1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Mencari Jejak Tjakrabirawa

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
18 Desember 2021

Apakah ada upacara khusus saat pasukan Tjakrabirawa diresmikan, termasuk saat pasukan tersebut dibubarkan, semuanya hilang dalam kegelapan sejarah, hampir tidak ada catatan yang tersisa. Opini aris Santoso.

https://p.dw.com/p/42LQ7
Majalan Tjakrabirawa  koleksi penuiis kolom
Majalah Tjakrabirawa properti penulisFoto: Aris Santoso

TNI adalah lembaga yang penuh dengan upacara, setiap peristiwa penting selalu ditandai dengan upacara kebesaran militer. Demikian juga dalam pembentukan sebuah satuan atau pasukan, selalu ditandai dengan upacara di lapangan terbuka, sehingga bisa disaksikan publik dan diliput pers. Demikian juga bila seandainya sebuah pasukan akan dilikuidasi atau reorganisasi, juga ditandai dengan sebuah upacara.

Penanda seperti itu tidak pernah terjadi pada Tjakrabirawa (dibaca Cakrabirawa), sebuah pasukan setara Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden), yang dibentuk untuk mengawal Presiden Sukarno. Apakah ada upacara khusus saat pasukan itu diresmikan, termasuk saat pasukan tersebut dibubarkan, semuanya hilang dalam kegelapan sejarah, hampir tidak ada catatan yang tersisa.

Dari kepingan-kepingan kecil informasi, saya berusaha mencari kejelasan tentang satuan ini, dan tentu saja jauh dari sempurna. Secara kebetulan saya mendapat dua edisi buletin intern satuan ini, masing-masing nomor 3 (edisi Februari 1963) dan 4 (edisi Mei 1963), yang sedikit-sedikit bisa membantu mengungkap keberadaan satuan yang pernah berjaya di penggal terakhir kekuasaan Sukarno (1962-1966).

Tahun 1962 merupakan tonggak penting keberadaan satuan ini, dengan terbitnya Keputusan Presiden tentang pembentukan satuan, yang tanggalnya sengaja diambil dari hari kelahiran Soekarno. Jadi 6 Juni 1962 ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Resimen Tjakrabirawa, dengan Komandan pertama dan "terakhir” adalah Kolonel CPM Sabur, yang kemudian pangkatnya sempat dinaikkan sebagai brigjen.

Resimen kurang lebih setara dengan brigade, artinya Resimen Tjarabirawa (biasa disingkat Mentjakra) membawahi empat bataliyon KK (kawal kehormatan). Empat bataliyon itu berdasarkan unsur tempur dari masing-masing matra, yaitu satuan berkualifikasi raider atau para (AD), KKO atau Korps Marinir (AL), Pasukan Gerak Cepat (PGT, AU), dan Brimob (Polri). Setiap bataliyon KK secara bergiliran bertugas di sejumlah istana, seperti Istana Merdeka, Istana Cipanas, Gedung Agung (Yogyakarta), dan Istana Tampaksiring (Bali).

Nama satuan ini diambil dari nama senjata pamungkas tokoh pewayangan Prabu Kresna. Penamaan pasukan di Tanah Air, pada umumnya merujuk cerita pewayangan, seperti Pasopati, Pandawa, Nanggala, dan seterusnya. Kebetulan Presiden Sukarno sendiri adalah seorang penikmat cerita pewayangan sejati.

Antara Untung dan Benny 

Bagi generasi zaman milenial, pengetahuan awal tentang satuan "misterius” ini, salah satunya bisa melalui biografi Jenderal Benny Moerdani, yang terbit pertama tahun 1992. Dalam biografi tersebut, ada bagian yang menceritakan bagaimana Benny berani menolak undangan Bung Karno, untuk menjadi Danyon I/ KK (matra darat) Mentjakra. Sungguh tak terbayangkan, apa yang ada dalam benak Benny saat itu, ketika banyak perwira dan prajurit ingin bergabung ke Tjakrabirawa, Benny justru menolak. Siapa yang tidak ingin selalu dekat penguasa atau kekuasaan?

Nasib manusia tidak bisa diramalkan. Seandainya Benny bersedia menerima undangan Bung Karno, mungkin Benny tidak akan muncul sebagai figur yang terlanjur sudah kita kenal selama ini. Saat Benny menghadap Bung Karno, itu sekitar bulan Maret atau April 1963, tak lama setelah Benny memperoleh Bintang Sakti, karena perannya sebagai komandan  Operasi Naga, sebuah operasi senyap di belantara Merauke (Juni 1962).

Dari teks yang muncul pada biografi Benny dan buletin Tjakrabirawa (edisi Mei 1963), ketika membahas peristiwa yang sama, yaitu penyematan Bintang Sakti di halaman Istana Merdeka, sekitar Februari 1963, ada dua nama tokoh yang muncul, yaitu (dengan pangkat saat itu) Mayor Benny Moerdani dan Mayor Untung. Nama keduanya menjadi "viral” saat itu, karena prestasi dalam operasi lintas udara merebut wilayah Papua, hingga keduanya sama-sama memperoleh Bintang Sakti, bintang tertinggi TNI karena keberanian dalam bertugas. Bila Benny memimpin Operasi Naga yang menembus belantara Merauke, sementara Untung memimpin Operasi Gagak menembus belantara Fakfak dan Kaimana. Mayor Untung pula yang diberi kehormatan menjadi Komandan Upacara (Danup) pada momen yang  penuh dengan kebesaran militer hari itu.

Dari momen pertemuan antara Bung Karno dan Benny terkait posisi komandan di Tjakrabirawa, saya menduga, nama Untung belum masuk "radar” Bung Karno. Pengetahuan Bung Karno terhadap Untung masih terbatas, terkait performa Untung sebagai perwira Banteng Raiders (Semarang) yang dikenal jagoan di medan tempur. Sama sekali belum ada bayangan, bahwa kelak Untung  akan menjadi Danyon I/KK Tjakrabirawa.

Begitu juga dalam buletin internal tersebut, ada halaman khusus yang memuat foto Benny usai menerima Bintang Sakti, dengan caption yang sangat simpatik. Namun tidak ada keterangan sedikit pun terkait sosok Untung, meskipun dia menjadi Danup hari itu. Artinya, sampai tahun 1963, setahun setelah Tjakrabirawa berdiri, nama Untung masih  asing bagi satuan ini. Sementara Benny memperoleh ekspose luar biasa, seolah itu adalah sinyal atau harapan, agar Benny bisa segera bergabung dengan Tjakrabirawa. Ternyata Benny lebih memilih melanjutkan karirnya di Korps Baret Merah (Kopassus), sebagai Danyon 1 (cikal bakal Grup 1 Kopassus), hingga menjadi Panglima ABRI pada tahun 1983.

Menurut catatan yang ada, Untung baru diangkat sebagai Danyon I/KK pada Mei 1965, jadi hanya sekitar empat bulan sebelum terjadinya Peristiwa 30 September. Untung menggantikan posisi Letkol Inf Ali Ebram, yang dimutasi sebagai Asisten Intel Mentjakra. Dari durasi penugasan seperti ini, terlihat Untung sebenarnya adalah tokoh "dadakan” dalam peta politik di Jakarta. Dari seorang perwira lapangan tulen, kemudian seperti didorong, lebih tepatnya diceburkan, masuk dalam lingkaran elite politik Jakarta yang kompleks. Bisa jadi Untung sendiri sejatinya belum siap terlibat di panggung  politik segemerlap itu, namun kini semuanya telah menjadi sejarah.

Dari pengalaman Untung dan Benny dalam turbulensi sejarah, kita bisa mengingat kembali istilah (Belanda): eenmalig (sekali saja). Istilah ini biasa untuk menggambarkan fenomena historis, bahwa sebuah peristiwa atau kesempatan emas, biasanya hanya datang sekali. Seperti ungkapan populer dalam masyarakat, kesempatan tidak pernah datang dua kali. Keberanian Benny untuk menolak tawaran Bung Karno, pantas disebut eenmalig. Dalam tahap tertentu juga bagi Untung, meski karier dan kehidupan Untung berakhir tragis.

Kombes Mangil

Tak berlebihan kiranya bila Kombes Mangil Martowijoyo disebut tokoh protagonis dalamTjakrabirawa. Jauh berbeda dengan sosok Letkol Untung, yang seolah telah menjadi musuh bersama bangsa ini, yang namanya selalu "diingat”  setiap memasuki bulan September. Sementara Kombes Mangil namanya selalu diingat publik dengan rasa simpati. Seandainya itu boleh disebut nasib baik, terlebih bila dibandingkan nasib mantan anggota Tjakrabirawa pada umumnya,  nasib baik Mangil  masih boleh ditambahkan, ketika  meninggal pada Januari 1994,  Mangil diizinkan untuk dimakamkan di TMP Kalibata. Tentu sebuah kehormatan besar untuk ukuran mantan pimpinan Tjakrabirawa.

Nasib baik seperti itu bisa terjadi, sehubungan latar belakang Mangil dan pasukan yang dipimpinnya, yaitu DKP (Detasemen Kawal Pribadi), memiliki riwayat yang berbeda dengan satuan induknya. Dengan kata lain, Mangil dan DKP bisa dianggap bukan "Tjakrabirawa 100 persen”. DKP memiliki usia yang lebih tua dari Resimen Tjakrabirawa pimpinan Brigjen Sabur, terlebih dengan Bataliyon I/KK yang dipimpin Letkol Untung.

Mangil sudah mengawal Bung Karno sejak Rapat Ikada (September 1945), dan yang paling penting dicatat adalah saat pasukan Mangil mengawal Bung Karno beserta keluarga, yang harus "mengasingkan diri” sementara ke Yogyakarta pada Januari 1946. Ketika itu Jakarta sebagai pusat pemerintahan tak lagi kondusif, dan sudah sampai pada taraf membahayakan pribadi pimpinan negara, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta, memutuskan hijrah ke Yogyakarta dengan menumpang kereta api istimewa.

Dari dua peristiwa tersebut, kita bisa tahu DKP sudah ada sejak tahun 1945, sementara Tjakrabirawa yang menjadi satuan induknya baru berdiri tahun 1962. Dalam jajaran (khususnya) TNI AD, adalah hal biasa satuan di bawahnya lebih dulu berdiri ketimbang satuan di atasnya, salah satu yang bisa disebut adalah Brigade Infanteri 17/Kujang I Kostrad (markas Cijantung, Jakarta Timur). Brigif 17 resmi berdiri pada 20 Mei 1966, sementara tiga satuan di bawahnya lebih dahulu lahir, bahkan ada yang lahir di saat perang kemerdekaan (1945-1949), yaitu Bataliyon Infanteri 305/Tengkorak (Karawang, Jabar).

DKP pula yang paling akhir menjalankan tugas, ketika Resimen Tjakrabirawa dibubarkan secara resmi pada 22 Maret 1966,   tak lama setelah Supersemar terbit. Mangil seolah seperti memiliki privilege, karena kedekatan khususnya dengan Bung Karno, dan yang paling lama mengawal dibandingkan yang lain. Bandingkan denga Untung misalnya, yang hanya dalam hitungan bulan mengawal Bung Karno.

Secara operasional tugas DKP berakhir pada 16 Agustus 1967, ketika Mangil menyerahkan tugasnya pada Satgas Pomad. Sampai detik-detik terakhir kekuasaan Soekarno, DKP masih mendampingi. Termasuk ketika Soekarno harus keluar dari istana, karena dipaksa oleh rezim yang baru. Selanjutnya tugas pengawalan atau pengamanan presiden dijalankan oleh Satuan Tugas Polisi Militer AD dengan komandan (pangkat saat itu) Kol CPM Norman Sasono. Sementara Kombes Mangil dikembalikan pada Brimob Polri, sampai beliau pensiun.

Satgas Pomad inilah yang kemudian hari berkembang  menjadi Paswalpres (Pasukan Pengawalan Presiden, kini Paspampres), dan Norman Sasono sendiri  kemudian menjadi Pangdam Jaya pada pertengahan dekade 1970-an. Seorang anaknya kemudian juga menjadi Komandan Paspampres, yaitu Letjen (Purn) Marciano Norman (Akmil 1978, kavaleri), dan kini dikenal sebagai Ketua Umum KONI Pusat.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.