1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Kisah Keluarga Indonesia yang Mengadu Nasib di Suriah

3 Agustus 2017

Sebuah keluarga Indonesia tergiur kemakmuran yang dijanjikan Islamic State dan memutuskan pergi ke Suriah. Hanya butuh waktu beberapa bulan sebelum mereka berusaha melarikan diri dari kekhalifahan ISIS.

https://p.dw.com/p/2hbyC
Bildergalerie Alltag in Syrien unter IS Herrschaft
Foto: Reuters

Harapan akan pendidikan dan layanan kesehatan gratis, upah tinggi dan terutama peluang menjalani keislaman yang sempurna di bawah payung kekhalifahan menggerakkan seorang gadis Indonesia berusia 17 tahun untuk mengajak keluarganya ke Suriah. Lebih dari 20 anggota keluarga mengikuti ajakan Nurshardrina Khairadhania, orangtua, adik, bibi, paman dan keponakan.

Keluarga kecil itu lalu menjual rumah, kendaraan dan perhiasan untuk membiayai perjalanan ke Raqa.

Tapi realita berkata lain. Mereka mendapati diri hidup di lingkungan yang memaksa setiap perempuan muda menikahi gerilayawan ISIS dan mewajibkan pria mengangkat senjata di medan perang. Nur bercerita, semua anggota keluarga laki-lakinya dipenjara karena menolak latihan militer. Mereka kemudian terpaksa bersembunyi.

Sementara kaum perempuan dipaksa tinggal di asrama khusus. Nur mengaku kaget dengan kondisi kehidupan di sana. Para perempuan saling bergosip, mencuri satu sama lain dan bahkan berkelahi dengan senjata tajam. Dia dan bibinya masuk dalam daftar calon pengantin yang disiapkan buat para gerilayawan.

"Situasinya gila. Kami tidak tauh siapa mereka. Kami tidak kenal latar belakangnya. Mereka cuma mau menikah dan menikah," tuturnya dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press.

Nur yang kini berusia 19 tahun berkisah bagaimana keluarganya berniat melarikan diri hanya beberapa bulan setelah tiba di Raqa. Mereka kemudian membayar penyelundup buat keluar dari wilayah ISIS. Hingga saat itu keluarganya telah cerai berai, neneknya meninggal dunia, pamannya tewas dalam sebuah serangan udara dan tujuh anggota keluarga lain dideportasi sejak baru tiba di Turki. "ISIS hanya mempropagandakan hal positif di internet," katanya.

Bersama ibunya, dua adik, tiga bibi, dua keponakan beserta ketiga anaknya, Nur kini hidup di kamp pengungsi Ain Issa yang dijalankan oleh pasukan Kurdi. Sementara keluarga laki-laki diamankan di tempat terpisah dan harus menjalani pemeriksaan oleh militer Kurdi. "Saya sangat bersyukur. Saya bodoh dan naif," kata Nur.

Kini mereka bersiap pulang ke Indonesia dan menghadapi program deradikalisasi yang disiapkan pemerintah.

rzn/ap (Associated Press)