1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menlu AS di Israel

25 Juli 2006

AS membiarkan waktu cukup lama sebelum bereaksi atas serangan Israel di Libanon. Kini Menlu Condoleezza Rice berkunjung ke kawasan itu, tetapi belum terlihat adanya ketegasan.

https://p.dw.com/p/CJcD
Condoleezza Rice bersama Perdana Menteri Israel Ehud Olmert
Condoleezza Rice bersama Perdana Menteri Israel Ehud OlmertFoto: AP

Pembicaraan pertama menlu AS, Condoleezza Rice di Yerusalem berjalan santai. Rekan sejabatannya dari Israel Tsippi Livni mengundangnya makan malam bersama secara pribadi. Sebelumnya Presiden Bush membenarkan hak Israel untuk membela diri dengan harapan masalah Hisbollah akan selesai dengan sendirinya.

Dalam pertemuan singkat dengan pers, Condoleezza Rice mengemukakan harapannya akan penyelesaian damai yang berkesinambungan di Timur Tengah. Landasannya adalah resolusi PBB no.1559, dimana tercantum dilucutinya persenjataan Hisbollah dan pengambil-alihan kekuasaan di Libanon Selatan oleh angkatan bersenjata Libanon. Hari ini Rice bertemu dengan PM Ehud Olmert dan Menteri Pertahanan Amir Peretz sebelum melanjutkan perjalanan ke Ramallah untuk bertemu dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas.

Condoleezza Rice tiba di Israel dari Beirut, setelah kunjungan mendadaknya disana. Dalam penerbangan ke Israel ia membantah laporan yang mengatakan pemerintah AS memberikan waktu sekurangnya seminggu lagi kepada Israel untuk melanjutkan peperangan.

Israel sendiri memang memperhitungkan dukungan AS bagi penggunaan senjata terhadap Hisbollah. Saat ini tidak ada jadwal untuk melakukan gencatan senjata. Demikian kata Menteri Kehakiman Haim Ramon.

Haim Ramon: "Kontak diplomatik direncanakan setelah gencatan senjata. Dan itu masih jauh sekali. Tujuan utama kami masih belum tercapai, yaitu mengusir Hisbollah sampai ke Litani, agar tidak dapat menyerang Israel lagi. Saya anjurkan untuk mendengar ucapan menlu AS. Kami tidak terdesak waktu. Kami akan mencapai tujuan dengan sarana militer dan diplomatik, dan bersama-sama kemenangan akan dapat diraih."

Walaupun demikian Israel sementara ini sudah mundur dari tujuan semula. Kalau pada awalnya para politisi Israel hendak memusnahkan Hisbollah, sekarang yang dipentingkan adalah mengusir milisi Hisbollah dari kubu-kubunya di Libanon Selatan dan mengakhiri ancaman roket terhadap Israel. Penempatan pasukan perdamaian Internasional di perbatasan Libanon-Israel tidak lagi ditolak mentah-mentah. Kepada televisi Israel mantan dutabesar Israel di Jerman, Avi Primor mengatakan:

"Jelas, Israel tidak dapat menghancurkan Hisbollah dan itu tidak lagi menjadi tujuan kami. Kami juga menyadari, bila wilayah Libanon selatan hendak dibersihkan dari teroris, maka itu harus dilakukan sendiri atau oleh orang lain. Tapi itu bukan pemerintah Libanon, karena masih terlalu lemah, dan angkatan bersenjatanya didominasi anggota Hisbollah. Harus diingat 60 persen penduduk Libanon adalah warga Syiah. Jadi diperlukan pasukan yang gigih dan pasukan yang bukan polisi."

Saat ini Primor menjadi penasehat Menteri Pertahanan Amir Peretz dan hadir pula dalam pembicaraan dengan menlu Jerman Frank Walter Steinmeier. Dikatakannya, inti dari pasukan asing dapat dipegang oleh kontingen Perancis, yang mungkin didukung oleh tentara Jerman.