1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nama Aslinya Adnan Bahrum Nasution..

Tomi Lebang23 September 2015

Pernah ada masa, ia satu di antara tokoh sipil paling berani di Indonesia. Paling berani berseberangan dengan Soeharto. Oleh Tomi Lebang.

https://p.dw.com/p/1Gato
Indonesien Adnan Buyung Nasution
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Pernah ada masa, ia satu di antara tokoh sipil paling berani di Indonesia. Paling berani berseberangan dengan Soeharto. Dan karena itu, sebagian orang di zaman puncak-puncak kekuatan rezim Orde Baru pada dekade 80-an memimpikannya untuk menggantikan sang patriark.

Anak muda sekarang mungkin malah tak mengingatnya atau sekadar mengenal wajah yang seperti tampilan buram klise foto sebelum era kamera digital: seluruh rambut putih, bibir pucat pias sewarna kulit yang legam, gigi geligi yang rapi.

Nama aslinya Adnan Bahrum Nasution. Tapi zaman mengubahnya jadi Adnan Buyung Nasution. Semua yang mengenalnya memanggilnya Abang sahaja. Abang Buyung. Dia manusia yang tak kan terangkum dalam berjilid-jilid cerita. Dia seorang bekas jaksa, lalu menjadi pengacara, dan didukung Gubernur DKI, Ali Sadikin di tahun 1970, mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, sebuah yayasan yang tak pernah undur dari garis terdepan pembelaan hukum rakyat kecil dan hak asasi manusia, semenjak berdirinya sampai hari ini. Dia guru dan panutan bagi pengacara-pengacara senior negeri ini – sebut nama mereka, begitu banyak nama yang bertaut dengan Adnan Buyung Nasution.

Indonesien Tomi Lebang
Tomi LebangFoto: Tomi Lebang

Di luar segenap kisah besar tentang Abang Buyung, satu yang monumental adalah “pertunjukan”-nya sebagai pembela Jenderal Hartono Rekso Dharsono, bekas Pangdam Siliwangi dan Sekjen ASEAN yang dituduh subversif oleh pemerintah Soeharto. H.R. Dharsono menghadiri serangkaian rapat setelah Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang dihubungkan dengan peledakan bom di gedung Bank Central Asia (BCA) dan pusat pertokoan Glodok.

8 Januari 1986 pagi, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membacakan vonis Dharsono. Di kursi pembela, Buyung berdiri, bertolak pinggang dan menyela hakim Soedijono yang menyebutnya “tidak etis”. Ia menyambar pengeras suara didepannya dan berteriak, “Saya protes kata-kata Majelis itu — siapa yang tidak etis?”

Suasana gaduh. Ini peristiwa tak biasa di pengadilan, apalagi pengadilan kasus subversi. Polisi bergegas memasuki ruang sidang, tapi Abang Buyung membentak seraya menuding ke pintu keluar: “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!” Polisi keluar.

Indonesien Adnan Buyung Nasution
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Kemarahan dan pembelaan Buyung tak berpengaruh. Dharsono dihukum 10 tahun penjara. Tapi insiden itu berbuntut panjang. Buyung dianggap menghina peradilan (contempt of court). Izin pengacaranya dicabut.

Dan setelah itu, zaman amat tak berpihak kepadanya. Orde Baru sedang kuat-kuatnya, segala yang melawan atau berdiri di seberang, sungguh sengsara. Setahun kemudian, satu hari di tahun 1987, Buyung meninggalkan Indonesia. Ia ke Belanda sebagai mahasiswa doktoral di Universitas Utrecht. Di Belanda, Buyung menyusun disertasi dengan topik yang tak kalah gawat dari kegiatannya di tanah air: menelanjangi mitos Orde Baru tentang kegagalan konstituente di tahun 1959.

Konstituante dibubarkan oleh dekrit Presiden Soekarno. Tapi Orde Baru menuturkan sejarah untuk kepentingannya sendiri, siapa menentang terancam masuk bui. Berpuluh tahun lamanya Orde Baru mencantumkan dalam buku-buku dan kajian sejarah tentang Dekrit Presiden Soekarno yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu sebagai gagalnya demokrasi parlementer. Undang-Undang Dasar 1945 dianggap luwes dan ampuh dalam mengatasi perbedaan. Dan dengan pandangan itu, Orde Baru melanggengkan kekuasaan.

Adnan Buyung Nasution menolak mitos itu. “Mengapa setelah merdeka lebih dari 40 tahun, rakyat Indonesia masih menderita akibat penindasan, kesewenang-wenangan, dan penghinaan. Mengapa hak-hak rakyat Indonesia untuk turut memerintah negaranya terus diingkari," katanya.

Indonesien Adnan Buyung Nasution
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono

Dengan disertasi tentang konstituante -- “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959” -- itu, Buyung meraih gelar doktor di tahun 1992. Bulan Juli 2011 ia juga diangkat sebagai Professor of Constitutional Law di Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia.

Pada 1993, Adnan Buyung Nasution kembali ke Indonesia. Soeharto masih berkuasa, tapi tumbang lima tahun kemudian.

Begitulah. Buyung meninggal pagi tadi di usia 81 tahun. Ia meninggalkan Indonesia, negeri tempat ia menanam andil menebarkan keberanian dan menegakkan persamaan harkat manusia. Begitu banyak cerita tentang dirinya, kita hanya bisa menuturkannya sepenggal-sepenggal.

Mochtar Pakpahan, aktivis buruh yang juga pernah merasakan dinginnya ubin penjara Orde Baru pernah menggambarkan Adnan Buyung Nasution dalam kalimat sederhana. Kata Mochtar: “Jutaan orang yang dizalimi Orde Baru merasakan sejuknya kehadiran Adnan Buyung Nasution dan LBH. Abang adalah sinar bagi kegelapan hati nurani selama rezim Orde Baru. Setiap orang yang merasakan gelapnya pemerintah Orde Baru akan merasakan secercah terang bila datang ke YLBHI. Sebutlah tanah orang dirampas demi pembangunan; aktivis yang menyatakan pikirannya yang berbeda dengan Orde Baru; yang mengalami kezaliman, dibunuh, dianiaya, dan dipenjarakan.”

Selamat jalan Abang Buyung....

-- Jakarta, 23 September 2015

*Tomi Lebang, mantan wartawan.