1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengatur Seks dengan Pelacur

15 April 2016

Sejak zaman purba hingga kini, belum pernah ada kata sepakat jika terjadi perdebatan soal transaksi seks. Berkaca dari pengalaman Perancis dalam mengatur prostitusi, Tunggal Pawestri menyampaikan pendangannya.

https://p.dw.com/p/1IWTE
Demonstration Paris Prostitution
Foto: Reuters

Dalam sebuah artikel di media yang berjudul Courtesans and Street Walkers: Prostitutes in Art, Jason Farago, seorang pemerhati seni modern, menyatakan bahwa perkembangan seni modern di Perancis pada abad 19, amat dipengaruhi oleh prostitusi, pelacuran. Beberapa lukisan termahsyur seperti Olympia-nya Manet, Demoiselles d'Avignon-nya Picasso, keduanya menggambarkan tentang pelacur.

Bahkan Charles Baudelaire, penulis puisi dan kritikus seni pada abad itu dalam catatannya secara eksplisit menyamakan seni dengan pelacuran. Qu'est-ce que l'art? Prostitution.

"Apakah seni itu? Pelacuran."

Di Paris pada akhir abad ke-19, prostitusi adalah legal, bagian sentral dari kehidupan sehari-hari. Meski kemudian diatur kian ketat. Rumah bordil mulai dilarang sejak tahun 1946. Disusul dengan pelarangan menjajakan diri di jalan, pidana bagi germo dan para pengambil manfaat dari pelacur.

Sungguh sulit untuk membayangkan jika Undang-undang Prostitusi yang disahkan tanggal 6 April 2016 oleh Majelis Nasional Perancis mengenai kriminalisasi terhadap pengguna jasa prostitusi ini diberlakukan dua abad lalu. Bisa jadi karya besar Manet dan Picasso tidak pernah memiliki karya besar bertemakan pelacur.

UU Prostitusi Perancis yang baru ini mengikuti model Swedia. Siapapun yang membeli jasa seks dari pelacur, untuk pelanggaran pertama didenda sekitar 20 juta rupiah dan diwajibkan mengikuti kelas penyadaran hak-hak perempuan. Denda naik menjadi maksimal 60 juta rupiah untuk pelanggaran selanjutnya. Pekerja seks-nya tidak dikriminalisasi.

Para penentang prostitusi, terutama jaringan European Women Lobby merayakan kemenangan ini. Sementara Serikat Pekerja Seks Perancis (STRASS) mengutuk disahkannya UU ini. Bagi para penentang prostitusi, keberhasilan ini adalah salah satu jalan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Sementara bagi STRASS, UU ini adalah sebuah mimpi buruk.

Kian rentan atas kekerasan

UU ini dipercaya akan kian menyulitkan kondisi para pekerja seks yang saat ini telah menghadapi banyak hambatan. Para pekerja seks juga akan semakin sulit bernegosiasi dengan klien. Mereka kian terdesak dan menjadi kian rentan atas kekerasan.

Tawaran dana yang diberikan dari pemerintah dianggap tidak cukup untuk mendapatkan pelatihan yang berkualitas. Sulit bagi mereka untuk masuk ke sektor pekerjaan lain karena stigma dan diskriminasi yang masih kuat. Sebagian lain menganggap bahwa negara tak punya hak untuk mengontrol kedaulatan tubuh pekerja seks.

Bagi feminis, persoalan pekerja seks dan prostitusi selalu menimbulkan debat panas. Semua sepakat bahwa perempuan harus lepas dari kekerasan. Namun ada yang memandang bahwa pekerjaan menjual jasa seks adalah bukan sebuah pekerjaan, melainkan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pihak lainnya melihat bahwa pekerjaan menjual jasa seks adalah sebuah pekerjaan dan bukanlah sebuah kekerasan jika tidak ada eksploitasi dan kekerasan di dalamnya.

Ekonomi menjadi faktor utama

Dalam konteks Perancis, banyak perempuan migran di Perancis dan transgender menjadi pekerja seks karena itu menjadi opsi yang paling masuk akal bagi mereka. Bagi perempuan migran, desakan ekonomi menjadi faktor utama. Untuk bekerja di sektor formal hampir tidak mungkin karena mereka harus terlebih dahulu memiliki ijin tinggal dan ijin kerja. Dan itu sulitnya bukan main. Sementara bagi pekerja seks transgender, mengubah akta lahir juga hal sulit dan memiliki identitas gender yang berbeda dengan di kartu identitas menyulitkan mereka mendapatkan pekerjaan.

Para penentang prostitusi mungkin dengan santun berkata tidak akan mengkriminalisasi pekerja seks, namun jika diperhatikan dengan seksama, semua yang membuatnya hidup, dihabisi. Menjajakan diri di jalan dilarang, sewa rumah untuk melacur dipidana, klien didenda. Mempreteli pelan-pelan dengan alasan menolong karena sudah menyiapkan beberapa ribu euro untuk ganti profesi. Jujur saja, jangan-jangan argumentasi kekerasan dan sebagainya hanyalah bungkus atas isu sesungguhnya, moral?

Jika transaksi dilakukan dengan adil, penuh kesepakatan dan ada aturan yang jelas terhadap klien, kenapa dilarang? Klien dapat dikriminalisasi dan tentu saja harus dipidana jika mereka melakukan kekerasan terhadap pekerja seks. Untuk itu perlindungan hukum menjadi kunci.

Indonesien Tunggal DP
Foto: privat

Lalu bagaimana jika para pelacur itu adalah korban perdagangan manusia? Di sini kita harus tegas. Manusia yang diperjualbelikan, perempuan yang didagangkan adalah bukan pekerja seks. Untuk kasus perdagangan perempuan, korban harus diselamatkan, pelaku harus ditangkap, itu sudah jelas. Begitupula dengan kejahatan seksual untuk anak. Hukum harus ditegakkan. Bedakan secara jernih antara perdagangan perempuan dengan prostitusi.

Penting untuk memastikan bahwa pekerja seks dapat mendapatkan perlindungan hukum, bebas dari eksploitasi, perdagangan dan kekerasan. Juga penting untuk memberikan penghormatan kepada perempuan yang secara sadar memilih untuk bekerja menjual tubuhnya.

Sebuah organisasi HAM yakni Amnesti Internasional tanggal 11 Agustus 2015 mengeluarkan sebuah keputusan yang menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap pekerja seks. Amnesti menyatakan secara tegas bahwa hak asasi pekerja seks adalah hak asasi manusia.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah Perancis semestinya lebih fokus dan serius mengatasi persoalan utama yang sedang mereka hadapi yakni memburuknya situasi ekonomi yang mengakibatkan meluasnya kemiskinan, diskriminasi dan marjinalisasi ketimbang melucuti hak –hak dasar dan hidup para pelacur.

Penulis:

Tunggal Pawestri, aktivis perempuan.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.