1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memenangkan Pelaku Pelecehan Seksual

Uly Siregar11 Mei 2016

Niat biadab itu sudah hadir dalam kepala laki-laki ketika mereka menganggap dirinya sebagai pihak yang pantas memperlakukan perempuan sebagai obyek seks, jauh sebelum mereka menenggak alkohol. Simak ulasan Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/1Ij8t
Indonesien Vergewaltigung Demo
Foto: picture alliance/Photoshot/A. Kuncahya B.

“Kasus Yuyun akan Terus Berulang Selama Miras tak Dilarang” begitu kesimpulan Fahira Idris, Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) seperti tertulis pada judul artikel Republika Online Selasa, 3 Mei 2016.

Sepertinya Fahira Idris tak menunggu lama untuk melemparkan dosa perkosaan massal itu sebesar-besarnya pada minuman keras. Pemanfaatan momen yang sangat pas, karena 14 orang tersangka pemerkosa remaja putri berusia 14 tahun itu ditengarai dalam pengaruh miras saat melakukan aksi perkosaan.

Menyalahkan miras tentu tak sepenuhnya pemikiran dungu. Memang benar alkohol bisa mempengaruhi kapasitas mental dan fisik seseorang. Beberapa penelitian menetapkan bahwa seseorang cenderung menunjukkan tingkat agresi yang lebih tinggi saat berada dalam pengaruh alkohol.

Dalam paper Alcohol's Role in Sexual Violence Perpetration: Theoretical Explanations, Existing Evidence, and Future Directions yang dimuat di jurnal Drug and Alcohol Review, profesor psikologi Antonia Abbey dari Wayne State University mengungkapkan bagaimana alkohol memegang peranan dalam kekerasan seksual. Meskipun harus juga digarisbawahi literatur yang menjadi rujukan peneliti tidak luas dan riset yang digunakan telah berdekade-dekade usianya.

Kajian kasus

Di Amerika Serikat, terutama untuk kasus perkosaan yang terjadi di kalangan mahasiswa, alkohol juga sering dijadikan kambing hitam. Meskipun kasusnya agak berbeda. Biasanya perkosaan dilakukan oleh teman kencan yang baru ketemu saat pesta dan dansa-dansi yang melibatkan alkohol, bukan oleh pacar tetap. Dan yang mabuk justru korban perkosaan.

Pria Barat yang akrab dengan miras mungkin sadar dengan efek samping alkohol yang jarang disebut-sebut: penis kadang jadi susah ereksi, belum lagi efek muntah-muntah dan tidak sadarkan diri. Jadi dalam banyak kasus perkosaan, perempuan yang biasanya teler mengkonsumsi alkohol. Saat dalam keadaan mabuk dan setengah sadar akibat pengaruh alkohol, mereka rentan menjadi korban perkosaan.

Baiklah, alkohol bisa mempengaruhi laku seseorang dalam kekerasan seksual. Demikian juga pornografi bisa ikut disalahkan dalam banyak kasus perkosaan. Stimulasi yang ditimbulkan oleh materi pornografi konon bisa membuat laki-laki bajingan memaksakan penisnya menyerang vagina terdekat yang bisa ia temui. Tak harus gadis cantik, kadang korban pun masih di bawah umur atau justru lanjut usia. Itu terjadi.

Namun yang sangat mengganggu dari pernyataan Fahira Idris bagaimana miras dituduh menjadi penyebab utama tragedi yang menimpa Yuyun. Alkohol jelas harus diregulasi dengan ketat. Namun membebankan dosa perkosaan pada miras jelas penyederhanaan yang membodohi. Kalau miras jadi alasan memerkosa, setiap hari di bar hotel-hotel bintang lima seharusnya kasus perkosaan tak putus-putus terjadi. Atau dalam setiap rumah tangga di Amerika Serikat yang terbiasa menyimpan bir di lemari pendingin, termasuk anggur, wiski, dan beragam minuman beralkohol lainnya.

Salah didik

Penyebab kekerasan seksual sangatlah kompleks dan melampaui faktor miras dan pornografi. Fahira Idris adalah wajah masyarakat patriarkis yang enggan menunjuk batang hidung para pelaku perkosaan bahwa merekalah sesungguhnya yang menjadi sumber persoalan.

Banyak laki-laki yang salah didik, mereka dibesarkan dalam kultur yang membiarkan kekerasan seksual terjadi pada perempuan, termasuk kebiasaan melecehkan perempuan secara verbal juga fisik. Setiap hari kekerasan seksual dibiarkan terjadi seolah-olah hal yang normal. Jangan kaget bila saat pemicu seperti alkohol dan pornografi hadir, kekerasan seksual itu kemudian bereskalasi secara cepat menjadi aksi perkosaan.

Coba tanyakan pada perempuan di sekitar Anda, pernahkah ia mengalami pelecehan seksual? Saya jelas sudah kenyang, dari yang sekadar menerima komentar kotor sampai aksi sentuh dan raba. Dalam kasus Yuyun banyak juga pihak yang menyesalkan mengapa ia berjalan seorang diri. Gugatan konyol seperti, "Kemana orangtuanya, kok anak perempuan dibiarkan jalan sendirian?" sesungguhnya sangat melukai.

Bisa jadi orangtua Yuyun sedang bekerja mencari nafkah dan tak bisa hadir melindungi sang anak. Dan yang terpenting, pada usia 14 tahun sudah seharusnya seorang anak merasa aman berjalan sendirian dari sekolah menuju rumah.

Memang mudah menyalahkan alkohol, mengkambinghitamkan pornografi, atau menuduh perempuan mengundang birahi lelaki lewat cara berpakaian. Yang sulit adalah menyadarkan laki-laki secara terus-menerus bahwa hubungan seksual itu butuh consent, persetujuan dari pihak yang diajak berhubungan seksual.

Candaan biadab

Bahwa ketika perempuan menolak dan berkata ‘tidak' saat itulah hubungan seksual berubah menjadi kekerasan seksual. Setiap kasus perkosaan terjadi, masyarakat seharusnya disadarkan betapa pentingnya mengajarkan anak laki-laki untuk menghargai otoritas tubuh perempuan, mengingatkan bahwa perempuan bukan obyek, menyadarkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hubungan setara. Sudah saatnya merekonstruksi alam pikiran yang membiasakan memandang perempuan sebagai subordinat sekaligus obyek seksual.

Penulis: Uly Siregar
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Jadi, kalau Anda masih menganggap enteng pelecehan seksual yang terjadi di jalan, jangan heran kalau masih banyak kasus perkosaan terjadi. Belum lagi dengan dibarengi candaan tak beradab dan bermoral seperti, “Eh, enak dong diperkosa, apalagi dipake ramai-ramai. Nikmati ajalah.”

Percayalah, perkosaan terjadi bukan sekadar pengaruh alkohol atau pornografi. Niat biadab itu sudah hadir dalam kepala laki-laki ketika mereka menganggap dirinya sebagai pihak yang pantas memperlakukan perempuan sebagai obyek seks, jauh sebelum mereka menenggak alkohol atau menonton film biru yang dibintangi Maria Ozawa.

Penulis:

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Silakan tulis komentar dan pendapat Anda atas artikel ini di forum diskusi.