1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Media Israel dan Perang Libanon

28 Juli 2006

Perang di Libanon meletus secara tiba-tiba. Media Israel sejak awal langsung memberitakan tentang perang.

https://p.dw.com/p/CPCy
Jurnalis kondang Israel Gideon Levy
Jurnalis kondang Israel Gideon LevyFoto: AP

Hanya beberapa jam saja setelah serangan Israel, stasiun televisi sudah menayangkan gambar-gambar dengan judul “Israel berperang” atau “Israel dalam keadaan perang”. Sejumlah wartawan dengan memakai rompi anti perluru dan helem berebutan turun ke lapangan untuk mendapatkan bahan untuk berita baru. Dimana-mana terlihat kendaraan televisi yang sedang menyiapkan siaran langsung. Roket Katjusha baru saja dilepas, gambar-gambarnya sudah disiarkan oleh stasiun televisi. Sekali waktu seorang wartawan sedang meliput yang ditayangkan langsung, ia hampir saja menjadi sasaran roket yang akhirnya meledak di sampingnya.

Dua koran Israel bahkan pernah menyelipkan stiker dengan tulisan “Kita akan menang”. Para reporter radio mengawali laporan mereka dengan menyebut “tentara kita”, “pesawat tempur kita” atau “kapal perang kita”. Dan para moderator pasti menyempatkan diri untuk memanjatkan doa terlebih dahulu bagi tentara yang sedang bertempur di medan perang.

Hampir semua warga Israel mempunyai penilaian yang sama tentang perang ini: perang ini diperlukan, karena perang ini melawan gang teror yang tidak hanya mengancam Israel tetapi membuat warga Libanon pun menjadi tawanan.

Hanya sedikit suara warga yang tidak senada dengan suara mayoritas, contohnya jurnalis kondang Gideon Levy. Dari kawasan Palestina setiap minggu ia menulis reportase untuk harian Ha’aretz. Ia selalu menulis komentar yang menentang pendudukan Israel. Gideon Levy adalah orang pertama yang berani mengutarakan pendapatnya di depan publik yang berlawanan dengan arus.

“Tidak, saya kira ini bukan perang yang dilancarkan untuk menjaga perbatasan negara kami. Perang ini dipaksakan, dibuat-buat dan menurut saya tidak dapat diterima. Memang ada serangan dan provokasi terhadap Israel, itu benar, tapi pertanyaan di sini adalah balasan apa yang sepadan dan dampaknya apa nantinya?”

Namun, kini yang berkuasa di Israel adalah militer. Tayangan televisi dipenuhi analisa pensiunan perwira. Contohnya Dani Rothschild, dulunya ia bekerja untuk Dinas Rahasia Israel di Aman, ia disewa oleh televisi Israel “Channel Sepuluh”:

“Kami harus mengatakan kepada publik, bahwa ini adalah perang kami. Kami bukan kakitangan Amerika Serikat. Kami membela wilayah kami di utara, kami membela diri dari roket Katjusha.”

Akan tetapi, sayang sekali yang jarang ditayangkan adalah suara dari rakyat biasa. Ada pengecualian, pernah sekali Hana Safran, sejarahwati dan pembela gerakan anti-perang, tampil di “Channel Sepuluh”. Ia mengritik, mengapa yang diwawancara kebanyakan adalah laki-laki dan dari kalangan militer?

Saat ini segala pernyataan anti-perang dan diplomati tidak mendapat ruang di media Israel.