1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Militer RI di Wilayah Perbatasan

Edith Koesoemawiria10 November 2006

Papua pasti akan mengalami militerisasi. Demikian kata Andi Widjajanto dari Universitas Indonesia ketika membuka presentasinya.

https://p.dw.com/p/CPB3
Foto: AP

Papua pasti akan mengalami militerisasi. Demikian kata Andi Widjajanto dari Universitas Indonesia ketika membuka presentasinya.

Sekejap ruang pertemuan itu menjadi hening. Pendeta Neles Tebay, asal Papua, yang duduk bersama di podium tampak mengelus dada. Namun pada pertemuan forum internasional untuk LSM pemerhati Indonesia, INFID, di Brussels itu, dengan sabar meminta agar diberikan keterangan lebih lanjut.

Militer Indonesia menjalankan reformasi sejak 1998. Perancangan disain reformasi itu melibatkan masyarakat sipil. Masukan dari kalangan universitas, Lembaga Swadaya Masyarakat dan komunitas lain yang berkaitan dengan militer turut dibahas. Namun reformasi militer itu berjalan lamban. Menurut Andi Widjajanto yang terlibat aktif dalam pembahasan reformasi militer, komitmen untuk membentuk militer RI yang profesional sangat kuat. Ada upaya besar untuk menghilangkan karakternya sebagai militer yang politis maupun sebagai militer berbisnis. Selain itu ada perubahan pada mandat yang diacu oleh militer.

Dengan target penguatan pertahanan di wilayah perbatasan, disebutkan bahwa Kalimantan akan membutuhkan 6-7 brigade infanteri dan 3-5 batalyon kavaleri dan artileri. Panjang perbatasan Kalimantan dengan Malaysia itu sekitar 1200 km. Nusa Tenggara Timur yang perbatasannya dengan Timor Leste sepanjang 170 km butuh 1 brigade infanteri dan 1 batalyon kavaleri dan artileri. Peningkatan jumlah militer itupun akan terjadi di Papua yang perbatasannya dengan Papua Nugini sekitar 800 km.

Saat ini di Papua terdapat sekitar 6000 – 7700 pasukan. Dari jumlah itu hanya separuh, atau sekitar 3.500 anggota militer yang berada di lokasi secara tetap, selebihnya berrotasi. Secara optimal diperkirakan jumlah pasukan yang seharusnya ditempatkan sekitar 35 hingga 45 ribu pasukan, 10 kali lipat dari jumlah saat ini.

Namun menurut Andi Widjajanto, itu hanya dalam kondisi optimal. Dalam perencanaan yang sudah ada di Departemen Pertahanan, sampai 2014 hanya akan bisa dikembangkan tiga brigade. Selama masa SBY kalau hanya satu brigade itu maksimal sekitar 4000 pasukan.“

Rencana yang memang lamban pelaksanaanya merupakan masalah yang dihadapi dalam proses reformasi militer RI. Hingga kini hanya 4 undang-undang baru yang sudah ditetapkan, padahal masih ada 17 undang-undang lainnya yang perlu digodok. Sementara, bila hanya sebagian dari reformasi itu yang diterapkan, ada kemungkinan militer RI yang sedianya akan ditempatkan di wilayah perbatasan justru dapat mengeruhkan situasi di wilayah-wilayah seperti Papua. Yang paling berbahaya dari tentara Indonesia adalah bila mereka menjadi self tasking army, jadi tentara yang memberikan tugas kepada dirinya sendiri, bisa bergerak, melakukan operasi-operasi tanpa otoritas dari siapapun. Lebih lanjut Andi Widjajanto memaparkan.

Andi Widjajanto menungkapkan, kalau karakter ini bisa diubah maka diharapkan, tentara itu akan sepenuhnya berada dalam kendali sipil. Mereka akan tinggal berada dalam barak, tidak akan bergerak, kalau tidak ada otorisasi politik dari Presiden. Tapi otorisasi politik dari Presiden, berdasarkan undang-undang yang dibuat tahun 2002, undang-undang pertahanan no 3/2002 itu, masih harus dapat persetujuan DPR.

Usaha untuk mengubah mandat militer cukup luas. Namun masalahnya menurut Andi Widjajanto dari Center for Global Civil Society Studies Universitas Indonesia adalah, bahwa seluruh operasi militer yang ada di Indonesia, kecuali operasi militer Aceh masa Megawati, tidak ada satupun yang dapat persetujuan DPR. Termasuk di Papua. Jadi ada suatu sistem tentang supremasi sipil yang belum jalan di Indonesia.

Sementara, meski tidak ada strategi ofensif dalam militer Indonesia, pembahasan berkutat pada definisi musuh yang baru.

Andi Widjajanto berharap adanya masukan-masukan baru dari kalangan masyarakat sipil. Misalnya dengan pemikiran mengenai wilayah perbatasan, seperti antara pembentukan komunitas perbatasan atau rejim perbatasan yang memiliki komponen seperti CBM, yakni langkah untuk peningkatan kepercayaan, kerjasama keamanan, sistim peringatan dini dan mekanisme-mekanisme untuk penyelesaian masalah perbatasan. Menurut Andi Widjajanto, pemikiran mengenai pertahanan regional juga bisa membuka wacana lain dalam rencana pengembangan militer. Kemungkinan untuk justru mengurangi jumlah militer, tampaknya tidak lagi dibahas.

Sampai sekarang empat undang-undang yang sudah ditetapkan, menurut Andi Widjajanto: "2007/2008 mudah-mudahan bisa tancap gas, di 2009 kita masih bisa, tapi konsentrasi sudah akan beralih ke pemilu untuk pergantian DPR dan presiden. Jadi kita betul-betul hanya punya dua tahun sebetulnya untuk 17 undang-undang. Dan dengan track record kita bahwa hanya punya 4 dalam waktu 1998-2004, dalam waktu 6 tahun hanya empat, sekarang dalam waktu dua tahun harus 17… ya diharapkan saja akan selesai 2009.“

Di antara undang-undang yang masih perlu direformasi tercatat antara lain undang-undang peradilan militer, tugas perbantuan, undang-undang mengenai batas wilayah negara Indonesia dan hukum disiplin prajurit.