1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nama Termasyhur Dalam Lipatan Sejarah

10 November 2018

Sungguh persoalan pelik bila pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional benar-benar terwujud, mengingat tidak ada yang bisa diteladani dari figur Soeharto. Demikian opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/37t6J
Indonesien ehemaliger Präsident Sukarno
Foto: Public Domain

Sekitar dua tahun lalu sempat muncul wacana pengangkatan figur Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Untungnya wacana tersebut akhirnya tidak berlanjut, sehubungan besarnya resistensi masyarakat. Sungguh persoalan pelik bila pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional benar-benar terwujud, mengingat tidak ada yang bisa diteladani dari figur Soeharto.

Pencarian figur yang bisa dijadikan teladan selalu menjadi problem dari generasi ke generasi. Seorang figur yang telah memperoleh predikat Pahlawan Nasional, tidak secara otomatis menjadikan dirinya dikenal publik, khususnya bagi generasi milenial. Karena bisa jadi figur dimaksud memang benar-benar tidak populer, sehingga tidak ada aspek yang menarik untuk dibahas. Tokoh (tidak menarik) semacam ini di negeri kita tak terhitung jumlahnya.

Indonesien Blogger Aris Santoso
Foto: privat

Spirit TNI

Sementara di sisi lain ada banyak figur nasional yang namanya nyaris dilupakan, namanya  seakan tersembunyi dalam lipatan sejarah. Bisa jadi mereka belum pernah masuk nominasi sebagai pahlawan nasional, walaupun sejatinya tidak mengurangi makna kontribusi mereka bagi bangsa. Bagi figur semacam ini, status (pahlawan nasional) bukanlah segalanya. Dari sekian banyak figur, saya memilih empat nama secara random, masing-masing adalah Didi Kartasasmita, Bambang Supeno, M Oemar Qatab, dan Zulkifli Lubis.

Didi Kartasasmita, Bambang Supeno, dan Zulkifli Lubis, berasal dari satu rumpun, yakni tokoh senior Angkatan Darat. Sementara Oemar Qatab adalah pendiri dinas intelijen Polri. Didi Kartasasmita berperan dalam mendisain organisasi TNI di masa awal kemerdekaan, dan Bambang Supeno berjasa dalam membentuk spirit TNI, yang masih meninggalkan jejak sampai hari ini.

Salah satu aksi fenomenal Didi  adalah, ketika dia berinisiatif dan berkeliling Jawa guna meminta tanda tangan sejumlah  mantan perwira KNIL (tentara kolonial Hindia-Belanda) untuk segera bergabung dengan TNI. Didi sendiri adalah juga mantan perwira KNIL lulusan KMA Breda (1935). Salah satu nama penting yang setuju segera bergabung adalah Oerip Sumohardjo, perwira pribumi dengan pangkat tertinggi dalam KNIL, yakni mayor. Sesaat setelah itu, Didi bersama Oerip bahu-membahu membangun struktur Markas Besar TNI, yang baru saja berdiri.

Didi juga membangun pasukan di lapangan, yaitu Komandemen Jawa Barat, sebagai embrio Kodam (atau Divisi) Siliwangi. Hanya karena kompleksitas zaman itu, karier Didi sedikit terhambat. Dan namanya selaku pendiri pasukan Siliwangi, berada di bawah bayang-bayang AH Nasution. Padahal dari segi pendidikan formal, Didi lebih firm, mengingat Nasution hanya sampai taruna senior di KMA Bandung, yang merupakan "cabang” dari KMA Breda.

Kemudian soal Kolonel Bambang Supeno. Di lingkungan TNI, Bambang Supeno akan selalu terus diingat, karena beliau adalah konseptor "Sapta Marga”, informasi ini  mungkin masih asing bagi publik sekarang. Sayang sekali figur Bambang Supeno terlalu cepat menghilang. Konflik yang berkepanjangan dengan KSAD saat itu (Kolonel AH Nasustion), pasca-Peristiwa 17 Oktober 1952, menjadikan dirinya mundur sebagai Wakil KSAD.

Satu hal yang patut dicatat, Didi Kartasasmita dan Bambang Supeno adalah  perwira yang hidupnya sangat sederhana. Sesuatu yang ironis terjadi, perwira-perwira yang berani hidup sederhana dan idealis, biasanya justru terpinggirkan posisinya, seperti nama-nama tersebut di atas. Itu sebabnya gagasan Presiden Jokowi tentang revolusi mental menjadi relevan, bagaimana membentuk manusia Indonesia untuk berani hidup sederhana.

Bapak intelijen

Tradisi intelijen Indonesia banyak diwarnai oleh dua orang tokoh, yaitu Kolonel Zulkifli Lubis dan Kombes (Pol) M Omar Qatab. Warisan terpenting Zulkifli Lubis adalah konsep intelijen tempur (combat intelligence), sementara Omar Qatab lebih sebagai "intelijen masyarakat”, yakni kegiatan yang memonitor potensi bahaya dalam masyarakat.

Dari segi kelembagaan, jejak mereka juga masih tampak. Bais TNI misalnya, lebih condong pada masalah intelijen tempur, meskipun ada direktorat khusus yang "mengawasi” masyarakat. Sementara konsep "intelijen masyarakat” rintisan Omar Qatab mewujud pada Baintelkam (Badan Intelijen Keamanan) Polri. Nama lembaga intelijen kepolisian bentukan Omar Qatab, awalnya dulu bernama Pengawas Aliran Masyarakat, nama ini  menggambarkan fungsinya yang bergerak di tengah masyarakat. Secara kelembagaan, namanya sempat berganti beberapa kali, namun prinsip kerja dan fungsinya tetap sama.

Bila Zulkifli Lubis sudah acapkali dibahas, beda halnya dengan Omar Qatab,yang praktis kurang dikenal masyarakat. Salah satu akses informasi untuk bisa mengetahui kiprah Omar Qatab, adalah melalui puteranya, yang menjadi tokoh di panggung budaya pop, yaitu komedian Indro Warkop. Berkat informasi dari (Mas) Indro Warkop pula,  penulis jadi mengetahui bahwa ayahnya dulu yang mendirikan grup kesenian Reog BKAK (Badan Kesenian Angkatan Kepolisian).

Grup Reog BKAK sebenarnya adalah bagian dari operasi intelijen Polri, yang dalam terminologi intelijen, biasa dikenal sebagai "penggalangan” (conditioning). Mungkin sebagian dari kita masih mengingat dengan baik, dalam setiap penampilannya, Reog BKAK selalu membawa misi khusus, semisal menyebar informasi yang menjadi kepentinngan pemerintah. Atau sebaliknya, memberikan klarifikasi atau menangkal informasi bohong yang berkembang di masyarakat (hoax).

Penggalangan atau operasi intelijen melalui grup kesenian ini kemudian dimodifikasi oleh Opsus (operasi khusus) pimpinan Ali Murtopo, menjelang operasi pendudukan di Timor Timur dulu. Dalam hal ini Ali Murtopo melibatkan kelompok musik pop Koes Plus, melalui lagu "Diana”. Lagu ini semula diciptakan, dengan target khusus menjangkau masyarakat Timor Timur, dengan melalui lagu pop itu diharapkan Jakarta atau Indonesia, secara perlahan menjadi wacana di sana.

Menyelamatkan Generasi 45

Dua dekade setelah Orde Baru jatuh, kita bisa mengambil hikmah atas keberadaan figur-figur di atas, bahwa dengan cara masing-masing, mereka turut andil menyelamatkan citra Generasi 45, agar tidak terperosok lebih dalam. Tanpa kehadiran figur-figur seperti mereka, citra Generasi 45 benar-benar sedang menuju titik nadir.

Bila kita ingat kembali, bagaimana ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, Soeharto juga membawa gerbong berisi sekian banyak jenderal dari generasinya (Generasi 45), yang kemudian menjadi penyangga pemerintahannya.

Sejumlah jenderal ini seolah turun dari langit,  mereka datang secara dadakan, tanpa publik pernah tahu bagaimana rekam jejak jenderal-jenderal itu.

Pada umumnya para jenderal yang "turun dari langit” ini, berkumpul di sekitar Istana dan Golkar, parpol instan bentukan rezim Soeharto. Celakanya lagi, bila salah satu dari mereka ada yang menjadi pejabat publik, nama mereka akan menjadi materi pelajaran di SD dan SMP. Dengan kata lain ada unsur "paksaan” kepada anak didik untuk mengagumi tokoh yang kurang dikenal tersebut, sementara rasa kagum itu bersifat alamiah, tidak bisa dipaksakan.

Bagi generasi milenial yang kini sangat menguasai opini di media sosial, secara alamiah dalam posisi diuntungkan, karena tidak pernah berhadapan langsung dengan Generasi 45. Sementara bagi generasi sebelumnya, mereka yang lahir di tahun 1960-an sampai 1980-an, Generasi 45 lebih dipandang sebagai beban ketimbang sebuah fenomena pencerahan.

Penulis Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan menulis pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia di bawah ini.