1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

MK Beri Status Hukum Anak Luar Nikah

17 Februari 2012

Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi pasal tentang anak di luar pernikahan dalam Undang Undang Perkawinan.

https://p.dw.com/p/144jU
Foto: MAK/Fotolia

Mahkamah Konstitusi menyatakan, anak yang lahir di luar pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Pemberian status hukum ini, ditujukan dengan mempertimbangkan perlindungan hukum terhadap anak yang dilahirkan di luar pernikahan.

Dengan putusan ini, menurut MK, bapak dari anak bersangkutan tetap harus bertanggungjawab secara hukum, terlepas dari soal prosedur atau administrasi perkawinannya.

Ketua MK Mahfud MD menyampaikan, "Ayat tersebut harus dibaca. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagi ayahnya. Yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu teknologi dan atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah. Termasuk dengan hubungan darah dengan keluarga ayahnya.”

Perlindungan Hukum bagi Anak Luar Nikah

Uji materi ini diajukan oleh Machica Mochtar, istri sirri menteri sekretaris negara era Orde Baru Moerdiono, yang hak-hak anaknya tidak diakui karena status perkawinan bawah tangan.

Komnas Perempuan memuji putusan itu dan menganggap pemberian status hukum bagi anak di luar nikah ini, sebagai terobosan untuk melindungi pemenuhan hak anak di luar nikah.

Meski demikian, Komisioner Komnas Perempuan Sri Nur Herwati meminta pemerintah cermat dalam mengatur aturan baru hasil putusan ini. Ia mengingatkan, kemungkinan dampak yang muncul akibat putusan ini. “Pasti ada perlawanan seolah pernikahan bawah tangan itu diterima. Padahal sebenarnya kan tidak seperti itu. Pemahaman bahwa mengakui hak anak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya sangat berbeda dengan pengakuan terhadap pernikahan di bawah tangan. Kemudian implikasi kedua adalah penolakan penolakan pada keluarga bahkan implikasinya justru akan membebani istri yang sah atau bahkan istri pertama.”

Pernikahan Bawah Tangan

Meski tidak memiliki data pasti, Komnas Perempuan mengakui, praktek perkawinan bawah tangan di Indonesia masih tinggi dan terjadi di semua lapisan masyarakat tak terkecuali kalangan berpendidikan tinggi. Penyebabnya, menurut Komisioner Komnas Perempuan Sri Nur Herwati, karena kurangnya sosialisai informasi mengenai tata cara pernikahan yang benar serta timpangnya relasi gender di masyarakat yang tidak memberi perempuan pilihan untuk menolak perkawinan bawah tangan.

Dua tahun lalu, pemerintah pernah mengajukan revisi Rancangan Undang Undang untuk menekan praktek perkawinan bawah tangan dan poligami dengan sangsi pidana. Namun memicu penolakan dari kelompok kelompok agama.

Zaki Amrullah

Editor: Yuniman Farid