1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membaca Sejarah Membentuk Peradaban

Andibachtiar Yusuf/as23 November 2015

Bangsa kita masih gagap membaca sejarah. Juga sering luput menghargai tokoh yang membuat sejarah bagi negara kita. Padahal belajar dari sejarah bisa membentuk manusia jadi lebih beradab.

https://p.dw.com/p/1H9Xw
Indonesien Tempel Borobudur Schiff Relief
Foto: picture alliance/CPA Media

“Jadi Suharto sekarang disebut sebagai apa?” tanya saya pada seorang siswa SMA. Dengan cepat ia menjawab “Presiden kedua!” saya tertegun, serasa ingin menjelaskan betapa si Presiden kedua ini adalah Bapak Pembangunan di kala saya masih SMA dulu. Sosok yang menentukan kemajuan bangsa, seseorang yang telah sungguh berjasa pada negara Republik Indonesia karena telah menciptakan kemakmuran……sehingga katanya Indonesia mampu menjadi negeri terkemuka di mata dunia.

Bertahun kemudian saat baru lulus SMA, rezim tangguh bernama Orde Baru itu runtuh. Lalu dimulailah sebuah babak baru, tak hanya dalam hal ekonomi yang jaipongan tak karuan, tapi juga pada cara pencatatan sejarah. Suharto bukan lagi seorang Bapak Pembangunan, ia adalah seorang tirani yang telah bersalah menghancurkan segala fondasi ekonomi kita. Ia adalah sang pendosa yang telah berbuat jahat pada negeri dengan cara menciptakan mekanisme korupsi berjamaah yang membuat tak satupun pelakunya bisa ditangkap.

Waktu terus berlalu sampai akhirnya saat percakapan saya dengan remaja tadi terjadi pada tahun 2014. Gelar Bapak Pembangunan memang bukan lagi hal yang beliau sandang, tapi kini beliau hanyalah Presiden Kedua republik dengan bentuk fisik dan penduduk besar ini. Statusnya praktis sama dengan Sukarno yang presiden pertama, lalu BJ Habibie, Megawati, Abdurrahman Wahid atau Susilo Bambang Yudhoyo yang merupakan para penerusnya.

Indonesien Suhartos Weg zur Macht (Bildergalerie)
Sudahkah kita menghargai pelakon sejarah dengan selayaknya dan menarik banyak pelajaran dari sejarah?Foto: AFP/Getty Images

“Sejarah dituliskan oleh para pemenang!” adalah sebuah kredo yang berlaku dimanapun. Betapa jahatnya Nazi Jerman dan bersalahnya Adolf Hitler digambarkan sedemikian rupa, sampai saya kadang berpikir “Apa yang ada di kepala masyarakat Jerman saat negerinya menginvasi banyak negeri lain?” Sejarah memang selalu berpihak, ia bahkan bisa diciptakan semaunya. Tak usah heran jika saat ini bahkan siapa Bung Tomo beserta keberadaannya saat perang 10 November—tak peduli pidatonya yang katanya keren itu—menjadi perdebatan tanpa henti.

Pada peristiwa itu, bahkan seketat apa pertempuran yang terjadi saya rasa juga layak didiskusikan lebih jauh. Mengingat seberapa besar kekuatan senjata kita dan bahwa bule-bule Sekutu itu baru saja memenangkan pertempuran kelas berat di Eropa. Kita boleh berkata bahwa bambu runcing adalah kunci kemenangan, tapi bahkan pada film Kungfu Master 2 saja, senjata api jauh berada kesaktian para pendekar kerabat Huang Fei Hung.

Belajar dari sejarah

“Loe musti ke Washington DC kalau emang lo suka ke museum!” jelas Boyke Putra, kawan baik saya sejak masa kanak-kanak dan remaja. Lalu pergilah saya ke ibukota Amerika Serikat itu. Disana, saya melihat “kebesaran” bangsa Amerika dibentuk sedemikian rupa. Bagaimana Civil War pada abad 19 membangkitkan mereka demi persatuan dan kesatuan yang lebih solid. Bagaimana negeri ini dibentuk dan dibangun oleh para pendatang yang membanjiri pelosok ‘Tanah Harapan' untuk kemudian melabelkan diri sebagai ‘Bangsa Amerika.

Mereka mencatat segala kejadian itu dengan nyaris sempurna. Saya terkesima pada kemampuan serta kekonsistenan mereka mereka sejarah mereka sendiri. Catatan tertulis, visual bahkan benda yang dianggap bersejarah seperti kemeja yang dikenakan oleh Thomas Alva Edison dipamerkan secara baik.

Indonesien Andibachtiar Yusuf
Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & TravellerFoto: Andibachtiar Yusuf

Saya gagal menghabiskan hanya satu Museum Sejarah Amerika saja pada hari itu, padahal saya sudah berada di tempat tersebut sejak pukul 11: 45 dan hanya melakukan jeda ngemil dan ngopi dikit di kafenya. Catatan mereka yang sangat rinci pada segala hal bahkan sampai ke budaya maritim mereka membuat saya mempertanyakan kembali “Apa iya nenek moyang bangsa Indonesia seorang pelaut?” karena yang saya tahu hanya bangsa Bugis dan Makassar saja yang dari dulu gemar melaut.

Pada hanya satu Museum itu saya terkesima tentang bagaimana mereka merayakan peradaban yang kini bisa mereka raih. Mereka mungkin merasa pemenang pada Perang Dunia II. Atau setidaknya merasa sebagai penentu arah kemenangan di saat itu, hingga kini mampu menuliskan sendiri sejarahnya. Namun yang pasti, mereka mampu memberi rekaman sempurna tentang seperti apa mereka pada suatu masa dan bagaimana hal-hal tersebut mampu membawa mereka hingga bisa seperti sekarang.

Saya jadi merasa kecil bahkan kerdil, lalu bertanya…..seperti apa peradaban bangsa saya sebenarnya?

Andibachtiar Yusuf: Filmmaker & Traveller

@andibachtiar