1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kotak Pandora Politik Antagonisme

Geger Riyanto
8 Juni 2018

Para elite tak pernah menyadari bahwa mereka tengah membuka kotak Pandora. Kelompok minoritas akan kian rentan menjadi bidikan artikulasi populis. Ikuti opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2yqL7
Symbolbild Büchse der Pandora
Foto: Colourbox

Tina tak punya pilihan. Tuan Felix hendak menggantungnya. Warga kampung ketakutan bukan kepalang dengannya. Pada malam sebelumnya, Tuan Felix memergokinya, Betty, dan Abigail tengah menggelar ritual gaib. Sejak itu, Betty, yang merupakan anak Tuan Felix, tak sadarkan diri. Orang-orang lain digerayangi kecemasan malapetaka yang lebih besar akan mendatangi kampung mereka.

Apa yang lantas terjadi? Tina yang terpojok berkelit dengan berlagak seolah-olah kesurupan. Ia menunjuk bahwa di desa mereka banyak orang yang juga berhubungan dengan kekuatan gelap. Betty, yang berada di antara mereka, mendadak bangun dan secara histeris turut meneriakkan hal yang sama. Abigail juga meniru mereka.

Tina, Betty, dan Abigail selamat dari amarah warga. Namun, ongkos yang besar harus dibayarkan kampung tersebut. Beberapa minggu kemudian, puluhan warganya tersebut ditahan. Tak sedikit dari antaranya yang lantas dihukum mati karena didakwa punya hubungan dengan iblis dalam pengadilan yang sangat mengada-ada. Betul, pengadilan yang sangat mengada-ada: yang keputusannya mengandalkan ceracau dari Tina, Betty, dan Abigail.

Ia esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.@gegerriy
 Penulis; Geger Riyanto Foto: Privat

Kegaduhan Spektakular

Situasi di atas merupakan cuplikan dari lakon Jelaga, drama adaptasi The Crucible yang dipentaskan dengan memikat oleh Teater Pandora pada 25-26 Januari 2018 silam. Fiktif? Tentu. Tetapi, saya tidak akan heran apabila ia tidak terasa asing bagi banyak orang.

Pertama, tentu saja, karena tahun 2018 dibuka dengan manuver-manuver populis di ranah politik tanah air. Ketua MPR RI sekonyong-konyong menunjuk bahwa di parlemen ada partai-partai yang mendukung LGBT.Pernyataannya segera menimbulkan kegaduhan spektakular bak yang terjadi di atas panggung lakon Jelaga. Masing-masing partai cepat-cepat menegaskan bahwa mereka menolak LGBT. Para politisi saling mendahului rekan-rekannya untuk menandaskan kecamannya terhadap segala bentuk preferensi seksual yang lain.

Yang jadi persoalan adalah dalam upaya partai-partai untuk mementahkan tudingan Ketua MPR, masing-masing harus menampakkan komitmennya secara terbuka dengan mendukung produk hukum serta kebijakan yang secara berlebihan mengatur kehidupan pribadi warganya. Mereka yang tidak mendukung RUU KUHP terbaru,katakanlah, akan secara salah kaprah dianggap sebagai pendukung LGBT serta perzinahan. Padahal, konsekuensi dari pemberlakuan sebuah hukum positif jauh lebih rumit daripada sekadar menangkal suatu tindakan yang dianggap tercela.

Banyaknya pasal karet dalam produk hukum kita telah mengizinkan kita mencicipi apa yang mungkin akan terjadi dari pemberlakuan RUU KUHP ini. Aparatur negara dapat menahan dan menghukum pihak-pihak yang mengganggu kepentingan kekuasaan dengan dalih yang sangat mengada-ada. Hal ini terjadi tak habis-habis kepada para aktivis lingkungan serta warga kampung yang menentang pembangunan serta eksploitasi di tempat hidup mereka. Dan jangan keliru, bila kita ingat baik-baik, ia juga menimpa figur-figur yang disanjung sebagai otoritas religius.

Lanjut ke halaman 2

Selanjutnya, bagaimana membuktikan seseorang tidak berzinah di mata publik? Birokrasi tidak akan mengandalkan pengakuan-pengakuan warganya pastinya. Akan ada pengujian, sertifikasi, pemberlakuan aturan tak pandang bulu dan bahkan penetapan instansi baru yang wewenangnya sekadar untuk merealisasikan semua hal ini. Dan, masalahnya, ia bukan hanya menguras anggaran negara. Ia juga sangat menistakan. Kita tahu betapa merendahkannya wacana uji keperawanan yang sempat mengemuka di beberapa tempat. Apa yang terjadi saat ini adalah kita tengah mempersiapkan jalan untuk kebijakan mengada-ngada ini digelar di tingkat nasional.

Selain itu, hukum merupakan simbol apa-apa saja yang diperkenankan di wilayah di mana ia diberlakukan. Manuver dan siasat elektoral para elite saat ini, artinya, membuka kerentanan pengadilan massa ketika massa melihat adanya pelanggaran yang dibiarkan. Ini sudah terjadi. Ini dapat terjadi dalam skala yang lebih hebat lagi di masa mendatang.

Penanda Hampa

Dengan derasnya arus informasi yang menghantam kita lebih-lebih dari sebelumnya, saya mengerti dengan keresahan moral yang kini menggentayangi berbagai pihak. Setiap orang kini dihadapkan dengan informasi-informasi ganjil, aneh, asing setiap hari, dan banyak dari antaranya yang terasa sangat menakutkan, mengancam hanya karena kita tak terbiasa mencerapnya.

Akan tetapi, kita juga perlu memahami, adalah hal yang fatal membiarkan dinamika politik kita didikte semata oleh antagonisme terhadap yang liyan. Sejak waktu yang lama, antagonisme semacam ini merupakan pengepul atau perenggut dukungan elektoral yang ampuh. Para elite akan merogoh-rogoh satu identitas yang dapat mengikat para pemilih yang jumlahnya paling banyak dan mengkristalisasi sentimen identitas tersebut dengan membangkitkan imajinasi adanya musuh bersama. Mereka lantas akan mengepul dukungan para pemilih ini dengan membawakan diri sebagai pahlawan yang akan memerangi musuh imajiner tersebut dan melindungi pemilihnya.

Apakah sebuah kebetulan manuver semacam ini kini marak berbarengan dengan dirilisnya hasil jajak pendapat bahwa elektabilitas partai serta politisi agama tak terlalu memuaskan? Apakah sebuah kebetulan sekonyong-konyong saja idiom Partai Allah dan Partai Setan lantas mencuat mengikutinya? Kita bisa mencurigai, tidak.

Akan tetapi, pertanyaan lebih mendesaknya, dari manakah batasan-batasan antagonisme ini digariskan? Pada dasarnya, dari ketakutan imajiner kita kepada yang lain. Dari "penanda hampa,” bila kita mau mengutip teoretisi populisme, Ernesto Laclau. Artinya, bila strategi semacam ini sukses melambungkan popularitas elektoral dari para elite, kita akan kian sulit berharap demokrasi mengerek program-program yang secara konkret mengadvokasi kesejahteraan kelompok warga yang membutuhkannya. Kontestasi politik akan menjadi peragaan dan peraduan heroisme yang mengawang. Artikulasi-artikulasinya nampak menawan bagi sebanyak-banyaknya pemilih namun, pada saat yang sama, tak merangkul siapa-siapa.

Kotak Pandora

Dan, dalam prosesnya, para elite tak pernah menyadari bahwa mereka tengah membuka kotak Pandora. Ketika moralitas yang abstrak menjadi bagian dari undang-undang kita, pihak-pihak yang memegang kekuasaan akan memiliki keleluasaan untuk menertibkan siapa-siapa yang mengganggu kepentingannya. Kelenturan penafsirannya akan menjadikan pihak yang paling mampu mengintimidasi, menekan, serta mempengaruhi publik selaku penentu penerapannya.

Belum lagi, kelompok minoritas akan kian rentan menjadi bidikan artikulasi populis. Minoritas acap menanggung ampas-ampas dari populisme pasalnya kebutuhan para elite yang mengumbarnya adalah dukungan politik mayoritas. Pihak-pihak yang rawan ditempatkan menjadi musuh imajiner, karenanya, tak lain dari minoritas. Dengan jumlahnya yang tak bisa dibandingkan dengan mayoritas, mereka juga tak dapat membela diri dari khayalan-khayalan bahwa mereka kambing hitam segala kesulitan bangsa yang selalu merebak dengan kecepatan sangat tinggi.

Tahun 2018 dibuka dengan lakon Jelaga yang muram serta situasi politik riil yang rentan lebih rawan darinya. Kita perlu bersiap dengan ekspresi-ekspresi populisme yang boleh jadi lebih akut dan bergerak bersama mengantisipasi ekses-ekses buruknya

Penulis:

 Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.