1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Persoalan Pendidikan dan Beban Kita

15 September 2018

Ada orang-orang yang hanya berbekal pendidikan rendah bisa mencapai kesuksesan dalam kehidupan, misalnya Susi Pujiastuti. Tapi seberapa banyak yang seperti dia? Seberapa penting pendidikan? Opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/32fCQ
Schüler und Schülerinnen in Indonesien
Foto: Public domain

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata lama pendidikan warga Indonesia yang berusia di atas 15 tahun hanya 8,42 tahun. Rata-rata lama pendidikan itu kurang lebih setara dengan jenjang SMP tapi tidak sampai lulus. Jika dilihat lebih detail lagi, sebanyak 20 persen keluarga berpenghasilan terendah rata-rata pendidikannya hanya mencapai 6 tahun atau setara tamat SD.

Seberapa serius persoalan itu? Mari kita membuat refleksi tentang apa artinya pendidikan yang hanya lulus SD dan tidak lulus SMP.

Orang yang lulus hanya lulus SD kurang lebih dia hanya bisa membaca dan menulis, dilengkapi dengan dasar-dasar matematika, dasar-dasar bahasa Indonesia, dan beberapa tambahan pengetahuan dasar tentang moral, kehidupan bernegara, sejarah, dan ekonomi. Artinya, bagi seseorang yang lulus SD hampir semua aspek keilmuan dan bekal pengetahuan untuk menjalani kehidupan baru pada tingkat pengenalan saja.

Sedangkan bagi orang yang sempat mengenyam pendidikan di SMP, namun tidak sampai lulus, tingkat pengetahuannya hanya sedikit lebih tinggi dari lulusan SD. Mereka belum sempat mengenal tentang konsep-konsep, apalagi sampai memahami cara mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk kehidupan sehari-hari. Bisa juga dikatakan, tingkat pendidikan yang tidak sampai lulus SMP adalah tingkat pendidikan untuk orang di masa awal remaja. Artinya pengetahuan orang yang tidak sampai lulus SMP hanya sampai pada tingkat pengetahuan yang hanya cocok untuk anak usia 14-15 tahun.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Kita bisa pahami, usia 14-15 tahun adalah masa di mana kehidupan lebih didominasi oleh kegiatan bermain: belum ada pengetahuan yang cukup untuk menjalani kerja profesional, belum ada pemahaman yang cukup tentang komitmen, belum ada pemahaman yang cukup untuk memahami bahwa pengetahuan harus terus ditambah untuk bisa mengikuti perubahan zaman.

Apa artinya tingkat pendidikan—dan kualitas pendidikan—yang tidak sampai lulus SMP dalam kehidupan sehari-hari?

Kita bisa mendapatkannya dari contoh-contoh nyata di dunia kerja.Selama bertahun-tahun, saya sering mengobrol dengan beragam pengusaha—terutama di level usaha mikro, kecil, dan menengah. Hampir semua memiliki persoalan besar terkait pegawainya yang berpendidikan rendah. Rata-rata pemberi kerja itu mengeluhkan disiplin pegawai yang rendah, inisiatif kerja yang rendah, rasa percaya diri yang rendah, kesulitan dalam menerima pelatihan, rendahnya komitmen ppada peketjaan, dan mudah teralihkan perhatiannya pada hal-hal yang tidak esensial dalam kehidupan.

Beberapa tahun terakhir ini, saya pun mengalami hal yang sama ketika mulai berbisnis (selain sebagai penulis, saya sempat juga menjadi berbisnis barang-barang kerajian, dan belakangan berbisnis rumah makan). Persoalan saya dengan pegawai yang berpendidikan rendah, hampir sama dengan yang pernah dikeluhkan beragam pengusaha yang pernah saya wawancarai bertahun-tahun lalu.

Misalnya, hal yang paling sederhana, disiplin untuk menjaga kebersihan. Saya memperhatikan, pegawai-pegawai saya yang tidak lulus SMP, sangat kesulitan untuk memahami kenapa ruang kerja harus bersih, dan apa artinya kebersihan bagi keselamatan kerja dan keberlangsungan usaha. Akibatnya, mereka jadi kelompok yang paling lalai dalam menjaga kebersihan, dan jadi hambatan dalam pengembangan usaha, walau pun sudah bekerja berbulan-bulan dan sering mendapat teguran.

Saya menduga, rendahnya pemahaman mereka tentang pentingnya kebersihan berkaitan erat dengan rendahnya pengetahuan teoritis mereka tentang kebersihan. Hal itu semakin diperburuk dengan rendahnya referensi tentang kebersihan di dalam pengalaman hidup mereka.

Contoh lainnya, dalam inisiatif kerja. Pegawai yang berpendidikan rendah cenderung menunggu perintah untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bagian dari deskripsi kerja mereka. Misalnya, pegawai yang salah satu tugasnya adalah merawat tanaman, ketika dia melihat tanaman mulai kurang air atau tidak terawat, dia tidak segera menyiram air pada tanaman, dengan alasan tidak ada orang yang menyuruhnya melakukan tugas itu. Bahkan ada rekan bisnis saya yang perintahnya ditolak oleh pegawai dengan mengatakan, "Pak, kenapa sih nyuruhnya ke saya terus, bukan ke yang lain?”

Pernyataan pegawai itu memang pernyataan yang kekanak-kanakan, dan bisa jadi banyak orang yang tidak bisa menoleransinya. Tetapi saya tidak bisa serta-merta marah, karena saya sadar mentalitas dan pengetahuan pegawai yang pendidikannya setingkat SD memang baru mencapai kematangan anak berusia 12 tahun, walau dia sudah berusia di atas 18 tahun.

Dalam hal komitmen kerja, berdasarkan pengalaman saya, pegawai yang berpendidikan rendah sulit memahami bahwa bekerja juga adalah sebuah proses pendidikan dan berlatih untuk mencapai pengetahuan dan kemampuan yang lebih tinggi. Ada kecenderungan mereka untuk berpikir bahwa bekerja semata untuk mencari uang, dan mereka hanya akan bekerja sesuai dengan kemampuan mereka saat ini, bukan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik di masa depan. Saya menduga, hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki referensi yang memadai untuk bisa berpikir lebih jauh dari hidup hari ini, karena tingkat pendidikan yang rendah dan terbatasnya lingkup pergaulan mereka.

Persoalan dalam komitmen kerja, juga berkaitan dengan rentannya pikiran mereka untuk teralihkan pada hal-hal yang tidak esensial. Saya melihat, pegawai saya yang berpendidikan rendah memiliki kecenderungan untuk menghabiskan uang mereka pada benda-benda atau hal-hal yang tidak begitu esensial: baju atau sepatu yang sedang jadi tren, produk telepon seluler yang terkini, rokok, sepeda motor yang bergaya, dan lain-lain. Kecenderungan pola hidup yang sangat konsumtif itu seringkali membuat mereka terlilit utang, karena pengeluaran mereka pada hal yang tidak esensial tak sebanding dengan pendapatan mereka.

Dalam satu kasus lain, saya pernah melihat situasi di sebuah pemukiman miskin di Kota Bandung, di mana seseorang yang tidak memiliki pekerjaan mendatangi seorang rentenir untuk meminjam uang sebesar Rp 300 ribu. Si rentenir bertanya, untuk apa uang pinjaman itu? Si peminjam dengan santai menjawab, "Saya ingin beli burung hias.” Si rentenir tentu khawatir uangnya tidak akan kembali, maka dia bertanya lagi, ‘Terus bagaimana kamu akan membayar utang ini beserta bunganya?” Si peminjam menjawab, "Ya saya akan berusaha sebisanya.”

Terlihat, pendidikan yang rendah, ditambah situasi kemiskinan, bisa membuat seseorang berpikir pendek, tidak membuat pertimbangan matang dan proyeksi yang jelas saat mereka mengambil sebuah keputusan. Seperti kejadian itu, seorang pengangguran berani meminjam uang pada seorang rentenir hanya demi membeli seekor burung seharga Rp 300 ribu, tanpa memikirkan ketika dia tidak sanggup membayar utang tersebut, harta benda milik keluarganya bisa ikut disita.

Apa artinya tingkat pendidikan yang rendah, bagi masyarakat secara keseluruhan?

Jawabannya adalah beban yang sangat berat. Bagi para pemberi kerja, tingkat dan kualitas pendidikan pegawai yang rendah berarti biaya pelatihan yang lebih besar dan investasi waktu yang terlalu lama. Ketidaksiapan pegawai dalam menjalani dunia kerja, membuat pemberi kerja harus mengeluarkan biaya dan waktu yang lebih besar, karena terlalu lambatnya respon pegawai dalam menerima materi pelatihan. Ketika pada akhirnya pegawai yang berkualitas rendah tidak sanggup mengikuti dinamika dunia kerja yang cepat, dan membuat mereka cepat kehilangan pekerjaan, mereka akan jadi beban keluarga dan lingkungannya: menjadi pengangguran.

Kualitas dan tingkat pendidikan yang rendah dari satu angkatan kerja juga harus dipandang sebagai ancaman bagi generasi berikutnya. Kita bisa memahami pembentukan sebuah generasi sangat bergantung pada kualitas generasi sebelumnya. Orangtua dengan kualitas dan tingkat pendidikan yang rendah, berisiko membuat anak-anaknya pun berpendidikan rendah, karena tidak ada model yang cukup baik bagi anak-anaknya di rumah. Untuk situasi itu kita bisa berkaca pada regenerasi di dalam dunia pengemis, di mana anak-anak pengemis memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk juga menjadi pengemis.

Saya menduga begitu lambatnya proses meningkatkan rata-rata lama sekolah di negara ini, karena faktor keluarga sangat dominan dalam pembentukan kualitas generasi berikutnya. Berdasarkan data BPS, selama periode 1996-2009, rata-rata lama sekolahpenduduk Indonesia mengalami peningkatan yang relatif lambat. Rata-rata lama sekolah naik dari 6,30 tahun pada tahun 1996 menjadi 7,72 tahun pada tahun 2009.  Artinya, selama 13 tahun, kenaikan rata-rata lama sekolah hanya sebesar 1,4 tahun atau kurang dari 0,15 per tahun. Tanpa intervensi yang lebih besar dari pemerintah dalam meningkatkan rata-rata lama sekolah, lambatnya proses peningkatan itu akan terus kita rasakan dalam dekade-dekade mendatang, dan beban masyarakat akan semakin berat untuk mengatasinya.

Memang kita tidak bisa membuat generalisasi, bahwa orang-orang yang tidak sampai lulus SMP seratus persen tidak siap untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Karena nyatanya ada juga orang-orang yang hanya berbekal pendidikan SMP bisa mencapai kesuksesan dalam kehidupan, misalnya Susi Pujiastuti, salah seorang menteri ternama di dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Tapi orang-orang seperti itu sulit didata jumlahnya, dan bisa dikatakan sebagai pengecualian, karena ada faktor-faktor yang tidak biasa dalam kehidupan mereka.

Penulis:

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.