ferdinandus Setu, saat dihubungi DW. Sepanjang bulan Maret 2019 saja sudah sebanyak 247 kabar hoaks yang berhasil diidentifikasi Kominfo.

Kominfo mencatat sebagian besar pelaku penyebaran konten fitnah merupakan individu, "tapi sekitar 30% tersindikasi. Artinya hoaks ini dibuat oleh satu atau dua akun, kemudian akun tadi dibagikan oleh akun-akun pendukungnya yang cendrung terafilias," kata Ferdinandus.

Dan tren ini sedang berkembang ke arah yang lebih berbahaya.

Baca juga: Perangi Hoaks, Keminfo Pastikan Pembatasan Pesan Terusan di WhatsApp

"Dalam beberapa bulan terakhir kita melihat ada beberapa hoaks yang ditujukan untuk mendelegitimasi proses pemilu ini, misalnya hoaks tentang tujuh kontainer surat suara. Meski diarahkan untuk menghajar Capres 01, hoaks ini juga membangun persepsi bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) tidak netral," kata dia.

KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) belakang memang serinb dilanda gelombang fitnah. Usai hoaks tentang tujuh kontainer surat suara, KPU misalnya digosipkan berniat mencetak kotak suara di Cina. Ketua KPU, Arief Budiman, bahkan pernah diisukan sosok yang sama dengan Soe Hok Djin, adik kandung Soe Hok Gie, aktivis Tionghoa pada dekade 1960an.

Delegitimasi kepada penyelenggara Pemilu sempat memicu dorongan agar Indonesia turut menghadirkan pemantau asing untuk mengawasi jalannya Pilpres 2019. Insiatif yang dicetuskan tim sukses Prabowo-Sandiaga Uno itu juga sempat menjadi tren di Twitter.

Tidak heran jika Septiaji meminta warganet bisa membedakan bobot setiap hoaks, bergantung pada dampak riilnya kepada masyarakat. "Kami menekankan supaya masyarakat tidak terpaku pada angka saja. Karena ada satu hoaks yang dampaknya lebih serius dibandingkan hoaks yang lain."

Menurutnya hoaks yang menyerang lembaga penyelenggara Pemilu "bisa menimbulkan problematika lain yang akan berlangsung lama setelah pemilu selesai, salah satunya adalah ketidakpercayaan publik pada pemerintah yang terpilih," kata dia. Dia misalnya mencontohkan hoaks tentang Joko Widodo seorang penganut komunisme yang hingga kini masih menemukan gaung di masyarakat dan dipercaya oleh sekitar 6% pemilih.

Baca juga: Jokowi 'Lebay' Soal Hoaks? Hoaks Perlu Ditangkal Jika Ingin Mendominasi Politik

Namun begitu Ferdinandus Setu, Jurubicara Kemkominfo, meyakini gelombang hoaks akan banyak mereda pasca Pilpres 2019. "Kebanykaan hoaks politik memiliki kepentingan pemilu. Artinya nanti kalau sudah selesai kami yakin hoaks yang nanti muncul cendrung tidak lagi ada gunanya. Jadi pertarungan sudah selesai di 17 April itu kalau dilihat dari pergerakan hoaks selama ini," kata dia.

Perkiraan Kominfo berbeda dengan persepsi Mafindo. Septiaji Eko Nugroho sebaliknya meyakini permusuhan yang terbangun selama pilpres akan meninggalkan jejak di kemudian hari.

"Seandainya pemilu usai, tapi latarbelakang perselisihan kedua kubu ini belum diatasi, saya masih yakin hoaks akan selalu ada, meski relatif berkurang. Karena latarbelakang kebencian sangat kentara sekali," kata dia. "Tanpa rekonsiliasi antara kedua kubu, kita kurang yakin jumlah hoaks akan turun secara signifikan." (rzn/hp)


Tiga Pesan Rudiantara buat Pengguna Facebook Indonesia