1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menari Di Atas Gunung Berapi, Perang Pidato di Sidang PBB

Rainer Sütfeld28 September 2006

Kali ini suara para pembicara semakin lantang. Di urutan atas pengritik AS, tercantum nama presiden Venezuela Hugo Chavez. Dalam pidatonya, ia menyebut Presiden George W. Bush sebagai "iblis". Berikut komentar Rainer Sütfeld:

https://p.dw.com/p/CPBh
Sidang Umum PBB
Sidang Umum PBBFoto: AP

Apa yang masih dapat ditutup-tutupi dalam Sidang Umum tahun lalu, tersingkap dalam sidang yang ke-61 tahun ini. Yaitu bahwa PBB semakin terpecah-belah. Perdebatan mengenai reformasi PBB oun dianggap sebagai kecerobohan dan sangat berbahaya.

Tidak aneh, kalau setelah penampilan presiden Venezuela Hugo Chavez, banyak orang yang lalu membuka arsip. Dan saat membandingkan pidato yang mengecam Bush itu, mereka menemukan persamaan pandangan dengan Nikita Chruschtschow dan Fidel Castro.

Semilir angin dari jaman perang dingin berhembus di bangsal tempat berkumpulnya 192 bangsa. Tidak keliru, jika Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier dalam pidatonya memperingatkan agar jangan sampai terbentuk blok-blok baru.

Tidak, ini bukan tentang apa yang sering dikutip sebagai "benturan budaya", juga bukan pertentangan antara negara-negara kristen dan islam. Seperti yang dikemukakan oleh presiden Venezuela. Ini adalah sebuah cerita tentang diktatur dunia di Gedung Putih dan sekutu-sekutunya yang melawan dunia yang tidak berad di belakang mereka. Mulai dari Korea Utara hingga Sudan, melalui Iran sampai ke Bolivia.

Bagi kawasan Amerika Latin, ini bukan fenomena baru. Lebih dari itu, perpecahan PBB mengingatkan orang pada suasana di tahun 70-an. Tetapi belum pernah kelompok yang beroposisi dari seluruh dunia sedemikian kompak menentang, memaki dan mencakar kemapanan barat dalam PBB, seperti yang tercermin dalam perang pidato tahun ini.

Tidak, bukan dampak dari invasi ke Irak atau terpecahnya Dewan Keamanan Yang menyebabkan meluasnya frustrasi dan agresi. Bukan hanya konfrontasi langsung dengan AS sebagai pemegang hak veto – seperti Iran atau dalam konflik di Libanon- yang menambah ketidak-senangan dan penolakan.

Penyebab sebenarnya lebih terletak pada gagalnya reformasi PBB yang oleh Kofi Annan dinilai sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup organisasi dunia itu. Negara-negara di belahan selatan bumi boleh dikatakan sudah jengah menuntut penambahan jumlah anggota Dewan Keamanan. Badan yang dinilai hanyalah sebagai sarana negara-negara pemenang perang dunia ke-II. Sarana kekuasaan yang dimanfaatkan habis-habisan oleh negara-negara pemilik veto, terutama AS.

Seburuk apa penerimaan dan letigimasi dari badan tertinggi PBB itu bukan hanya terlihat dari pidato dan perilaku Iran dan Sudan. Dalam Sidang Umum itu eksistensi Dewan Keamanan dipertanyakan secara blak-blakan. Terutama diplomasi Bush dan dutabesar AS untuk PBB, John Bolton, telah mencoreng citra Dewan Keamanan. Sebab inti reformasi, yaitu penambahan jumlah anggota Dewan Keamanan hendak didikte oleh Washington menurut rumusannya sendiri.

Hanya diluar sorotan kamera, ada secercah harapan. Menlu Jerman bertemu dengan menlu Suriah; diplomat tertinggi Cina menghubungi kepala pemerintahan Sudan. Dengan demikian konflik dari Darfur sampai Libanon nampaknya agak mereda. Upaya bilateral itulah yang mempertemukan para pemegang peranan di suatu tempat.

Tetapi itu terlalu sedikit bagi se buah organisasi dunia yang disebut PBB. Yang jelas Sidang Umum itu sendiri memperlihatkan bahwa celah yang menganga semakin lebar. Upaya reformasi ibaratnya gunung berapi yang dapat meletus.