1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Memisahkan Kemerdekaan dari Kekerasan

14 Agustus 2017

Peringatan hari kemerdekaan tiba. Bagaimana kita menakar bobot keindonesiaan seseorang pada hari-hari ini. Siapakah seseorang yang berhak menyandang predikat orang Indonesia sejati? Ikuti opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2i7J1
Frans Kaisiepo Briefmarke Indonesien

Anda mungkin masih ingat. Beberapa bulan silam, Frans Kaisiepo, yang sosoknya kini mewajahi uang Rp10.000 baru Republik Indonesia, dipermasalahkan kepahlawanannya. Figurnya tercetak di uang yang paling banyak, paling marak berpindah tangan, dan beberapa pihak menganggapnya tidak layak untuk memperoleh kehormatan yang sangat teristimewa ini.

Mengapa? Anda pun mungkin masih ingat, beberapa suara secara gamblang mempertanyakan kepatutannya sebagai sosok nonmuslim untuk dianggap sebagai pahlawan—lebih-lebih untuk dicetak di kertas yang paling sering digunakan. Ia bukan pahlawan bagi kaum terbanyak. Untuk apa menyanjung-nyanjung satu sosok di negeri di mana ia merupakan seorang minoritas?

Namun, saya melihat, persoalan mengapa Kaisiepo dianggap tidak layak tak semata dipicu karena Kaisiepo seorang "kafir” melainkan juga karena ketidaklekatannya dengan perjuangan bersenjata. Nonmuslim jamak dianggap tak berjarak dengan kolonial. Mereka dianggap para kolaborator yang enggan mengangkat senjata kepada serdadu Belanda kala diperlukan. Maka Kaisepo, dalam penalaran awam tak bertanggung jawab, dianggap seseorang yang tak pernah berjuang melawan kolonialisme.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Dan, memang, citra Kaisiepo sendiri berbeda dengan sosok yang lumrah kita sebut pahlawan. Ia tak dikenal selaku seorang panglima perang atau pemberontakan. Kaisiepo diangkat menjadi pahlawan karena keberpihakannya terhadap Indonesia yang menyentuh. Selepas mendengar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia merancang agar Papua bergabung dengan Indonesia, sebuah tindakan yang sangat mempertaruhkan keselamatan pada masanya. Pada 31 Agustus 1945, ia bersama tokoh-tokoh Komite Indonesia Merdeka diam-diam menggelar upacara pengibaran bendera merah putih dan mengumandangkan Indonesia raya.

Kaisiepo menjadi satu-satunya anggota Delegasi RI dalam perundingan Malino tahun 1946 dan menolak pembentukan Indonesia Timur. Ia dipenjara pada tahun 1954-1961 karena menampik ditunjuk sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini. Dan, selepas kebebasannya, ia mendirikan Partai Politik Irian yang bertujuan menggabungkan Nugini dengan RI.

Akan tetapi, kelekatan Kaisiepo dengan peperangan fisik terbatas. Ia, memang, ambil andil dalam Trikora yang bertujuan menggagalkan negara boneka Papua buatan Belanda dengan melindungi para sukarelawan Indonesia yang menyusup diam-diam ke tanahnya. Ia disebut-sebut merupakan salah satu pencetus pemberontakan rakyat Biak terhadap Belanda pada Maret 1948. Kendati demikian, ia tak pernah menjadi sosok yang sama membekasnya seperti para raja, "kapiten," jago lokal yang memimpin peperangan melawan kolonial jauh sebelum Indonesia terbentuk atau para pimpinan tentara maupun milisi yang menghalau kedatangan Belanda pascakemerdekaan.

Menakar bobot keindonesiaan seseorang

Semua ini menunjuk ke satu kenyataan pahit tentang bagaimana kita menakar bobot keindonesiaan seseorang pada hari-hari ini. Siapakah seseorang yang berhak menyandang predikat orang Indonesia sejati? Mereka yang terlibat dalam menyingkirkan, mengenyahkan yang asing dengan kekerasan di masa silam.

Ada satu fakta yang telah bergulir puluhan tahun yang menegaskan kecenderungan ini. Di satu daerah yang memiliki tempat istimewa di negeri ini, Yogyakarta, warga keturunan tak diperkenankan memiliki tanah. Keyakinan masyarakat, yang nampaknya dipupuk secara sengaja, adalah kelompok warga ini mendukung Belanda ketika agresi militer dilangsungkan. Kawula keturunan, karenanya, dianggap mesti menerima diperlakukan tidak setara dengan warga lainnya.

Apa artinya? Kekerasan kepada yang lain di kurun revolusi kemerdekaan, artinya, dianggap patut menentukan posisi sosial seseorang atau satu kelompok di negara Indonesia modern.

Penyederhanaan fatal

Ini bukan berarti setiap peperangan membela kemerdekaan Indonesia dengan sendirinya bermasalah. Masalahnya adalah kita tidak bisa memukul rata setiap bentuk kekerasan terhadap kawula yang kita anggap asing sebagai pengejawantahan semangat kemerdekaan atau keindonesiaan. Dan, percayalah, kita mengemban kebiasaan melakukan penyederhanaan fatal semacam ini.

Seorang novelis belia kondang, ambil saja, pernah menyampaikan bahwa kita merdeka berkat keberanian meregang nyawa para pejuang religius di masa silam. Ia menyiratkan bahwa orang-orang dari kelompok kiri tidak sepatutnya dielu-elukan karena mereka tidak pernah berperang membela tanah airnya dari serdadu Belanda. Untuk yang mengetahui kesilapannya, pandangan ini menggelikan dan menghibur. Namun untuk kawula yang menerimanya mentah-mentah, yang saya curiga lebih banyak, ia berbahaya.

Sang novelis menganggap bahwa perjuangan terbukti dengan pertarungan hidup-mati melawan tentara kolonial. Lantas, bagaimana dengan upaya memperjuangkan kedudukan orang-orang Indonesia melalui pengorganisasian, diplomasi, pendidikan, yang pada kenyataannya banyak dilansir kalangan kiri dan esensial? Dan, pertanyaannya, bila perjuangan melulu adalah mengacungkan dan menebaskan parang, bagaimana dengan wanita? Bagaimana dengan mereka yang selalu dipaksa zamannya untuk tidak berada di garis depan peperangan?

Apakah mereka akan selalu menjadi manusia kelas dua?

Tetapi, betapapun kita mengeluhkan kelekatan keindonesiaan dan kekerasan ini, apa yang menanti mereka yang ingin mematahkan keterpautan keduanya hanyalah kesulitan. Bukan tanpa alasan dari waktu ke waktu roman sebuah bangsa adalah roman kekerasan. Sebuah bangsa selalu diceritakan lahir dan hidup dari rahim kekerasan—sebelum akhirnya mati di palungan yang sama, kekerasan. Ia berawal dari perang yang dimenangkan. Ia dipertahankan melalui peperangan. Ia pun redup karena kekalahan dalam perang.

Mengapa? Sederhana. Drama kekerasan jauh lebih membekas di perasaan dan ingatan kita dibandingkan cerita-cerita lainnya. Dan tindakan kekerasan lebih mudah mencatatkan nama tertentu ke benak kita dibandingkan tindakan-tindakan lainnya. Tak banyak yang mengetahui seluk-beluk sosok yang mewajahi uang Rp1.000 lama kita, Pattimura. Di antara orang-orang Maluku sendiri, banyak perdebatan tentang asal-usulnya. Namun, satu hal yang diketahui nyaris semua orang perihal sosoknya adalah ia merupakan pejuang melawan Belanda.

Siapa, karenanya, yang tak mau membangun sebuah bangsa dengan drama kekerasan? Bila saya dipercaya dengan nasib sebuah bangsa, saya jawab saja, bukan saya.

Penulis:

Geger Riyanto (ap/hp)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.