1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membiayai Penjagaan Iklim

30 November 2015

Dana akan jadi topik besar dalam KTT iklim di Paris. Negara-negara bernegosiasi tentang siapa yang akan bayar langkah pengamanan iklim. Seberapa banyak uang akan dilibatkan dan bagaimana menggunakannya.

https://p.dw.com/p/1HEtu
BdT Sonnenaufgang im Morgennebel
Foto: picture-alliance/dpa/J. Stratenschulte

Apakah dunia akan berhenti memuntahkan kuantitas besar karbon dioksida secepat mungkin untuk bisa mencegah gangguan pada sistem iklim global yang akibatkan kebinasaan? Seperti banyak isu lainnya, jawabannya tergantung pada dana. Banyak yang setuju, satu-satunya cara mencegah perubahan iklim adalah dengan menempatkan insentif dan mekanisme pendanaan yang bisa dengan cepat digerakkan dari proyek-proyek infrastruktur karbon tinggi ke karbon rendah.

Misalnya mengembangkan tenaga matahari dan bukan batu bara, kendaraan tenaga listrik dan bukan yang bertenaga diesel atau bensin, dan sebagainya.

"Keuangan iklim" pada dasarnya tentang tantangan untuk mencapai tujuan itu, juga tentang pendanaan proyek-proyek untuk menolong negara-negara beradaptasi dengan perubahan iklim, yang tidak bisa dihindari lagi. Penjagaan terhadap banjir di kota-kota tepi pantai, misalnya, atau juga perubahan yang perlu dalam praktek-praktek pertanian di daerah yang terancam tambah tinggi suhunya atau tambah kering.

Penjagaan lebih baik atas karbon yang terkandung dalam tanah dan vegetasi, misalnya hutan tropis Amazon atau tanah gambut di Indonesia juga membutuhkan dana.

Bildergalerie Solarenergie - Marokko
Energi surya di MarokoFoto: AFP/Getty Images/F. Senna

Perincian penting

Di Paris, PBB adakan pertemuan untuk menyetujui rangka kerja baru mengenai iklim, termasuk langkah keuangan baru, dalam pembaruan besar bagi konfensi kerangka kerja tentang perubahan iklim, Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berasal dari tahun 1992.

Mencari jalan tengah di antara kepentingan berbeda sulit. Tepatnya di antara kepentingan negara-negara kaya minyak dan batu bara dan kepentingan negara berkembang yang kecil dan kurang punya sumber daya alam. Demikian dikatakan Athena Ballesteros, direktur bidang keuangan iklim pada institut World Resources Institute (WRI), sebuah tangki pemikir non pemerintah, yang berpusat di Washington DC.

Banyak pembicaraan berkisar pada masalah bagaimana negara industri maju bermaksud untuk melunasi janji yang diberikan dalam konferensi UNFCCC tahun 2010 di Cancun, di mana negara-negara industri setuju menyalurkan dana 100 bilyun Dolar per tahun bagi negara berkembang hingga 2020, lewat Green Climate Fund (GCF).

Bangladesch Hochwasser in Dhaka
Banjir di Dhaka, BangladeshFoto: picture alliance/Zumapress.com

Lima tahun setelah Cancun, GCF akhirnya sudah berhasil melalui fase awalnya, tepat waktu untuk konferensi di Paris. Roda politik iklim internasional bergerak sangat lamban, terutama jika sejumlah besar negara harus menentukan siapa yang harus membayar, dan siapa yang dibayar, dan bagaimana dana harus digunakan secara efektif.

6 November, GCF mengumumkan pendanaan tahap pertama. GCF akan menyediakan sebagian dari 168 juta Dolar untuk mendukung delapan proyek. Nilai semuanya sampai 624 juta Dolar karena ada pemasukan dari sumber-sumber lain. Termasuk dalam daftar penerima dana adalah proyek untuk meningkatkan daya tahan tanah rawa di provinsi Datem del Maranon di Peru, yang merupakan skema energi efisien bagi Amerika Latin dan Karibia, juga penyediaan air wilayah urban dan proyek manajemen limbah di Fiji.

Ballesteros dari WRI mengatakan kepada DW bahwa yang lebih penting dari perincian pengeluaran dana GCF adalah pertanyaan apakah dana dari investasi swasta di dunia bisa dialihkan dari investasi di sektor yang menekankan pada penggunaan karbon, ke sektor yang ramah lingkungan.