1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aksen dan Identitas Mahasiswa Saat Berbahasa Inggris

1 Maret 2019

Apa ada hubungan antara aksen dengan identitas? Sedari kecil, kita memang dianjurkan mempelajari bahasa asing sebagai bekal di masa depan. Lalu bagaimana bahasa asing turut membentuk identitas kita? Oleh Rosaly Jaqueline

https://p.dw.com/p/3EK9F
"Sprachstudium in Deutschland" von Rosaly Jacqueline
Foto: Rosaly Jacqueline

Di kancah internasional, bahasa Inggris merupakan bahasa yang paling banyak digunakan oleh ragam suku bangsa dari setiap negara. Sedari kecil, kita dianjurkan untuk mempelajari bahasa ini sebagai bekal kita di masa depan.

Tapi bahasa asing dalam suatu komunitas juga bisa berkembang menjadi bagian dari identitas. Kachru (1985) contohnya mengatakan, bahwa Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bagian dari expanding circle, yang berarti bahasa Inggris emmang digunakan sebagai bahasa asing. Tetapi ahli bahasa Diane Davies (2013) menyatakan bahwasannya negara-negara yang berada di expanding circle mulai menggunakan Bahasa Inggris dengan cara-cara tertentu, sehingga fungsinya menjadi bagian identitas dari masyarakatnya.

Indonesien Rosaly und Sprachstudie
Rosaly JaquelineFoto: Sorta Caroline   

Saya pernah melakukan penelitian tentang hal ini dengan mewawancarai empat mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Bonn. Saya ingin tahu: Apa sih yang mereka pikirkan tentang Bahasa Inggris? Aksen apa yang mereka pilih ketika berbicara Bahasa Inggris? Identitas apa yang sedang mereka sampaikan ketika berbicara bahasa inggris?

Saya pun meminta empat partisipan A, B, C, D membaca paragraf pendek berjudul The North Wind and The Sun. Kemudian saya meminta mereka bercerita selama satu menit dalam Bahasa Inggris dengan topik bebas, baru kemudian saya mewawancarai mereka. Pembacaan paragraph pendek saya lakukan untuk mengambil sample speech data yang akan dipakai untuk menilai apakah refleksi diri mereka sesuai dengan yang mereka jabarkan di wawancara.

Pertanyaan pertama yang saya tanyakan adalah mengenai sikap mereka dalam berbicara Bahasa Inggris. Pertanyaan ini menghasilkan respons yang positif dan netral. Tiga dari empat partisipan merespons netral tentang Bahasa Inggris, satu merespon positif.

Sprachstudium in Deutschland | Handout für phonetische Übungen
Paragraf pendek yang dibaca para peserta penelitianFoto: Rosaly Jacqueline

Partisipan D yang memiliki respons positif mengungkapkan, dia merasa dapat mengekspresikan dirinya dengan lebih baik dengan menggunakan Bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang notabene merupakan bahasa ibunya. Perasaan nyaman yang dihasilkan dengan berbahasa Inggris merupakan tolok ukur dari sikap positifnya.

Sedangkan tiga partisipan lain yang bersikap netral memberikan alasan yang beragam. Walaupun mereka semua suka berbicara dalam Bahasa Inggris, tetapi mereka tidak akan berusaha untuk mencampur bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia, seperti yang dilakukan banyak anak-anak kekinian zaman sekarang.

Peserta C mengatakan, tidak semua orang mau dan merasa nyaman berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dia juga menambahkan dia, akan menyelipkan satu dua bahasa Inggris di kalimatnya apabila teman bicaranya mengecap pendidikan diluar negeri. Tetapi untuk mereka yang kuliah di Indonesia, partisipan ini tidak akan melakukannya. Mengapa? Karena jalan pemikirannya berbeda ketika berbicara bahasa Inggris, jelasnya. Dia merasa lebih bebas mengatakan apapun tanpa perlu memikirkan apakah lawan bicaranya akan merasa tersinggung, berbeda ketika berbicara bahasa Indonesia.

Selanutnya, saya meminta partisipan menilai aksen mereka dalam berbahasa Inggris. Semua peserta setuju bahwa mereka masih memiliki aksen Indonesia ketika berbicara. Hasil dari analisis speech data dari pembacaan paragraph pendek di awal memang mengkonfirmasi bahwa tiga dari empat peserta masih memiliki aksen Indonesia. Hanya peserta C yang mencapai 50% untuk skala native-like dalam berbahasa Inggris.

Sprachstudium in Deutschland | Handout für phonetische Übungen
Contoh transkrip phonetik dari paragraf pendek yang dibaca peserta penelitianFoto: Rosaly Jacqueline

Pada saat ditanya mengenai penilaian mereka tentang aksen Indonesianya dalam berbahasa Inggris, tiga partisipan itu mengatakan tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Partisipan B bahkan mengatakan bahwa dirinya memiliki wajah Asia, sehingga dia tidak berusaha untuk terdengar sepenuhnya seperti orang-orang asing. Partisipan A juga setuju dengan pernyataan itu dan menambahkan, selama lawan bicara dapat mengerti apa yang dia katakan, dia tidak merasa itu sebagai suatu masalah.

Lebih dalam lagi, saya meminta partisipan mendengarkan rekaman audio dari seorang politisi Indonesia yang memberikan pidato dalam Bahasa Inggris. Mereka diminta mengevaluasi aksen dari politisi tersebut, dan bagaimana sikap mereka akan bahasa Inggris dari politisi tersebut, tanpa m,engenal identitasnya. Identitas dari politisi itu diungkapkan setelah mereka menilai aksen bahasa Inggrisnya.

Hanya partisipan C yang menunjukkan sikap negatif terhadap aksen politisi tersebut. Partisipan A, B, dan D menyimpulkan bahwa isi dari pembicaraan atau pidato jauh lebih penting, dan selama politisi tersebut dapat menunjukkan kinerja yang bagus dan benar dalam perlakuannya, mereka dapat menutup mata akan aksen indonesianya yang medok dalam berbahasa Inggris.Partisipan B menyatakan, dia tidak akan bisa menolerir hal itu apabila politisi lain yang memiliki kelakuan tidak baik yang berbicara seperti itu di kancah internasional.

Memperkenalkan diri di grup internasional

Lalu bagaimana dengan identitas, yang merupakan bagian dari penelitian ini? Para peserta saya minta melakukan role-play di situasi yang mengharuskan mereka memperkenalkan diri di depan mahasiswa-mahasiswi asing dengan menggunakan nama depan mereka. Hasilnya, tiga dari empat partisipan mempertahankan pelafalan nama depan mereka sesuai dengan pelafalan bahasa Indonesia. Hanya partisipan D yang mengubah namanya dengan pelafalan bahasa Inggris.

Partisipan D dengan tegas mengatakan bahwa namanya haruslah di lafalkan dengan menggunakan bahasa Inggris, bukan dengan bahasa Indonesia. Namun, sebelum dia melafalkan namanya dengan menggunakan bahasa Inggris, dia memastikan apakah ada orang Indonesia di antara kelompok internasional tersebut. Pada saat ditanya mengapa, dia menjelaskan dia ingin menghindari konflik karena dianggap sebagai seseorang yang sombong, hanya karena dapat menggunakan bahasa Inggris.

Perilaku peserta D menggambarkan apa yang dinyatakan Rottschäfer (2018). Dia mengatakan, apabila seseorang mengubah namanya sesuai dengan pelafalan bahasa kedua di dalam lingkungan di mana bahasa kedua digunakan, maka perilaku ini mencerminkan perubahan identitas dari si pembicara tersebut. Hal ini didukung dengan pernyataan  peserta D, bahwa dia merasa nyaman dengan bahasa Inggris dan merasa bisa bebas berekpresi.

Peserta lainnya tidak merasakan ada tekanan untuk mengubah identitas mereka di lingkungan bahasa ke-2, sehingga mereka dengan mudah melafalkan nama mereka, walaupun pelafalan mereka di bahasa Inggris berbeda dengan pelafalan di bahasa Indonesia.

Berbicaralah dengan penuh percaya diri

Melalui penelitian ini saya dapat simpulkan bahwa mahasiswa Indonesia memiliki sikap netral dalam berbahasa Inggris. Mereka tidak berusaha untuk terdengar terlalu kebarat-baratan ketika berbicara bahasa Inggris, selama maksud yang ingin mereka sampaikan dapat dimengerti oleh lawan bicara. Tapi ini tidak berarti bahwa kita tidak perlu meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dan masa bodoh dengannya.

Bagaimanapun, bahasa Inggris sangat dibutuhkan terutama di era globalisasi sekarang ini, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan bahasa Inggris merupakan salah satu persyaratan untuk bisa berkompetisi dengan tenaga-tenaga kerja  asing lainnya.

Intinya: berbicaralah bahasa Inggris dengan penuh percaya diri, walaupun masih dibumbui dengan aksen Indonesia. Jangan merasa minder, sebab bahasa Inggris bukan bahasa resmi di negara kita dan juga bukan Bahasa Ibu masyarakat Indonesia.

Rosaly Jacqueline adalah mahasiswi Indonesia yang sedang mengambil gelar Master di bidang Applied Linguistic di Univertas Bonn, Jerman.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.