1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengenang 21 Mei

19 Mei 2019

Adakah dari kita yang masih ingat dengan orang-orang yang ada di sekitar Soeharto, saat ia mundur? Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3Iafh
Symbolbild Unabhängigkeitskriegs Osttimors gegen Indonesien in 1998
Foto: Gemeinfrei

Era Reformasi ditandai dengan pernyataan singkat Soeharto pada 21 Mei 1998, yang menyatakan dirinya berhenti sebagai presiden. Foto saat Soeharto menyatakan dirinya berhenti tersebut, kemudian menjadi sangat ikonik, dan akan tersimpan lestari dalam memori publik.

Nilai historis foto itu mungkin setara dengan foto saat Bung Karno berpelukan dengan Jenderal Soedirman, ketika Panglima Besar tersebut melapor secara resmi kepada Presiden, selepas perjalanan gerilyanya yang monumental itu. Adakah dari kita yang masih ingat dengan orang-orang yang ada di sekitar Soeharto, sebagaimana terekam dalam foto tersebut.

Bila kita perhatikan, setidaknya masih ada dua figur  tersisa, yang tetap eksis di panggung politik  sampai hari ini, yaitu Wiranto (Menkopolhukam, Akmil 1968) dan Yunus Yosfiah (Tim Sukses Prabowo-Sandi, Akmil 1965). Secara sekilas kita tentu masih ingat, bahwa orang-orang yang ada di sekitar Soeharto siang itu, umumnya berasal dari militer. Figur sipil hanya beberapa, selain Habibie (presiden berikutnya), yang sempat terlihat adalah Muladi (Guru Besar Hukum Pidana Undip) dan Mbak Tutut (puteri tertua Soeharto).

Paling dipercaya Soeharto

Setelah Soeharto meninggalkan Istana, dengan status sebagai warga biasa, orang-orang yang sebelumnya berkerumun di sekitar Soeharto, selanjutnya membubarkan diri, guna melanjutkan  kehidupan masing-masing. Bagi mereka yang berasal dari militer atau kepolisian, sesuai fitrah manusia, ada yang kemudian sukses dalam karier, ada yang biasa-biasa saja. Beberapa yang sukses diantaranya  adalah Jenderal Endriartono Sutarto (Akmil 1971) dan Jendral Sutanto (lulusan terbaik Akpol 1973).

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Endriartono kemudian dipercaya sebagai KSAD dan Panglima TNI, bahkan sempat mengalami masa perpanjangan dinas. Sesuai  protokoler, Endriartono harus berada di dekat Soeharto saat itu (secara fisik), berkenaan dengan posisinya sebagai Komandan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden). Demikian juga dengan Sutanto,  yang saat itu dalam posisi sebagai ajudan (ADC) Presiden (Soeharto). Sebagaimana kita tahu, Sutanto kemudian sempat menjadi Kapolri dan Kepala BIN, di masa Presiden SBY.

Dalam pengamatan saya, salah satu figur yang kariernya kemudian bisa disebut stagnan adalah (dengan pangkat saat itu) Kol CPM Otte Ruhyat (Akmil 1976),  saat itu Komandan Grup B Paspampres. Komandan Grup B adalah orang yang bertanggungjawab terhadap keselamatan Wapres (Habibie) beserta keluarganya, sementara Komandan Grup A menjaga Presiden (Soeharto). Setelah Habibie dilantik sebagai Presiden pagi itu, Otte segera bergeser menjadi Komandan Grup A, menggantikan posisi Kol Inf Rasjid Qurnuen Aquari (Akmil 1976).

Selepas menjadi Komandan Grup A, karier Otte tidak seterang mantan Komandan Grup A yang lain, seperti Subagyo HS (Akmil 1970), Sjafrie Sjamsuddin (Akmil 1974), Rasyid Qurnuen Aquari (Akmil 1976, almarhum), Agus Sutomo (Akmil 1984), Doni Monardo (Akmil 1985), Eko Margiyono (Akmil 1989), Maruli Simanjuntak (Akmil 1992), dan seterusnya. Salah satu kemungkinannya terkait dengan periode Presiden Habibie sendiri, yang durasinya tergolong singkat (Mei 1998 – Oktober 1999).

Apa yang kemudian terjadi pada Kol Inf Rasjid Q Aquari juga menarik untuk diikuti. Bagaimana dia diposisikan seolah  "perisai hidup”bagi Soeharto pasca-presiden. Adalah Rasjid yang mengawal Soeharto saat pulang ke Cendana, selepas pidato singkat di Istana, meski secara formal Rasjid sudah bukan lagi  Komandan Grup A. Pada akhirnya memang Rasjid sebagai perwira yang paling dipercaya Soeharto, melebihi apa yang disangka publik selama ini.

Orang sebelumnya beranggapan, bahwa figur seperti Wiranto dan Subagyo HS, adalah yang paling dipercaya Soeharto. Namun setelah Soeharto lengser, situasi berubah. Soeharto lebih  mengandalkan Kolonel Rasjid. Setiap elite pemerintahan masa Habibie yang ingin menghadap Soeharto, termasuk Wiranto dan Subagyo HS, harus melewati Kolonel Rasjid dulu. Dan sebagaimana kita tahu, jarang sekali yang bisa diterima Soeharto. Termasuk terhadap Habibie, hingga menjelang ajal pun, Soeharto tidak bersedia menerima.

Apa yang bisa katakan soal pola hubungan "kedinasan” antara Soeharto dan Kolonel Rasjid, mengingat Soeharto sudah bukan lagi sebagai presiden, sementara  Kolonel Rasjid  juga sudah melepaskan posisi Komandan Grup A. Benar, hubungan keduanya menjadi personal. Keberadaan Rasjid di Cendana (rumah pribadi Soeharto), tentu merupakan privilese Soeharto.

Setelah tidak lagi menjadi presiden, karisma Soeharto tetap saja kuat, nyaris tidak berkurang. Dia masih figur yang disegani, utamanya di kalangan militer.  Ketika masih menjadi presiden, Soeharto mengelola kekuasaannya  secara personal, seluruh urusan strategis ditentukan Soeharto sendiri. Jadi bila hanya menghadirkan seorang kolonel (seperti Rasjid), agar selalu dekat dengan dirinya, bukan perkara benar bagi orang sekuat  Soeharto.                                                                                                                         

Ujung keberuntungan Wiranto

Dari sekian banyak orang yang berkerumun di sekitar Soeharto pagi itu, tentu Wiranto  yang paling menarik perhatian. Utamanya disebabkan "manuver” Wiranto,  saat tiba-tiba Wiranto mengambil pelantang (mike),tanpa panduan protokoler resmi, untuk menyatakan  kesetiaannya pada Soeharto, selaku mantan presiden.

Dengan berjalannya waktu, dan setelah 21 tahun, rasanya tidak berlebihan bila Wiranto disebut sebagai penyintas (survivor). Sebagai tokoh yang masuk dalam lingkaran dalam (inner circle) Soeharto, Wiranto masih eksis sampai saat ini di panggung politik nasional.

Masyarakat sempat terheran-heran ketika nama Wiranto muncul kembali sebagai Menkopolhukam. Publik mengira karir politik Wiranto sudah selesai, baik karena faktor usia, dan yang lebih pokok, karena dia adalah bagian dari rezim Soeharto. Ternyata Wiranto masih bisa masuk orbit kekuasaan lagi. Dengan melihat wajah Wiranto dalam pemerintahan sekarang, waktu seolah berjalan sangat lambat.

Bagaimana Wiranto bisa lolos dari jebakan zaman, sanggup melintasi sekian rezim, rasanya agak sulit dijelaskan secara nalar. Fenomena Wiranto seperti mengingatkan kita pada konsep ndaru (wahyu) dalam tradisi kekuasaan jawa (periode Mataram), bahwa siapa yang bakal memperoleh ndaru tidak bisa dipastikan. Dan bagi Wiranto, masih ada lagi bonus tambahan, yakni keberuntungan.

Namun kini keberuntungan (bagi Wiranto) hampir tiba pada ujungnya. Rasanya mustahil keberuntungan akan datang berkali-kali. Sinyal soal bakal menepinya Wiranto, setidaknya bisa dilihat dengan perolehan suara Partai Hanura, yang berdasarkan perhitungan quick count, perolehan suaranya sangat minim.

Memang Hanura sudah sejak lama dilepaskan oleh Wiranto, namun figur Wiranto sudah sangat identik dengan partai tersebut. Selain itu adalah soal usia, yang secara alamiah akan bertambah terus. Berkurangnya dukungan masyarakat, merupakan sinyal bakal Wiranto untuk mengikuti jejak Soeharto, yang dulu dikenal dengan istilah lengser keprabon.

Implementasi nilai legowo

Keberadaan (generasi) Wiranto di lingkaran kekuasaan, sejatinya adalah sebuah anomali. Bukan saja karena mereka adalah bagian dari Orde Baru, namun juga faktor usia. Dengan masih adanya Wiranto, beserta rekan segenerasinya (Luhut Panjaitan, Hendro Priyono, Sutiyoso, Agum Gumelar, dan seterusnya), wajah kepemimpinan Indonesia tampak menua. Memang tidak ada aturan yang dilanggar, namun tidak match dengan semangat zaman, yang memberi ruang lebih luas pada generasi milenial.

Publik tentu masih ingat, bagaimana momen pembukaan Asian Games dirancang demikian dahsyat, dan itu disiapkan oleh generasi baru.Bagi generasi Wiranto, rasanya mustahil memiliki imajinasi untuk mendisain acara seperti itu. Kecerdasan generasi baru atau generasi milenial memiliki kecepatan kinetic, yang tidak mungkin terkejar oleh generasi tua.

Ada delapan nilai kepemimpinan militer di Indonesia, yang diadopsi dari tradisi mataram (pewayangan), salah satunya adalah legawa (besar hati). Ajaran ini sudah diberikan sejak para perwira masih berstatus sebagai taruna (Akmil). Dengan demikian nilai itu secara alamiah sudah terinternalisasi dalam diri semua perwira.

Tampaknya momentum untuk mengimplementasikan nilai legawa telah tiba. Kini berpulang pada Wiranto, Luhut Panjaitan, Hendro Priyono, dan seterusnya, legawa tidak untuk memberi kepercayaan pada generasi baru. Benar, bangsa ini perlu penyegaran, termasuk bagi figur-figur di lingkaran elite politik.

Selama ini ada pernyataan klise: purnawirawan tidak mengenal istilah "pensiun” dalam mengabdi kepada bangsa dan negara.  Satu hal yang perlu diluruskan dari adagium tersebut adalah, bahwa medium pengabdian bisa dimana saja. Mengingat selama ini ada kesan, bagi beberapa mantan jenderal, bahwa mengabdi itu artinya tetap dalam lingkaran kekuasaan.

Kini diperlukan kreativitas bagi sejumlah mantan jenderal dimaksud, untuk mencari medium lain. Bergerak dalam pengembangan anak-anak bangsa melalui yayasan pendidikan, atau bergiat dalam budidaya tanaman hias, sejauh bermanfaat bagi orang banyak, esensinya sama saja dengan pengabdian tiada akhir, dan tidak harus pula dekat-dekat dengan Istana.

Penulis: Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam kolom #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih