1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Tetap Bodoh Walau Membaca Buku

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
18 Juni 2018

Bukan hal yang baru jika Indonesia dikritik sebagai negara yang rendah tingkat literasinya. Berbagai alasan dituduh menjadi penyebabnya. Simak opini Nadya Karima Melati

https://p.dw.com/p/2zgHR
Indonesien Jakarta chinesisches Museum
Foto: Monique Rijkers

Seorang beragama membaca sebuah buku dan merasa tahu segalanya sementara ilmuwan membaca ratusan buku dan merasa masih tidak tahu apa-apa – Anonimus.

Buku adalah jendela dunia. Salah seorang selebgram yang saya kenal menyatakan mau melakukan give away buku sebagai perayaan penambahan jumlah followers di Instagramnya. Mengapa buku? Karena buku dianggap mampu membuat seseorang berpikiran terbuka, katanya. Seorang selebgram juga, menampilkan berbagai pose dirinya sedang membaca berbagai buku dalam album Instagramnya, tentu saja disertai dengan caption yang menandakan bahwa dirinya, sebagai orang yang membaca buku lebih berkualitas daripada yang tidak membaca.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Bukan hal yang baru jika Indonesia dikritik sebagai negara yang rendah tingkat literasinya, baik membaca, menulis maupun berpikir kritis. Berbagai survei menghadirkan fakta angka-angka sedikitnya tingkat membaca bangsa ini dan membandingkannya dengan negara-negara Skandinavia atau negara Eropa Barat, berbagai alasan dituduh menjadi penyebabnya: mulai dari infrastruktur yang buruk, kualitas pendidikan yang buruk, gizi yang buruk, buku yang mahal dan sebagainya. Sedangkan kondisi kemampuan menulis, lebih menyedihkan lagi dari kemampuan dan keinginan membaca. Produksi jurnal ilmiah di tingkat universitas se-Asia Tenggara, Indonesia di daulat sebagai yang paling rendah. Padahal lulusan universitas adalah ujung tombak budaya menulis di Indonesia.

Bagaimana sesungguhnya nasib membaca dan menulis di Indonesia?

Dewasa ini seharusnya banyafk orang tidak asing lagi dengan kehadiran gawai smartphone sampai e-book reader. Negara Indonesia dikenal dengan penduduknya yang mudah adaptasi dengan teknologi terbaru khususnya gadget.

Saya sendiri pertama kali saya mendapat pembaca buku digital (e-book reader) keluaran Amazon dibelikan oleh pacar saya yang tinggal di Jerman. Saya takjub dan merasa membaca buku menjadi lebih sederhana dan praktis karena tidak perlu lagi membawa tas besar berisi buku dan harga buku digital jauh lebih murah daripada buku cetak. Di Amerika pada tahun 2012, pangsa pasar buku elektronik mencakup 35 persen sedangkan di Indonesia, hanya mencapai 2 persen. Hingga hari ini, buku digital belum mempengaruhi pasar pembaca buku manual disebabkan oleh hal yang kita semua pahami: minat baca masih lemah, apapun bentuknya.

Penyebaran hoax yang masif, pelanggaran lalu lintas di jalan hingga massa mengambang yang mudah dimobilisasi.

Literasi dianggap sebagai kemampuan dasar bertahan hidup di era demokrasi post-modern. Literasi adalah kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis.

Pada hari ini, pendidikan pada umumnya mengasah manusia untuk memiliki empat R kemampuan untuk mengatasi masalah yakni Reading, wRiting, aRitmethic dan Reasoning. Literasi adalah bagian dari membaca, menulis dan berpikir kritis yang diharapkan muncul melalui pendidikan.

Sejak masa awal kebijakan pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda bernama Politik Etis hingga sekarang, pemahaman literasi sering kali disandingkan dengan berpendidikan. Walau pada hari ini kenyataannya kita bisa saksikan bahwa banyak orang berpendidikan tinggi ternyata tidak punya kemampuan literasi.

Dalam pelbagai survei yang sering dikutip untuk menyetakan rendahnya minat baca bangsa ini, kemampuan literasi yang seharusnya mencakup tiga hal tadi, disederhanakan menjadi hanya minat baca. Akibatnya banyak orang berlomba-lomba untuk menunjukan diri menjadi sebagai orang yang membaca, berpikir dan menulis dikesampingkan. Hal ini ditangkap juga oleh kapitalisme yang meraup keuntungan dari literasi dangkal tersebut.

Penjualan buku di Indonesia dikuasai oleh sebuah perusahaan besar bernama Kompas Gramedia yang memiliki industri produksi buku cetak dari hulu sampai hilir, mulai dari kepemilikan perusahaan kertas Graha Cemerlang Paper, kontrak dengan penulis buku-buku melalui Kompas Gramedia Group hingga jaringan toko buku Gramedia yang hadir hampir di setiap kota besar di Indonesia.

Dengan monopoli ini, perusahaan Kompas Gramedia mempunyai kuasa penuh untuk mendistribusikan buku-buku yang diproduksi, dicetak, dipajang dan mempengaruhi isi pikiran pembaca. Seorang penulis kawan saya mati-matian untuk menerbitkan bukunya di bawah Kompas Gramedia Group karena ia ingin tulisannya dijangkau dan dibaca banyak orang, tanpa kuasa dari perusahaan ini menurutnya, harapannya akan sulit untuk terwujud mengingat jaringan pemasaran dan kesempatan buku untuk tayang.

Romantisme akan buku

Kedangkalan pemahaman soal literasi yang ditangkap pasar juga memunculkan tren yang lain: Romantisme akan buku. Apa yang dilakukan oleh para selebgram di atas adalah bentuknya. Buku, dianggap menjadi sebuah benda ajaib yang mampu menaikan status sosial pembacanya. Tren penjualan buku yang dipegang oleh distributor sekaligus produsen pertama di Indonesia adalah buku-buku motivasi, atau buku fiksi dengan pesan moral tertentu, buku agama yang mengajarkan menikah dan menanti jodoh adalah keutamaan dalam hidup ini dan sebagainya.

Buku yang diproduksi dan dibeli secara besar-besaran adalah buku yang menyesuaikan tuntutan literasi yang sekedar membaca, bukan buku yang mengajak untuk berpikir secara kritis dan mampu menuangkan buah pikirnya melalui tulisan. Intan Paramaditha, penulis dan dosen di Universitas McQuarie di Australia dalam sebuah wawancara dengan media Kompas.com dalam peluncuran bukunya yang diterbitkan KPG menyatakan "selama buku-buku di Indonesia masih bersifat apolitis, menjual mimpi, dan menyodorkan standar moral tertentu tanpa memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk berpikir kritis, di situlah letak permasalahan yang sebenarnya.”

Sekarang mulailah dengan berkunjung ke toko buku di kotamu, buku apa yang paling pertama muncul dalam pajangan? Apakah buku tentang perjalanan hidup seorang selebgram berusia 24 tahun yang berhasil mendapat beasiswa ke luar negeri? Buku jual mimpi atau motivasi? Buku berisi rahasia pengusaha sukes eksklusif dengan membeli buku ini? Buku 30 hari mencari cinta sejati yang diridhoi Allah? Atau buku fiksi yang berisi ajaran moral tertentu? Buku-buku itu yang mengisi pasar dan pikiran bangsa Indonesia sesungguhnya walau begitu tetap saja bangsa kita didaulat sebagai minat baca yang rendah. 

Hari ini membaca buku tidak bisa jadi penentu ukuran kecerdasan seseorang. Kemampuan berpikir tidak diasah melalui membaca buku apabila buku yang dibaca memang sengaja tidak mengajak untuk berpikir karena menyodorkan standar nilai moral dan ajaran tertentu.

Pembaca buku hari ini tidak harus ditakuti oleh penguasa karena berpotensi untuk membangkang dan kritis, pembaca buku hari ini adalah hasil dari romantisme akan buku dan monopoli pasar buku cetak. Sebuah lingkaran setan dibentuk bagi pembaca jenis ini, pembaca tidak diajak belajar berpikir kritis agar mereka sengaja tidak menyelesaikan permasalahan hidupnya seperti rezeki dan percintaan karena penyelesaian akan masalah hidupnya dijual dalam bentuk buku yang lain yang harus dibeli.

Penulis: Nadya Karima (ap/vlz)

Essais dan pengamat masalah sosial.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis