1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mencaci dan Mencari Teknologi Cina

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
14 Juli 2018

Cina dan Indonesia, sama-sama memulai nafas kehidupan yang damai sejak 1949, namun kini begitu beda rupa. Cina sudah bisa membuat dan menjual produk teknologinya, sedangkan kita masih membeli dan menggerutuinya.

https://p.dw.com/p/30wnA
Xiaomi Handy
Foto: REUTERS/Anindito Mukherjee

Masih teringat, sekitar 10 tahun lalu ketika seorang guru saya bercerita tentang kebangkitan teknologi Cina. Katanya, penduduk desa Negeri Tirai Bambu tersebut sudah mampu merakit flash disk, perangkat keras penyimpanan data yang saat itu digadang-gadang akan menggantikan disket, sebagai bagian industri rumahan. Ucapannya itu merespon iklan yang dibuat Telkom tentang internet yang masuk ke sebuah sekolah di daerah pedesaan Indonesia, dengan penduduknya yang masih lugu-lugu. Entah ucapannya sungguh-sungguh atau sekedar perbandingan hiperbola untuk menggugah kami murid-muridnya.

Satu dekade berlangsung, kebangkitan tersebut menjelma menjadi keperkasaan. Cina tengah menjadi penantang terkuat dalam produksi produk-produk teknologi dunia yang selama ini didominasi Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang. Di banyak negara, produk-produk teknologi Cina mulai melakukan penetrasi dagang secara halus, bahkan blak-blakan, untuk merebut pasar dari pesaing-pesaingnya yang telah begitu mapan.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Agresivitas Cina ini bisa menjadi bencana atau karunia, tergantung yang terlibat. Namun bagi Donald Trump, Presiden Amerika bermulut besar yang ucapan-ucapan tak terprediksinya pasti sering membuat panas dingin penasihat-penasihat ekonominya, Cina merupakan ancaman. Misalnya saja, pada 22 Maret 2018 lalu ia meneken kebijakan untuk menaikkan bea masuk sebesar 25% terhadap sekitar 1.300 produk-produk Cina, yang bernilai US$50 miliar (Rp687 triliun) per tahun.

Alasannya, karena barang-barang Cina yang diimpor Amerika jumlahnya lebih banyak daripada sebaliknya, khususnya barang-barang elektronik, suku cadang pesawat terbang, panel surya, sampai mesin cuci. Neraca perdagangan Amerika defisit. Namun Cina menolak tunduk terhadap kesemena-menaan bea masuk Trump tersebut. Bahkan mereka siap untuk melakukan perang dagang dengan Amerika, sesuatu yang banyak pakar perkirakan akan lebih merugikan Amerika.

Dalam konteks dunia, kepercayaan diri Cina untuk memasarkan produk-produk teknologinya tengah melangit, sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja oleh negara-negara lain. Lalu, bagaimana dengan reaksi negara-negara target pasarnya, terutama kelompok negara berkembang seperti Indonesia?

Tidak Lagi Murahan

Ada ucapan yang bunyinya kira-kira seperti ini: "Tuhan menciptakan langit dan bumi, sisanya dibuat oleh orang-orang Cina”. Entah sejak kapan kalimat guyonan tersebut menjadi viral, namun benar rasanya bahwa benda-benda dengan label ‘Made in China' kini dapat ditemukan di mana-mana, dari raket nyamuk sampai satelit yang mengorbit di luar angkasa.

Melihat sejarahnya, setidaknya pada abad ke-3, Kekaisaran Romawi sudah berkontak dengan Cina Dinasti Han. Selanjutnya, barang-barang Cina, terutama porselen dan sutra, dihargai tinggi di peradaban-peradaban Barat turunan Romawi. Ekspor Cina begitu intens, namun Cina dapat dikatakan sedikit sekali mengimpor barang-barang dari luar negeri. Berabad-abad kemandirian ekonomi Cina ini baru goyah ketika Inggris, dengan jalan perang selama 1839-1860, memaksa Cina mengimpor opium  sebagai balasan atas ekspor tehnya yang membengkak dan membuat neraca perdagangan Inggris merosot.

Di Indonesia masa kini, ceritanya sedikit berbeda. Sekitar akhir 2017 lalu saya memutuskan untuk membeli smartphone baru, mengganti Nokia Lumia yang sudah lima tahun dipakai. Awalnya, saya ingin membeli kembali merek ikonik asal Finlandia tersebut. Namun, ternyata merek Nokia sudah turun pamor, baik dalam perangkat keras maupun lunaknya, oleh merek-merek mapan asal Korea dan Jepang. Dan saya terkejut mengetahui bahwa merek-merek Cina kini sudah mendapat tempat yang terhormat di kalangan pengguna smartphone Indonesia.

Maklum, sampai beberapa waktu lalu merek-merek Cina masih lekat dengan label abal-abal dan cepat rusak. Namun, kehadiran OPPO, Vivo, Xiaomi, Huawei, dan merek-merek lain seperti Meizu, Lenovo, ZTE, di pasar Indonesia beberapa tahun belakangan mengubahnya. Sejurus kemudian, smartphone Cina laris diulas dan dibeli, khususnya produk tipe kelas menengah. Rahasianya: spesifikasi perangkat berkualitas setara, dan harga yang terlewat murah.

Contohnya smartphone Xiaomi Redmi 5A yang diluncurkan pada 20 Desember 2017 lalu dengan bandrol Rp999.000 namun berspesifikasi setara dengan produk berharga dua sampai tiga jutaan dari merek-merek lain. Dalam penjualan kilat di peluncuran perdananya saja, perangkat tersebut ludes dalam waktu beberapa menit. Xiaomi agaknya menerapkan strategi bisnis "laku keras untung sedikit”, yang banyak orang mengatakannya sebagai stereotip khas pedagang-pedagang Cina. Setidaknya, di Indonesia strategi itu disambut meriah.

Belum lama,International Data Corporation (IDC)merilis laporan penjualan smartphone tahun 2017 keseluruhan. Total, 30,4 juta unit smartphone terjual di Indonesia. Lima besarnya ialah Samsung (31,8%), OPPO (22,9%), Advan (7,7%), ASUS (6,5%), vivo (6%), dan lainnya (25,1%). Samsung masih digdaya, namun gabungan seluruh merek Cina tersebut (jika ASUS yang asal Taiwan ikut dihitung), jumlah persentasenya sudah mengalahkan pabrikan asal Korea tersebut. Bahkan pada 2018 ini, merek-merek Cina diperkirakan akan makin membanjiri pasar smartphone di Indonesia.

Industri mobil pun tampaknya setali tiga uang. Merek-merek Jepang yang sudah mapan di Indonesia mulai diganggu oleh pabrikan Cina, Wuling. Strateginya serupa, mobil-mobil Wuling, seperti Confero dan Cortez, dibandrol murah namun berspesifikasi setara dengan mobil-mobil Jepang yang mahal. Sejauh ini, para mayoritas pengulas mobil ternama di Indonesia mengacungkan jempol kepada Wuling. Halangan terbesarnya mungkin adalah "brand minded” masyarakat terhadap mobil-mobil Jepang, namun Wuling dilaporkan sudah membuka sekira 50 gerainya di seluruh Indonesia untuk meyakinkan masyarakat akan keseriusan kehadiran mereka.

Pastinya, status quo merek-merek mobil Jepang berpotensi goncang. Mungkinkah dalam waktu dekat mobil-mobil Cina membanjiri pasar otomotif Indonesia layaknya perangkat smartphone mereka? Kemungkinannya cukup besar, dan bakal memaksa sang samurai tua untuk bereaksi agar tidak tersingkir kembali, seperti smartphone Sony mereka yang tergusur beberapa tahun lalu.

Menjanjikan Namun Waspada

Cina dan Indonesia, dua negara yang sama-sama memulai nafas kehidupannya yang damai sejak 1949 namun kini begitu berbeda rupa. Cina sudah bisa membuat dan menjual produk-produk teknologinya, sedangkan kita masih membeli dan menggerutuinya. Di mata konsumen, produk Cina yang murah memang begitu menggiurkan, namun pemerintah harus memikirkan sebuah regulasi tepat sasaran agar penetrasi ekonomi ini tidak diikuti dengan tekanan-tekanan politik yang merugikan negara.

Ambisi teknologi Cina di Indonesia memang begitu terasa, seperti polemik tender kereta cepat Jakarta-Bandung pada 2016 lalu yang akhirnya jatuh ke tangan Cina, dan diprotes Jepang. Sederhananya, ambisi politik ekonomi global Cina dan niatnya mendompleng hegemoni Barat wajib diwaspadai. Terlebih lagi, ketika kawasan Indonesia sudah diproyeksikan untuk ambil bagian dalam proyek One Belt One Road (OBOR), sebuah inisiatif perdagangan dan pembangunan ekonomi terkoneksi di Eurasia yang dimotori Cina.

Karenanya, sudah saatnya kita berhenti meremehkan produk-produk teknologi Cina dengan membabi buta. Juga, saya pribadi menganggap seruan-seruan peringatan akan ancaman-ancaman Cina yang dikemukakan secara gamblang oleh kelompok fundamentalis Indonesia tidak bersubstansi karena didasarkan atas emosi dan rasa benci, bukan dari keinginan untuk berkompetisi. Padahal, Cina memberikan pelajaran berharga: kembangkan teknologi sendiri meski dicaci, jika terbukti sukses maka orang-orang pasti akan mencari.

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis