1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

“Ah, Cuma Keguguran Saja, Kok!”  

Uly Siregar Blogger
Uly Siregar
6 Maret 2021

Karena dianggap lazim, masalah keguguran kadang tak terlalu diperhatikan. Akibatnya, keguguran jarang diperbincangkan. Padahal keguguran bisa menyebabkan kehilangan yang luar biasa pada perempuan yang mengalaminya.

https://p.dw.com/p/3lCbN
Gambar simbol perempuan kehilangan anak
Gambar ilustrasi seorang perempuan kehilangan janin yang dikandungnya.Foto: picture-alliance/dpa/C. Klose

Perempuan yang mendambakan kehamilan dan dikaruniai kehamilan sejatinya merasakan kebahagiaan. Namun di balik kebahagiaan sering juga terselip kekhawatiran akan kelangsungan janin yang sedang dikandung. Salah satu kekhawatiran yang meliputi perempuan hamil adalah keguguran. Keguguran terjadi ketika janin yang berusia kurang dari 20 minggu tak lagi bernyawa. Yang menyedihkan, keguguran ternyata cukup sering terjadi. 

Diperkirakan 20-25 persen perempuan hamil mengalami keguguran, 80 persen terjadi pada trimester pertama, hanya sekitar 3 persen terjadi setelah janin berusia 16 minggu. Selain itu, keguguran juga kerap terjadi pada kehamilan pertama. Penyebabnya pun sangat jarang bisa diketahui secara pasti, apalagi bila keguguran terjadi di minggu-minggu awal kehamilan. Keguguran diduga disebabkan oleh gaya hidup tak sehat seperti merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, narkoba, atau kurang menjaga kehamilan dengan nutrisi dan suplemen yang baik. Sulit memastikan penyebabnya. Yang pasti, tak ada formula ampuh bagi perempuan untuk mencegah keguguran.  

Bagi perempuan yang mengalami keguguran, ketidakjelasan penyebab keguguran sering sangat mengganggu. Pertanyaan-pertanyaan yang terjawab, ketidakmengertian akan kejadian tragis ini menyebabkan emosi yang terombang-ambing, seperti mati rasa, ketidakpercayaan, kemarahan, perasaan bersalah, bahkan depresi. Dalam banyak kasus, perempuan merasa membenci tubuhnya sendiri karena menganggap sang tubuh mengkhianati dirinya. Dr Janet Jaffe, direktur The Center for Reproductive Psychology di San Diego dan penulis buku “Unsung Lullabies, Understanding and Coping with Infertility”, seperti dikutip majalah Self, mengatakan pasien yang mengalami keguguran sebaiknya banyak bersabar dan memberi waktu pada diri sendiri untuk berkabung atas keguguran. Tak perlu tergesa-gesa ingin segera menjadi ibu.  

Selain berpengaruh secara emosional, sebagian perempuan juga mengalami gangguan fisik seperti kelelahan, susah tidur, sulit konsentrasi, kehilangan nafsu makan, sering menangis, gangguan hubungan dengan keluarga dan teman-teman, bahkan percobaan bunuh diri. Selain karena kehilangan, perubahan hormon pada perempuan saat baru hamil juga turut mempengaruhi gejala-gejala yang disebutkan.  

Keguguran sesungguhnya bukan hanya peristiwa sedih bagi perempuan. Pasangan pun turut merasakannya, meskipun cara menghadapi kesedihan tersebut berbeda. Perempuan biasanya lebih terbuka mengungkapkan kesedihan dan dengan sadar mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Laki-laki, di lain pihak, biasanya lebih memilih mencari tahu tentang mengapa keguguran terjadi, bagaimana mencegah terulang kembali, dan mengabaikan berbagai perasaan yang membuatnya bersedih, meskipun bukan berarti ia tak turut berkabung. Tentu saja ikatan yang tercipta dengan janin berbeda antara perempuan yang mengandung dan partnernya. Pada perempuan, ikatan secara instan terjadi sejak dia positif dinyatakan hamil, sementara pada laki-laki ikatan yang sesungguhnya baru terjadi saat sang bayi lahir.  

@puanulyworks bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
Penulis kolom: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

 “Hanya” keguguran

Karena dianggap lazim, keguguran sering tak terlalu dirisaukan. Akibatnya, keguguran jarang diperbincangkan. Padahal keguguran bisa menyebabkan kehilangan yang luar biasa pada perempuan yang mengalaminya. Keguguran sering kali dianggap tak setragis kematian, empati pun jarang diberikan oleh orang-orang di sekitar. Apalagi pada perempuan yang masih berusia muda dan dianggap tak sulit hamil lagi, perkataan seperti, “Sudahlah, jangan khawatir. Kamu masih muda, nanti juga bisa hamil lagi,” sering dilontarkan.  

Saya sendiri pernah mengalami keguguran saat kehamilan pertama. Kala itu usia kehamilan diperkirakan baru mencapai 12 minggu. Setelah kunjungan pertama yang menyatakan saya positif hamil, beberapa pekan kemudian saya kembali ke dokter untuk memeriksakan kandungan. Tanpa diduga, hasil USG memperlihatkan janin saya tak lagi bernyawa, tak ada lagi detak jantung. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana saat itu saya kaget dan bingung, antara sedih dan tak percaya. Tak ada tanda-tanda keguguran yang menyertai, tak ada rasa sakit atau pendarahan berat. Semua sepertinya berlangsung normal. Dokter menyarankan saya untuk berkonsultasi dengan dokter lain untuk mendapatkan second opinion. Saya menolak karena percaya dengan keahlian dokter tersebut dan apa yang terlihat di USG.  

Kesedihan karena kehilangan janin saat itu tak langsung terasa menikam, namun tetap membuat saya menangis. Setelah konsultasi, dokter pun menetapkan kandungan saya harus dikuret. Prosesnya tak memakan waktu lama, namun tetap membutuhkan prosedur yang membutuhkan bius total. Saat bangun, saya kembali menangis, menyadari sang janin tak lagi bersama saya. Hingga kini kadang saya masih merasa pilu, membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi seandainya janin saya yang gugur diberi kesempatan melihat dunia. 

Tapi mungkin yang paling menyedihkan dari tragedi keguguran bagi saya adalah betapa peristiwa itu hanya dibiarkan berlalu begitu saja. Tak ada ucapan “turut berduka cita” yang mengalir dari keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitar, tak ada seremoni perpisahan beserta doa-doa yang dilantunkan secara berkelompok, tak ada makam yang bisa dikunjungi. Singkatnya, tak ada pengingat bahwa janin tersebut pernah ada selain memori di kepala.  

 Berikan empati 

Perempuan yang mengalami keguguran diharapkan melanjutkan hidupnya tanpa diberi waktu untuk berkabung. Padahal efek keguguran secara emosional bisa menyerupai kadar kehilangan orang tercinta akibat kematian. Pengalaman keguguran bisa mengakibatkan rasa kaget. Sadarilah bahwa perempuan yang keguguran mengalami kehilangan yang luar biasa. Satu hari hidupnya dipenuhi harapan-harapan terhadap janin yang dikandungnya, dan rencana-rencana besar yang menyertainya. Bayangkan, semua itu hilang beserta gugurnya kandungan. Belum lagi, sering pula perempuan merasa keguguran adalah kesalahan dirinya, salah karena tak bisa menjaga kandungannya dengan baik. 

Perempuan yang mengalami keguguran sebaiknya mencari tahu tentang mengapa ia mengalami keguguran kepada dokter yang menangani. Meskipun tak semua pertanyaan bisa dijawab, tetap komunikasikan secara baik dengan dokter. Cobalah memahami bagaimana implikasi keguguran bila merencanakan kehamilan berikutnya. Untuk mengingat si janin, bisa juga beri nama agar memori itu tetap melekat. Bila telah telanjur membeli barang-barang untuk bayi, putuskan apa yang hendak dilakukan. Jangan ragu minta bantuan orang terdekat bila tak mampu memutuskan sendiri. Setelahnya, berikan waktu untuk berkabung, jangan terburu-buru mematok waktu sekian lama untuk bersedih. Tak ada yang bisa tahu kapan proses penyembuhan itu berakhir. Karenanya, jangan ragu menerima bantuan dari orang lain, termasuk bantuan psikolog bila memang perlu. Di masa berduka, jangan takut untuk tertawa dan menikmati hidup. Merayakan hidup bukan berarti tak menghormati peristiwa duka. Sadarlah bahwa hidup terus berlanjut, sesedih apa pun kita. 

Bagaimana bila seseorang yang Anda kenal mengalami keguguran? Cobalah berempati secara tulus. Jangan ragu mengatakan, “Saya turut berduka cita sedalamnya” pada perempuan-perempuan yang sedang berduka ini. Pernyataan duka cita bisa menegaskan bahwa rasa sakit yang dialami mereka nyata. Ucapan duka tersebut juga secara simpatik menegaskan bahwa perempuan yang mengalami keguguran berhak untuk berkabung, menangis, dan diberi waktu untuk sembuh secara fisik dan batin. Bila memungkinkan tawarkan juga bantuan, termasuk menyediakan diri sebagai tempat curahan hati. Bila ia membuka diri dengan menceritakan kisah pilu tentang keguguran yang dia alami, jangan pernah menghakimi. Tegaskan bahwa keguguran bukan kesalahan perempuan. Ada banyak faktor tak jelas yang menyebabkan keguguran, dan tak ada tindakan prevensi yang bisa dilakukan.  

Keguguran sejatinya adalah kesedihan yang sangat sunyi bagi perempuan yang mengalaminya. Janganlah menambah kepedihan dengan melontarkan komentar yang mengecilkan suasana duka, “Ah, baru juga 12 minggu usianya. Kamu masih muda, tenang saja, 'ntar juga hamil lagi.”  

 
 
 

@puanulyworks bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.