1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membaca Pangkal Ditakuti

Geger Riyanto6 September 2016

Tindakan semacam pembubaran perpustakaan keliling di Bandung oleh tentara beberapa waktu lalu punya sumbangan terhadap rendahnya kegandrungan membaca buku di Indonesia. Geger Riyanto percaya itu. Bagaimana dengan Anda?

https://p.dw.com/p/1Jsw7
Buch über das Massaker Buch über das Massaker von 1965 in Indonesien von 1965
Foto: DW/H. Pasuhuk

Sebelumnya, Anda mungkin sudah mendengar laporan ihwal rendahnya kebiasaan membaca buku di Indonesia. Bunyi laporannya kira-kira, rata-rata orang Indonesia hanya membaca seperlima buku setahun. Artinya, gabungkan lima orang Indonesia, Anda baru akan mendapati satu insan yang membaca satu buku setahun.

Dengan mata tertutup sekalipun, orang yang pernah bergelut di bidang buku bisa membenarkan temuan ini. Banyak penerbit yang untuk mencetak buku 3.000 eksemplar saja harus memutar kepala. Kendati terjual kurang dari separuhnya saja penerbit dapat menutup modal produksinya, pada kenyataannya banyak judul buku yang tak akan terjual lebih dari 1.000 eksemplar.

Lalu? Buku-buku akan tertumpuk di gudang. Penerbit harus menerima — tak mungkin dengan senang hati tentu — buku-bukunya kian hari kian menggunung. Di sana, buku-bukunya yang menunggu untuk terjual entah suatu hari kapan terancam ditumbuhi jamur, disantap rayap, disapu hujan atau banjir.

Geger Riyanto
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Mengapa minat baca begitu rendah?

Pusparagam hal, memang, punya andil terhadap rendahnya kegemaran membaca masyarakat Indonesia ini. Beberapa di antaranya, sebut saja, meliputi sulitnya menyalurkan buku ke daerah-daerah lantaran secara harfiah terhalau gunung dan laut, masih minimnya fasilitas perpustakaan dan taman bacaan, terbatasnya jaringan gerai yang bisa diandalkan untuk mendistribusikan buku.

Akan tetapi, dari waktu ke waktu pun negara dan aparat acap membantu memantapkan lingkaran muskil ini dengan cara-cara khasnya. Contoh gamblangnya, tentu saja, pelarangan buku di era Orde Baru. Stanley dari Institut Studi Arus Informasi pernah menyatakan, ada lebih dari 2.000 judul buku diberedel pada masa itu. Dan keliru apabila ada yang beranggapan hanya buku-buku berhaluan komunis yang dilucuti.

Anggapan yang berkembang pada saat itu adalah buku apa saja dapat dilarang. Sepanjang instansi yang mengantungi kewenangan melarang buku, Kejaksaan Agung, menganggap satu terbitan rawan mengganggu ketertiban umum, terbitan bersangkutan dapat mengalami nasib naas yang jelas tak diinginkan penerbitnya. Buku akademik, pendidikan, roman sejarah, novel yang tak menyerempet isu komunisme dan Marxisme pernah menjadi sasaran.

Apa saja misal? Buku Militer dan Politik karya Harold Crouch dan Kapitalisme Semu karya Yosihara Kunio untuk karya akademik, misal. Karya-karya sastra Pramoedya yang untuk menunjuk di mana letak Marxismenya interogatornya harus bertanya kepada penerbitnya. Kemudian, buku pendidikan seks oleh seorang tokoh pendidik, novel Nick Carter, serta buku kumpulan foto Ratna Sari Dewi, istri Sukarno.

Sekadar dari judul dan tema buku di atas saja, kita tahu, pemberedelan tak didasarkan pada apa pun selain ketakutan lembaga-lembaga negara. Pada tahun 1980-an, bahkan, kian membenarkan ini, buku-buku agama Islam banyak dibidik menjadi target pelarangan. Berbagai kelompok Islam saat itu tengah bereaksi keras terhadap penerapan asas tunggal Pancasila, dan negara tak mau ambil risiko. Terbitan yang dianggap memprovokasi pun tak dibiarkan bebas bertengger di toko buku.

Ketakutan terhadap buku

Persoalannya, kita masih bisa bersyukur apabila dampak pelarangan demi pelarangan ini berhenti pada membatasi tema buku yang bisa diterbitkan di Indonesia pada saat itu. Dampak utuhnya sejatinya jauh lebih kalut dari ini. Ia menorehkan ketakutan merugikan yang masih menggerayangi kita hingga hari ini. Ketakutan terhadap buku.

Ambil saja sebuah pernyataan dari Wardiman Djojonegoro, dicetuskan pada tahun 1995 dan dikutip oleh harian Kompas. "Buku-buku yang membahayakan masyarakat atau yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat," ujarnya, "lebih baik dihentikan."

Anda ingat siapa Bapak Wardiman? Pada masa itu, ia adalah menteri. Menteri yang bahkan seharusnya tercerahkan, paling jauh dari ketakutan semacam itu, atau setidaknya mawas dengan tindak-tanduknya sendiri yang bisa merongrong orang dari kegiatan membaca — menteri pendidikan dan kebudayaan.

Dan ketakutan yang digaungkan aparat dan pejabat publik tak mungkin menguap ke udara begitu saja. Ia setidaknya akan dilihat, didengar keluarga-keluarga. Banyak dari antara kita, toh, tak memperoleh kegemaran membaca dari keluarga—bahkan ketika keluarga kita lebih dari mampu untuk membeli buku bukan? Saya, pasalnya, termasuk dalam golongan ini dan saya tak pernah merasa sendirian.

Seorang kawan bahkan sewaktu mahasiswa pernah dinasihati ibunya agar tidak membaca terlalu banyak. Alasannya, kawan saya acap terlihat membawa buku-buku tak biasa yang sebenarnya adalah buku pemikiran arsitektur. Artinya? Artinya, penautan buku dengan radikalisme, bahaya, subversi punya pengaruh lebih dalam daripada yang kita sadari. Membaca nampaknya berhasil dilanggengkan menjadi lelaku yang mengkhawatirkan.

Toh, hal tersebut juga yang sepertinya dialami seorang kolumnis sebelum menulis artikel "Ini Kan Buku Komunis?" Judul artikel ini adalah ujaran spontan ayah sang penulis kala menemukan anaknya membaca kumpulan cerpen Pramoedya. Dan, saya tak tahu sudah berapa sering pikiran serupa tercetus di batin para orang tua yang menemukan anaknya membaca.

Sejauh apa reformasi telah mengubah kekeruhan ini? Mungkin, kalau tak tega mengatakan tak ada, tak banyak. Pemberedelan demi pemberedelan masih terus berjalan. Hanya saja kini modusnya kian beragam. Dan, yang jadi masalah, tak ada satu anasir negara pun yang pernah mengaku salah lantaran memberedel buku.

Maka, wajar saja, imajinasi yang telah dirampungkan selama 32 tahun ihwal kelekatan buku dan bahaya masih terus lestari hingga hari ini. Dan bila Anda masih ingat apologi pembubaran perpustakaan keliling tempo hari, ia sungguh tak lain mencerminkan imajinasi kelam tersebut. Buku-buku yang dibawa perpustakaan tersebut, kata Kepala Penerangan Kodam III Siliwangi, dapat dipertanyakan kredibilitasnya.

Jadilah bangsa yang gemar membaca

Memang, keliru juga mengatakan buku melulu industri yang merugi karena satu hal ini. Sekali satu judul laris keras, toh, ia dapat terjual puluhan atau bahkan ratusan ribu eksemplar. Namun, kita pun mendapati buku yang laris adalah buku yang jauh dari citra "menakutkan". Buku manajemen, motivasi, guyon remaja, atau belakangan, karya komedian berdikari sebut saja.

Dan buku-buku tersebut pun dibaca bukan karena orang-orang gemar melakukan aktivitas yang mengkhawatirkan itu sendiri—membaca. Buku-buku ini dibaca, Anda tahu, karena orang-orang haus dengan tips, iming-iming kesuksesan, atau menjumpai tulisan selebritas idolanya.

Tetapi, pada akhirnya, apa masalahnya? Mungkin, itu toh yang memang perlu diperbanyak untuk menggeliatkan industri buku Indonesia. Buku-buku yang aman dan tidak membahayakan pembacanya. Buku-buku yang kredibel, kata aparat kita. Buku-buku yang tak berhantu.

Mungkin dengan demikian — dengan meninggalkan buku-buku yang berhantu — suatu hari kita dapat menjadi bangsa yang gemar membaca.

Penulis: Geger Riyanto

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.