1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Mencegah Arus Balik Ideologi Impor

15 Mei 2018

Kapolri tidak membantah kaitan antara jaringan teror di Suriah dengan terduga pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Apakah ada cara efektif mencegah arus balik ideologi impor? Simak opini Monique Rijkers.

https://p.dw.com/p/2xgXz
Anschlag auf Polizeihauptquartier in Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/AP/A. Ibrahim

Beberapa jam pasca Bom Surabaya yang terjadi Minggu, 13 Mei 2018 di tiga lokasi gereja, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan pelaku pemboman yang merupakan satu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan empat anak kandung adalah bagian dari 500 orang yang kembali dari Suriah. Di Suriah, R. Dita Oepriarto dikatakan belajar strategi teror, kemiliteran dan membuat bom. Namun berselang sehari, Kapolri Jenderal Tito Karnavian merevisi pernyataan sebelumnya. Menurutnya, R. Dita Oepriarto tidak pernah ke Suriah namun ada satu keluarga yang menjadi panutan keluarga Dita yang pernah ke Suriah dan masih diburu oleh polisi. Panutan biasanya dianggap mempunyai ilmu yang lebih tinggi dan menempati posisi terhormat sehingga bukan tidak mungkin, panutan yang diikuti R. Dita Oepriarto inilah dalang peristiwa tragis Bom Surabaya yang mengatur peledakan di tiga gereja dan kantor Mapolsek Surabaya Senin, 14 Mei pagi. 

Bloggerin Monique Rijkers
Foto: Monique Rijkers

Gunakan nama Irak dan Suriah

Kabar tentang orang-orang yang pergi ke Suriah, pertama kali saya ketahui tahun 2014. Saat itu seorang teman memberitahu saya adanya video di YouTube yang menampilkan deklarasi dukungan terhadapISIS atau Islamic State of Iraq and Syria atau Negara Islam Irak dan Suriah. Meski menggunakan nama Irak dan Suriah dalam organisasinya, ISIS berhasil menggaet perhatian sejumlah orang Indonesia. Sekitar 600 orang dalam video YouTube itu tampak mengikuti baiat atau menyatakan setia dan mendukung ISIS.

Deklarasi dukungan dilakukan secara tertutup pada sebuah ruang serba guna di kawasan di Jakarta Selatan. Celakanya, tempat yang disewa adalah milik yayasan sebuah universitas Islam namun bisa disewa untuk umum sehingga dengan mudah dicurigai, sasaran baiat adalah mahasiswa universitas Islam tersebut. Dari penelusuran sederhana, saya menemukan nama penyewa yang menamakan diri Forum Aktivis Syariat Islam. Meski berulang-ulang dihubungi lewat telepon seluler, nomor tersebut tidak pernah menjawab panggilan masuk. Menurut saksi mata yang saya temui, foto presiden dan wakil presiden serta lambang Garuda Pancasila yang biasanya tergantung di ruangan itu, diturunkan. Acara berlangsung satu jam, disertai menonton bersama video berbahasa Arab yang dilengkapi dengan terjemahan Bahasa Indonesia tentang perjuangan di Suriah dan Irak. Pemimpin acara meminta kesediaan para hadirin untuk berjuang, terutama di Timur Tengah. 

Menyamar jadi turis 

Ajakan ke Suriah ini, rupa-rupanya menarik minat sejumlah orang. Bahkan boleh dibilang arus masuk WNI ke Suriah melalui Turki, perbatasan yang terdekat dan mudah diakses dari Indonesia cukup besar. Saat saya berada di Turki, pemandu wisata saya menjelaskan sebuah agen tur dari Indonesia sempat bermasalah dengan imigrasi Turki karena satu keluarga yang ikut tur wisata ke Turki ternyata tidak pulang kembali ke Indonesia meski sudah memiliki tiket pulang. Rupanya menyamar sebagai turis menjadi salah satu modus untuk bisa ke Suriah. Kisah lain adalah seorang ustad yang disegani di Solo yang disebut-sebut sebagai “agen penghubung” untuk setiap WNI yang ingin ke Suriah. Akses ke lokasi, nama dan nomor kontak untuk bergabung dengan ISIS akan diberikan kepada peminat serius.

Selain animo yang besar untuk bergabung dengan ISIS, masyarakat Indonesia juga antusias memberikan bantuan kepada korban perang Suriah. Hal ini terlihat dari maraknya iklan media luar ruang yang mengajak masyarakat Indonesia untuk memberikan bantuan. Namun terungkap pada akhir tahun 2016 lalu, Bachtiar Nasir, seorang ustad tercium menyalurkan bantuan logistik yang diberi label bantuan kemanusian kepada pemberontak di Suriah. Namun kasusnya tidak diproses lebih lanjut.

Jumlah WNI simpatisan ISIS

Pada tahun 2014, saat kabar dan baiat ISIS santer terdengar di Indonesia, Kementrian Luar Negeri tidak memiliki data warga negara Indonesia yang terlibat atau melibatkan diri dalam kegiatan ISIS di Irak atau Suriah. Waktu itu Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan tidak mengetahui jumlah WNI simpatisan ISIS.  Tahun 2016, usai menonton film “Jihas Selfie” di Kementerian Luar Negeri, saya bertanya kepada seorang pejabat Kemlu, “Berapa jumlah WNI yang diduga ada di Suriah?” Sang pejabat Kemlu menyebut angka 5000 orang, paling kurang. Tentu jumlah yang cukup besar jika dilihat sebagai potensi radikalisme dan terorisme. Kini, empat tahun setelah video deklarasi baiat dan ajakan berjuang di Suriah pertama kali muncul di Indonesia, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebutkan 500 orang pulang dari Suriah. Sementara sisanya sekitar 500 orang lain masih di Suriah.

Sayangnya, Indonesia tidak mengenal stateless untuk para WNI yang sudah pergi ke negara lain dan menyatakan diri setia kepada organisasi teroris. Bahkan merujuk pada sejumlah pemberitaan, beberapa WNI saking ingin setia kepada ISIS, nekat membakar paspor mereka sebagai tanda tidak ingin kembali ke Indonesia dan tidak mengakui Indonesia sebagai negaranya. Saat bertemu dengan Ketua Pansus RUU Anti-Terorisme DPR dari Fraksi Partai Gerindra M. Syafii dalam sebuah acara, saya menanyakan apakah pencopotan sebagai WNI bisa dikenakan kepada para simpatisan ISIS? M. Syafii justru balik bertanya, “Bagaimana menghukum orang kalau sudah bukan warga negara?”Ia menegaskan status WNI akan hilang pertama, jika terbukti terlibat tentara negara orang. Kedua, jika menyatakan kesetiaan kepada negara lain.

Copot status WNI bagi penggemar ideologi impor

Dalam hal ini pemerintah dan parlemen di Indonesia tidak menganggap ISIS itu sebagai sebuah negara karena masih bersifat utopia sehingga kemampuan perang dan membuat bom dianggap bukan bentuk keahlian seorang tentara di medan perang sebagaimana para “pejuang” ISIS. Bahkan pemerintah giat membawa pulang mereka yang mau kembali demi memenuhi rasa tanggung jawab negara, difasilitasi agar tiba dengan selamat di Indonesia dan dibina dengan pendampingan agama dan pembekalan keterampilan bekerja. Paling tidak sebuah LSM memfokuskan pada misi ini namun sejauh ini dengan alasan keamanan, identitas dan jumlah mereka yang dibina tidak bisa saya ketahui.

Namun karena tidak ada informasi arus masuk WNI ke Suriah dan tidak ada informasi arus kembali ke Indonesia, menentukan jumlah WNI yang sudah terpapar ideologi impor ala ISIS hingga saat ini belum bisa diketahui dengan pasti. Seperti diketahui, akses langsung ke Suriah tidak ada sehingga harus melalui sejumlah pintu negara lain, yang termudah melalui Turki. Mereka yang pulang dan difasilitasi pemerintah Indonesia umumnya karena ada sejumlah kasus sehingga Kedutaan Besar Republik Indonesia di Suriah, Yordania atau Irak dilibatkan. Beberapa WNI diduga masih berada di penjara namun tidak bisa ditemukan karena situasi di dalam negeri Suriah yang tidak mudah diakses oleh para diplomat maupun staf Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dari Indonesia.

Indonesia perlu mengkaji ulang kebijakan mencopot status WNI bagi para penggemar ideologi impor. Meski niat pemerintah Indonesia melindungi warga negaranya dan menerima kembali mereka yang pernah bergabung dengan ISIS itu mulia, namun pemerintah wajib melindungi WNI yang jumlahnya jauh lebih besar dan tidak pernah melenceng dari Pancasila dan NKRI. Pemerintah dan DPR bisa mengubah UU Kewarganegaraan dengan membuka peluang dicopotnya status WNI  bagi mereka yang mendukung ideologi berbasis kekerasan, terorisme dan berpotensi merusak serta menakuti masyarakat Indonesia secara luas. Dengan mencopot status WNI diharapkan tidak ada lagi keinginan berperang di negara lain dan membawa pulang ideologinya untuk diterapkan di Indonesia. Meski guna mencapai keputusan itu memerlukan sejumlah langkah dan harus menempuh jalan panjang, inilah salah satu solusi yang bisa dilakukan.

Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz) adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis