1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Merkel Berkeras Ingin Perubahan UU Stabilitas Euro

29 Oktober 2010

Pada awal KTT Uni Eropa di Brussel, Kanselir Jerman Angela Merkel mempertahankan rencananya mengenai perubahan UU Jaminan Stabilitas Mata Uang Euro Uni Eropa. Tapi semua itu tidak akan terwujud tanpa kompromi.

https://p.dw.com/p/PrQM
Suasana KTT Uni Eropa di Brussel, Belgia, Jumat (28/10).
Suasana KTT Uni Eropa di Brussel, Belgia, Jumat (28/10).Foto: AP

Ketua Dewan Kepresidenan Uni Eropa Herman van Rompuy mengingat kembali krisis Euro yang terjadi awal tahun ini. Waktu itu perhimpunan negara pengguna mata uang Euro terancam bubar akibat Yunani terlilit utang besar. Hal tersebut disampaikannya dalam pertemuan rutin dengan perhimpunan serikat buruh dan perhimpunan pengusaha Eropa. Lebih lanjut van Rompuy tidak puas begitu saja ketika akhirnya krisis tersebut bisa diatasi.

Katanya, "Kita baru sekali berhasil memenangkan pertarungan demi mata uang Euro. Tapi masalahnya masih belum teratasi tuntas."

Pada dasarnya, semua sepakat mengenai pentingnya pengetatan pakta stabilitas. Ini dilakukan agar situasi seperti awal tahun 2010 tidak terulang lagi. Namun Kanselir Jerman Angela Merkel tidak hanya ingin pengetatan pakta stabilitas. Bersama Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, Merkel mendesakkan perubahan perjanjian Uni Eropa. Dengan begitu yang dilibatkan dalam penyelamatan suatu negara, tidak hanya para pembayar pajak seperti dalam kasus Yunani, tapi juga investor swasta. Selain itu Merkel mendesak agar negara yang mengalami defisit anggaran tidak hanya dihukum, tapi juga dicabut hak suaranya.

"Kita memiliki Perjanjian Lisabon, yang kadang-kadang luput perhatian, sudah mencantumkan kemungkinan pencabutan hak suara, jika melanggar nilai-nilai mendasar Uni Eropa. Saya ingin menegaskan, bahwa saya lihat ada politik yang membahayakan mata uang Euro dan juga politik yang mengguncangkan nilai dasar Uni Eropa, " kata Merkel.

Usulan Merkel mengenai pencabutan hak suara menghadapi banyak tentangan. Tidak hanya hampir semua negara anggota menolak usulan itu, tapi juga Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso.

"Jika perubahan perjanjian berarti memotong hak suara negara tetangga, maka menurut saya itu tidak bisa diterima. Jujur saja, itu tidak realistis," tutur Barroso.

Tidak realistis, karena Merkel memerlukan persetujuan dari 27 negara anggota, dan juga tidak akan meraihnya, karena prosesnya akan berlangsung lama. Seperti pendapat Menteri Keuangan Austria Josef Pröll, "Kami tahu, bahwa Perjanjian Lisabon bisa terwujud karena upaya yang sangat keras. Jika ingin mengubah perjanjian, maka artinya di banyak negara akan digelar referendum, jajak pendapat, dan dengan begitu sanksi nyatanya akan tertunda."

Namun saat ini ada isyarat kompromi. Setelahnya Jerman dan Perancis dapat menghindari pencabutan hak suara. Selain itu, dalam mekanisme krisis dapat mengusahakan perubahan "ringan" dalam perjanjian. Perdana Menteri Swedia Fredrik Reinfeldt optimis akan hal tersebut.

"Jika Jerman mengatakan, bahwa kita memerlukan perubahan perjanjian, dan jika bisa melakukan sedikit perubahan, yang tidak menimbulkan kesulitan, maka itu dapat kami terima," ungkapnya.

Para ahli hukum berpendapat, pengaturan mekanisme krisis bisa dilakukan dengan persetujuan parlemen negara-negara anggota, dan tidak perlu menggelar referendum.

Christoph Hasselbach/Luky Setyarini

Editor: Asril Ridwan