1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kerusakan Bumi Indonesia

Suzanti Sitorus20 April 2016

Meski upaya pelestarian lingkungan hidup semakin gencar dilakukan, namun kenyataannya laju pengrusakan alam terjadi lebih cepat. Bencana lingkungan terjadi di seluruh penjuru dunia. Demikian pula di Indonesia.

https://p.dw.com/p/1IXoq
Indonesien Waldbrände auf Sumatra
Foto: Reuters/YT Haryono

Tahun ini, tepat tanggal 22 April, gerakan Hari Bumi memasuki usia ke-46. Dimulai dari Amerika Serikat, gerakan masyarakat sipil tersebut telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia yang memperingatinya sebagai salah satu hari penting terkait lingkungan hidup.

Selayaknya, hari penting tidak hanya untuk dirayakan dengan seremoni, tetapi menjadi kesempatan untuk melakukan refleksi, sejauh mana upaya kita menjaga Bumi dari berbagai ancaman kerusakan dan kehancuran.

Dewasa ini telah menjadi keyakinan yang luas bahwa kelestarian lingkungan hidup bukan sekedar masalah teknis, tetapi juga terkait dengan kebijakan, mekanisme pasar dan budaya (gaya hidup), bahkan dikaitkan juga dengan agama, isu keamanan, dan keadilan sosial. Isu yang sebelumnya dipandang tentang lingkungan, seperti perubahan iklim, kini dianggap sebagai tantangan kemanusiaan terbesar yang mengancam kemajuan pembangunan dan peradaban.

Kompleksitas tersebut mencerminkan kesadaran mengenai keterkaitan yang kuat antara lingkungan dan seluruh aspek kehidupan, dan pada ujungnya eksistensi umat manusia di atas Bumi. Kompleksitas tersebut pula menuntut penanganan yang disertai perspektif dan keahlian yang komprehensif, partisipasi semua pihak, dan keterpaduan dari semua unsur tersebut.

Kebakaran hutan jadi rutinitas

Ambil contoh persoalan kerusakan lingkungan di Kalimantan akibat kebakaran hutan dan lahan yang sering dikaitkan dengan ekspansi industri kelapa sawit. Selain isu teknis mengenai penggunaan lahan gambut yang menyebabkan emisi gas rumah kaca meningkat pesat, persoalan tersebut erat hubungannya dengan tata guna lahan yang bermasalah. Sebagian perkebunan, baik yang dikelola oleh perusahaan maupun rakyat, terletak di kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Sementara itu, praktik perkebunan kelapa sawit tidak efisien, atau nilai panen per hektar tidak optimal.

Studi Climate Policy Initiative (CPI) tahun 2015 menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah lebih rendah 13% dari angka rata-rata nasional dan 23% dibandingkan dengan Malaysia. Tingginya permintaan dunia akan crude palm oil (CPO) dan berlanjutnya praktik pertanian yang tidak efisien berpotensi mendorong pembukaan lahan lebih banyak lagi di provinsi yang memiliki 10% dari total hutan Indonesia.

Hutan dibabat demi perkebunan

Selain itu, studi CPI yang lain menunjukkan bahwa kerangka kebijakan terkait pajak dan fiskal saat ini lebih mendorong pembukaan lahan daripada peningkatan produktivitas lahan pertanian.

Pemerintah daerah yang di wilayahnya terdapat sumber daya minyak dan gas akan menerima bagi hasil dari pemerintah pusat. Namun bila tidak, seperti Kalimantan Tengah, pilihan untuk menambah anggaran daerah terbatas. Pilihan yang mudah dilakukan adalah mengeluarkan izin pembukaan lahan. Dengan rencana tata ruang dan pengembangan wilayah yang belum jelas, hal tersebut berpeluang untuk terjadinya pembukaan lahan baru, termasuk di atas hutan, untuk kepentingan pertanian.

Persoalan lingkungan di wilayah yang mengalami ekspansi perkebunan sawit juga diwarnai dengan isu kesenjangan sosial: antara masyarakat adat dan masyarakat lokal dan pendatang, antara petani kecil dan petani besar, serta antara petani dan perusahaan pengolahan kelapa sawit.

Ketika kebakaran besar terjadi, saling tuding dan gesekan sosial pun mengikuti. Bila tidak segera ditangani penyebabnya, yang antara lain terkait persoalan klaim lahan, api tidak hanya akan menghancurkan alam tetapi juga serat-serat yang mengikat keutuhan masyarakat.

Apa yang harus dilakukan?

Beberapa peluang dapat dimanfaatkan agar daerah tidak terjerumus ke dalam persoalan lingkungan yang lebih buruk. Pertama, komitmen pemimpin daerah yang tinggi menjadi kunci untuk membuka partisipasi pihak-pihak yang ingin membantu perbaikan dan pelestarian lingkungan.

Kedua, tuntutan akan keberlanjutan (sustainability) dalam rantai pasok kelapa sawit oleh perusahaan pembeli dan pengguna CPO, pemerintah Indonesia dan negara-negara pengimpor, merupakan peluang bagi pemerintah daerah, industri dan petani untuk memperbaiki praktik-praktik pertanian agar penggunaan lahan yang ada dapat lebih optimal dan pada saat yang sama menjaga wilayah bernilai konservasi tinggi dari ekspansi pertanian.

Ketiga, kegelisahan yang disampaikan oleh masyarakat terkait pembagian manfaat dari keberadaan industri sawit sebetulnya merupakan pengingat bahwa peningkatan produktivitas pertanian harus diikuti dengan pengembangan industri hilir berlokasi di daerah yang sama.

Suzanty Sitorus, direktur Climate Policy Initiative Indonesia
Penulis: Suzanty SitorusFoto: Suzanty Sitorus

Dengan demikian nilai ekonomi dari kegiatan pertanian yang dikirim dari suatu wilayah lebih tinggi dan masyarakat dapat mendapatkan manfaat ekonomi lebih besar dari perkembangan berbagai industri barang dan jasa. Selain itu, pendapatan pajak yang meningkat dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membangun dan memelihara infrastruktur dan sarana pelayanan dasar untuk kesehatan dan pendidikan seluruh masyarakat.

Sekilas potret kondisi lingkungan di atas menegaskan bahwa di balik keruwetan dan intensitas persoalan terdapat peluang perbaikan. Syarat utama untuk keberhasilannya adalah keterpaduan dalam pikiran, kebijakan, dan aksi di lapangan.

Penulis:

Suzanti Sitorus, Direktur Climate Policy Initiative Indonesia

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.