1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menhan Siprus Mundur Menyusul Ledakan Markas AL

11 Juli 2011

Ledakan markas AL Siprus yang menyimpan amunisi Iran turut menghancurkan pembangkit listrik terbesar di negara pulau tersebut. Menteri pertahanan dan komandan militer Siprus mengundurkan diri beberapa jam pasca ledakan.

https://p.dw.com/p/11tHE
Foto: dapd

Pemerintah Siprus menetapkan tiga hari masa berkabung atas tewasnya 12 orang akibat ledakan di markas angkatan laut Evangelos Florakis dekat kota Limassol hari Senin (11/7). Sedikitnya 64 orang terluka akibat ledakan yang terjadi pukul 6 pagi waktu setempat. Komandan angkatan laut Siprus dan juga komandan markas militer termasuk di antara korban tewas. Korban lainnya adalah tentara dan enam anggota pemadam kebakaran.

Presiden Dimitris Christofias menyatakan, "Hari ini kami menandai hari kelam di bulan Juli bagi bangsa Siprus dan rakyatnya. Kami terkejut dengan insiden ini, bukan hanya dari kerusakannya namun juga jatuhnya korban tewas dan luka-luka. Saya ingin mengungkapkan belasungkawa bagi keluarga para korban yang tewas saat bertugas. Kerusakan dapat diperbaiki, namun nyawa tidak dapat dikembalikan."

Setengah populasi Siprus miskin listrik

Ledakan menghancurkan pembangkit listrik terbesar di Siprus yang menyuplai 50 persen listrik bagi negara pulau tersebut. Pemerintah mendesak warga untuk menghemat listrik dan menggunakan generator hingga pembangkit listrik berhasil diperbaiki. Seorang jurnalis foto asal Yunani, Stephanos Kouratzis, menggambarkan kondisi terakhir pembangkit listrik, "Pembangkit listrik harus dihancurkan total dan dibangun yang baru."

Pembangkit listrik Mari yang hancur akibat ledakan di markas AL Evangelos Florakis
Pembangkit listrik Mari yang hancur akibat ledakan di markas AL Evangelos FlorakisFoto: dapd

Media setempat menyebut miliaran Euro dibutuhkan untuk memperbaharui pembangkit listrik. Ledakan juga menyebabkan kerusakan parah pada rumah-rumah di wilayah pedesaan dekat markas militer. Pecahan kaca dari jendela-jendela serta serpihan logam berserakan di jalanan. Ratusan warga terpaksa mengungsi. Puluhan restoran di pesisir yang menjadi tujuan wisata juga mengalami kerusakan.

Seorang warga Inggris, Hermes Solomon, tengah berada di mobil karavannya sekitar 150 meter ke arah pantai dari lokasi ledakan. "Suaranya mengagetkan saya. Pintu terlempar, kaca jendela pecah, barang-barang beterbangan, benar-benar berantakan. Saya pikir ada bom yang meledak. Tidak ada radio, tidak ada komunikasi. Seperti hari kiamat. Warga bukan hanya terkena ledakan, tapi juga kehilangan rumah," ujarnya.

Kondisi penyimpanan amunisi terlambat diatasi

Markas yang memang diperuntukkan sebagai lokasi penyimpanan persediaan militer tersebut penuh amunisi sitaan dari Timur Tengah. Saat ledakan terjadi, markas menyimpan sekitar 100 kontainer amunisi yang disita Siprus dari kapal yang bergerak menuju Suriah dari Iran di tahun 2009. Penyitaan dilakukan atas dasar pelanggaran sanksi PBB terhadap Iran. Laporan menyebutkan, kontainer amunisi tidak disimpan di dalam ruangan dan terekspos temperatur mencapai 40 derajat Celsius.

Kementerian Pertahanan Siprus pekan lalu telah membahas kondisi penyimpanan amunisi. Keputusan sudah diambil untuk melindungi amunisi dari panas. Namun belum ada tindakan yang diambil sejak itu. Menteri pertahanan Kostas Papakostas dan komandan militer Petros Tsalkidis mengundurkan diri beberapa jam pasca ledakan. Juru bicara pemerintah Stefanos Stefanou menjanjikan penyelidikan menyeluruh.

Stephanos Kouratzis melaporkan, "Terlalu banyak permohonan bantuan yang dilayangkan mantan komandan markas militer untuk mengatasi kondisi penyimpanan, namun tidak diindahkan Kementerian Pertahanan. Hasilnya seperti ini. Para keluarga korban marah. Pengunduran diri pejabat militer tidak cukup. Mereka butuh lebih."

Pemerintah Siprus telah menyatakan akan meminta bantuan darurat dari Uni Eropa. Sekitar 3500 tentara Inggris yang ditempatkan di markas angkatan udara Akrotiri di Siprus sudah disiagakan untuk membantu pemerintah di Nikosia.

afp/dpa/rtr/Carissa Paramita

Editor: Renata Permadi