1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

Militer Myanmar Bungkam Kebebasan Bicara dan Pers

11 Maret 2021

Junta militer Myanmar berusaha mengendalikan arus informasi dengan menekan jurnalis, memberlakukan undang-undang sensor yang lebih ketat, dan memblokir akses internet.

https://p.dw.com/p/3qT9e
Tentara Myanmar berpatroli
Tentara Myanmar berpatroli di Yangon selama aksi protes menentang kudeta militer berlangsungFoto: REUTERS

Sejak militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari lalu, rumor dan berita palsu telah menyebar cepat, terutama di media sosial. Pada saat yang sama, rasa ingin tahu publik akan informasi telah meningkat secara drastis. Dua hal ini membuat laporan berita dan analisis profesional yang dilakukan jurnalis menjadi lebih penting.

Wartawan Kyaw Myint, yang bertugas di Dewan Pers Myanmar, mengatakan kepada DW: "Banyak jurnalis marah, seperti yang terlihat di akun media sosial pribadi mereka. Di dalam negeri, berita dan liputan langsung diatur dengan sangat ketat."

Junta militer menuduh media memicu aksi protes dan mempersulit pekerjaan mereka. Menurut beberapa jurnalis yang berbicara kepada DW, tetapi enggan menyebutkan nama karena alasan keamanan, pasukan keamanan juga sering menargetkan dan menyerang jurnalis yang melaporkan aksi demonstrasi.

Kebanyakan editor dan reporter di negara tersebut saat ini menahan diri untuk tidak menyebut diri mereka sebagai anggota pers. Selain itu, militer telah menjebloskan sejumlah jurnalis di balik jeruji besi. Menurut Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), hampir 1.800 orang telah ditangkap pada hari Senin (08/03), termasuk 34 wartawan.

PBB kecam militer Myanmar

Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, pada hari Rabu (10/03) mengutuk tindakan keras militer Myanmar terhadap demonstran anti-kudeta. Tekanan internasional meningkat sejak tentara menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada bulan lalu, hingga memicu protes yang terjadi setiap hari di seluruh negeri.

Para diplomat mengatakan kepada AFP bahwa Dewan Keamanan PBB "mengutuk tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai".

"Saya berharap dengan pernyataan ini, akan ada kesadaran yang meningkat bagi militer di Myanmar bahwa sangat penting untuk membebaskan semua tahanan," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengacu pada pernyataan Dewan Keamanan.

Amerika Serikat (AS) juga telah menerapkan tekanan baru dengan sanksi terhadap Aung Pyae Sone dan Khin Thiri Thet Mon, anak dari pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing. Sone dan Mon memiliki berbagai bisnis yang secara langsung diuntungkan lantaran "posisi dan pengaruh buruk ayah mereka," kata pernyataan Departemen Keuangan AS.

Kedutaan besar AS dan Inggris di Yangon menerima laporan tentang pelajar dan warga sipil yang dikepung oleh pasukan keamanan di Okkalapa Utara. "Kami menyerukan kepada pasukan keamanan untuk mundur dari daerah itu, membebaskan mereka yang ditahan, dan mengizinkan orang untuk pergi dengan selamat," bunyi pernyataan Kedutaan AS melalui akun Twitternya.

Amnesty Internasional pantau kasus pembunuhan di Myanmar

Berdasarkan penyelidikan oleh aktivis hak asasi manusia, junta militer Myanmar sengaja menggunakan senjata mematikan terhadap pengunjuk rasa damai.

"Banyak pembunuhan yang didokumentasikan, sama dengan eksekusi di luar hukum," kata Amnesty International pada hari Kamis (11/03).

"Rekaman dengan jelas menunjukkan bahwa pasukan militer Myanmar - juga dikenal sebagai Tatmadaw - dilengkapi semakin banyak dengan senjata yang hanya sesuai untuk medan perang, bukan untuk tindakan kepolisian," kata Amnesty.

Mereka menembak tanpa pandang bulu dengan peluru tajam di daerah perkotaan. "Taktik militer Myanmar ini jauh dari baru, tetapi aksi pembunuhan mereka belum pernah disiarkan langsung, agar dunia bisa melihatnya," kata Joanne Mariner, Direktur Tanggapan Krisis Amnesty International.

Cina: "Saatnya deeskalasi"

Duta Besar Cina untuk PBB, Zhang Jun pada hari Rabu (10/03) menyerukan "penurunan ketegangan" dalam krisis di Myanmar, di mana militer telah melakukan tindakan keras terhadap demonstran anti-kudeta.

"Sekarang saatnya deeskalasi. Saatnya diplomasi. Saatnya dialog," kata Zhang Jun, setelah Dewan Keamanan PBB mengutuk militer Myanmar atas tindakan kejamnya. Zhang mengatakan bahwa "Cina telah berpartisipasi dalam (pernyataan) negosiasi secara konstruktif."

"Kebijakan persahabatan Cina terhadap Myanmar adalah untuk semua rakyat Myanmar. Cina siap untuk terlibat dan berkomunikasi dengan pihak terkait dan memainkan peran konstruktif dalam meredakan situasi saat ini."

ha/as (AFP, dpa)