1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

'Emang' Boleh Memanfaatkan Nama Besar Orang Tua?

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
18 November 2023

Merupakan berkah tersendiri bagi orang-orang yang lahir di keluarga elite dan tidak perlu bersusah payah bila ingin membangun karier pribadi atau bersekolah di lembaga pendidikan terbaik. Yang lain? Silakan gigit jari.

https://p.dw.com/p/4W3FL
Anies-Cak Imin, Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud
Gambar calon-calon peserta pemilu presiden-wapres.Foto: Levie Mulia Wardana/DW

Bandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga sederhana. Sebuah kewajaran, bila keluarga elite, baik elite politik maupun bidang lain (bisnis, militer), melakukan regenerasi, sebuah fenomena yang kemudian biasa disebut dinasti politik.

Dalam deklarasi pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar awal September lalu, Anies secara sekilas sempat menyebut nama kakeknya, dan kakek (buyut) Muhaimin. Mungkin sudah banyak yang tahu, Anies Baswedan adalah cucu dari AR. Baswedan, tokoh pergerakan nasional, utamanya di komunitas keturunan Arab. Sementara Muhaimin Iskandar adalah cicit dari KH. Bisri Syansuri, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), satu generasi dengan KH. Hasyim Asy'ari.

Satu hal yang ingin saya katakan adalah, hendaknya proporsional dalam membanggakan asal-usul keluarga, jika ingin menambah faktor endorsement saat maju sebagai capres-cawapres, atau jabatan publik lainnya. Menjadi anak atau keturunan orang besar ada lah  takdir, yang tidak bisa kita hindari, anggap saja itu sebagai bonus. Begitu pun sebaliknya, bila kita dilahirkan dari masyarakat kelas bawah. Oleh karenanya bila "over dosis” dalam membanggakan keluarga atau leluhur, dikhawatirkan publik justru akan jenuh, yang sebelumnya tampak mendukung, malah menjauh.

Elite politik yang lahir dari keluarga biasa-biasa saja, salah satunya adalah Presiden Joko Widodo. Publik secara umum tidak ada yang tahu, siapa nama orang tua (khususnya ayah) Presiden Joko Widodo, dan apa status ayah beliau dulu. Bagi orang yang sukses dalam karier dan kehidupan, dengan ikhtiar sendiri, tanpa harus merujuk nama besar orang tua, akan mendapat apresiasi publik, dan bisa menjadi inspirasi bagi generasi yang lebih baru. 

Terlampau sering menyebut Bung Karno

Adalah Megawati, elite negeri ini yang paling intens mengeksploitasi nama besar leluhurnya, dalam hal ini Bung Karno. Saya teringat pepatah lama, yang kira-kira berbunyi: ibarat pisau yang bila terlalu sering digunakan, pada saatnya akan tumpul. Maknanya kurang lebih sama dengan penjelasan di awal tulisan, begitu seringnya Megawati membanggakan diri sebagai anak biologis Bung Karno, publik justru bosan, dan simpati publik pada Megawati menunjukkan tren menurun.

Nama dan jargon Bung Karno, telah dirilis sedemikian rupa di era pemerintahan Presiden Jokowi, yang kebetulan berasal dari partai yang sama dengan Megawati. Salah satu ajaran Bung Karno yang banyak dimanfaatkan untuk kampanye Pilpres 2014 (Jokowi masih capres) adalah konsep Trisakti, yang ternyata sangat sulit diimplementasikan, bahkan ketika Jokowi sudah berkuasa selama satu dekade (2014-2024).

Prinsip Trisakti sendiri adalah ajaran Bung Karno, yang dianggap aktual, baik hari ini dan esok. Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut: "Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.”

Berkenaan dengan implementasi konsep Trisakti, publik melihat rezim Jokowi sudah berikhtiar untuk mewujudkannya, soal capaiannya belum optimal, itu adalah soal lain.  Kita ambil satu aspek saja, terkait poin kebudayaan misalnya. Zaman dan lingkungan memang begitu cepat berubah, sehingga konsep "berkepribadian dalam budaya” tampak tertatih-tatih menghadapi serbuan produk budaya asing, seperti K-Pop dari Korea (Selatan). Kemudian kita melihat, bagaimana kaum muda saling berebut tiket (ticket war) untuk pementasan Coldplay, fenomena ticket war juga terjadi pada pentas musik yang lain.

Implementasi konsep Trisakti ini, sama nasibnya dengan Indonesia Raya (stanza tiga). Di  awal-awal periode kekuasaan Jokowi (2014-2015), sempat muncul gagasan agar anak-anak sekolah, mulai dari tingkat SD sampai SMA, saat upacara hari Senin, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya Stanza Tiga, yaitu versi yang lebih panjang dari yang biasa kita nyanyikan. Saya termasuk orang yang merasa lega, ketika gagasan itu akhirnya tidak jadi dilaksanakan.

Bisa kita bayangkan, bila siswa-siswa SD menyanyikan lagu Indonesia Raya (versi Stanza Tiga) tentu sangat melelahkan. Alih-alih membangun rasa kebangsaan, namun yang terjadi adalah kelelahan fisik bagi anak-anak atau adik-adik kita yang masih duduk di bangku PAUD dan SD. Pesannya sangat jelas, nasionalisme tidak bisa diukur dari panjang-pendeknya lagu kebangsaan.

Selama Jokowi berkuasa, memang kebudayaan nasional sesekali diberi panggung, seperti saat peringatan Hari Proklamasi di Komplek Istana Merdeka. Namun publik juga tahu, sepertinya Jokowi lebih menikmati musik rock. Itu terlihat ketika Jokowi memberi kemudahan bagi anaknya (Gibran Rakabuming, Wali Kota Solo) untuk mendatangkan kelompok musik rock legendaris Deep Purple, di Solo, awal Maret lalu.  Bagi penikmat berat musik rock seperti Pak Jokowi, jangankan grup sekelas Deep Purple atau Metallica, kelompok yang beraliran lebih soft seperti Mr. Big dan Journey, mungkin juga akan dilahapnya.

Bila Jokowi yang memiliki kekuasaan dua periode saja, sulit mewujudkan Trisakti, bisa jadi Megawati juga tidak akan mampu. Seharusnya Megawati sadar akan hambatan atau kesulitan yang dihadapi Jokowi, sehingga tidak serta merta senantiasa menyebut Jokowi sekadar "petugas partai”.

Keluarga Sutan Sjahrir dan M. Natsir

Salah satu cara untuk meruntuhkan dinasti politik, sebagaimana yang kini marak terjadi  adalah melalui jalur pendidikan. Artinya generasi milenial, khususnya dari masyarakat bawah, harus sekolah yang setinggi-tingginya, agar memperoleh akses menuju kekuasaan. Sudah menjadi hukum besi sejarah, bahwa publik lebih percaya pada omongan orang yang berpendidikan tinggi.

Penulis: Aris Santoso, pengamat militer dan politik
Aris SantosoFoto: privat

Dari keluarga pemimpin bangsa, yang sekolah anak-anaknya   terbilang membanggakan  adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik, seperti pernah terjadi pada Dr Meutia Farida Hatta. Kemudian anak pertama Habibie, Ilham Akbar Habibie, kini menjadi pakar digantara skala global  seperti ayahnya. Artinya, publik merasa firm bila mereka-mereka ini suatu saat berkiprah di dunia politik.Untuk menjadi pejabat publik, faktor pendidikan adalah mutlak, ketika begitu banyak sarjana dari generasi milenial.

Kita bisa belajar dari keluarga penguasa masa lalu, (khususnya) Soeharto, yang sekolah anak-anaknya tidak terlalu berhasil, ketika dana untuk sekolah, begitu melimpah. Situasi hampir sama juga terjadi pada anak-anak Bung Karno dari Ibu Fatmawati, sementara anak-anak Bung Karno dari Ibu Hartini, yaitu Taufan dan Bayu, bisa menyelesaikan studinya.

Bapak Bangsa (founding fathers) lain, yaitu Sutan Sjahrir, juga M Natsir (Perdana Menteri 1950-1952, tokoh Masyumi),   anak-anaknya juga bisa menyelesaikan studinya dengan baik, meski memang agak sulit dilacak mereka berkarier dimana. Kesulitan mendeteksi keberadaan mereka, adalah penanda mereka siap untuk hidup sederhana, berbaur dengan rakyat kebanyakan.

Informasi yang bisa kita dapatkan, putri Sutan Sjahrir (Upik), menjalani profesi guru bahasa Inggris, bagi mereka yang akan melanjutkan studi di luar negeri. Kemudian salah satu anak dari M. Natsir, yaitu Ibu Aisyah Rachim Natsir, kebetulan pernah menjadi guru penulis saat di SMA, pada dekade 1980-an.

Satu catatan penting adalah, anak-anak Sutan Sjahrir dan M Natsir, membangun karier pribadi tanpa pernah menyebut-nyebut nama ayahnya, seperti yang juga dilakukan anak-anak  Bung Hatta dan Habibie. Dalam kategori ini termasuk anak-anak dari intelektual besar Indonesia abad lalu: Soedjatmoko.

Mungkinkah ini kebetulan belaka, ketika Kemendikbudristek baru-baru ini mengeluarkan kebijakan, bagi mahasiswa program S-1, tidak lagi diwajibkan menulis skripsi sebagai syarat kelulusannya, yang kredit skripsi bisa diganti dengan cara mengambil mata kuliah lain selama dua semester. Bisa jadi, ide ini tiba-tiba muncul, karena kebetulan ada sebagian anak-anak mantan presiden, yang tidak pernah membuat skripsi.

Sebenarnya sayang juga bila kewajiban menulis skripsi dihapuskan, karena menulis skripsi adalah cara melatih mahasiswa dalam merumuskan pikiran dan menuangkan gagasan. Namun yang kini terjadi semacam logika terbalik, bila tanpa menulis skripsi saja bisa memimpin sebuah lembaga penelitian skala nasional, jadi untuk apa pula menulis skripsi.

Penulis: Aris Santoso, pengamat militer dan politik

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.