1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mikati Terpilih Menjadi Perdana Menteri Libanon

25 Januari 2011

Najib Mikati, milyuner yang terjun ke politik, ditunjuk sebagai perdana menteri Libanon, Selasa (25/01). Penunjukkan Mikati sebagai perdana menteri dibayangi aksi protes dengan kekerasan di beberapa kota.

https://p.dw.com/p/102dT
Najib MikatiFoto: picture-alliance/dpa

Mikati mendapatkan dukungan 68 dari 128 anggota parlemen. Sementara itu perdana menteri saat ini, Saad Hariri, mendapatkan hanya 60 suara anggota parlemen. Penunjukkan Mikati tersebut merupakan usulan gerakan Syiah Hizbullah yang pro Iran. Penunjukkan Mikati itu diketahui menjadi perhatian pemerintah Amerika Serikat.

Setelah pengumuman mengenai penunjukkan dirinya, Mikati mengatakan, ia akan membentuk "pemerintah rekonsiliasi nasional". Lebih lanjut Mikati menyebut bahwa ekonomi merupakan prioritas utamanya. Ia juga bertekad untuk bekerjasama dengan semua pihak dari berbagai haluan politik. "Tangan saya terbuka untuk semua pihak," ujarnya. "Saya pikir tidak ada pembenaran bagi suatu partai politik untuk menolak tawaran dialog ini."

Penunjukkan Mikati sebagai perdana menteri baru merupakan hasil pembicaraan politik dengan Presiden Libanon Michel Suleiman. Dikatakan Suleiman, terdapat isyarat bahwa Hariri sudah tidak lagi mendapatkan mayoritas dukungan.

Sementara itu, aksi protes dengan kekerasan terjadi di ibukota Libanon, Beirut, menentang penunjukkan pengusaha Najib Mikati menjadi perdana menteri baru. Para pendukung PM Saad Hariri memblokir sejumlah jalanan Beirut dan membakar ban mobil. Aksi protes serupa juga digelar di kota Tripoli dan beberapa kota lain di Libanon. Para pendukung Hariri juga dilaporkan membakar mobil dinas stasiun televisi Al Jazeera di kota Tripoli dan membakar foto Mikati.

Kepada kantor berita Jerman DPA, seorang pendukung Hariri mengatakan, "Mikati mengkhianati Sunni dan bergabung dengan oposisi Hizbullah untuk menggulingkan pemerintahan Hariri."

12 Januari lalu, pemerintah pimpinan PM Hariri mengalami perpecahan karena Hizbullah dan aliansinya meninggalkan kabinet. Alasannya, Hariri menolak mengakhiri kerjasama dengan Mahkamah Khusus PBB dalam menyelidiki kasus pembunuhan ayahnya yang terjadi tahun 2005.

Luky Setyarini/dpa

Editor: Yuniman Farid