1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Molekul Berwarna Cegah 'Overdosis' Obat

10 Juni 2014

Peneliti mengembangkan molekul yang bisa berubah warna menjadi merah atau biru, tergantung pada tingkat kandungan obat dalam tubuh. Tujuannya agar pasien tidak menenggak obat berlebih.

https://p.dw.com/p/1CEqk
Foto: shotsstudio/Fotolia

Setelah terkena tetesan darah, warna molekul diobservasi dengan bantuan kamera digital biasa. Ini yang ditulis para pengembang asal Swiss dan Amerika Serikat di jurnal ilmiah Nature Chemical Biology.

"Proses ini tidak membutuhkan alat laboratorium dan sangat mudah sehingga pasien bisa melakukannya sendiri," jelas Rudolf Griss dari Swiss Federal Institute of Technology di Lausanne.

Pasien yang bergantung pada obat karena menderita penyakit seperti kanker, jantung, epilepsi, atau baru menjalani transplantasi organ, kerap beresiko terkena efek samping, keracunan karena overdosis, atau obat tidak berfungsi karena dosisnya terlalu rendah.

Penting untuk pasien di lokasi terisolasi

Tapi sarana untuk memonitor dosis biasanya mahal, memakan waktu dan harus dilakukan seorang pakar di laboratorium.

Metode yang murah dan mudah sudah sejak lama dicari untuk memonitor dosis obat di rumah pasien, khususnya mereka yang tinggal di daerah terpencil dengan infrastruktur kesehatan yang buruk.

Molekul baru "bisa mengukur konsentrasi obat pada aliran darah pasien dan melaporkan hasilnya secara langsung," ujar Griss.

Molekul sensor mempunyai empat komponen. Yakni, protein reseptor yang mengikat ke molekul dengan obat tertentu; molekul kecil yang mirip dengan molekul pada obat, enzim yang menghasilkan cahaya (luciferase), dan molekul fluorofor yang bisa mengubah warna cahaya dari luciferase.

Warna menentukan konsentrasi obat

Jika jejak obat tidak terdeteksi, reseptor dan molekul mirip obat saling mengikat di dalam sistem. Sehingga, kedua komponen tersebut menarik luciferase dan fluorofor lebih dekat, dan menghasilkan cahaya berwarna merah.

Namun, jika ada obat di dalam darah, reseptor memilih untuk mengikat obat yang sesungguhnya dan mendorong molekul mirip obat yang sintesis. Ini juga menyebabkan pemisahan fluorofor dari luciferase dan cahaya yang dihasilkan berwarna biru.

"Anda hanya perlu sampel campuran darah dan molekul yang diteteskan ke secarik kertas. Kertas dimasukkan ke kotak gelap. Lalu Anda memotretnya dengan kamera digital biasa," ujar Griss.

Foto kemudian dianalisa dengan software pengukur warna untuk menentukan konsentrasi obat dalam darah.

Prototipe ini sukses diuji coba pada enam pasien dan akan menjadi produk sebuah perusahaan start-up. "Kami saat ini dalam proses mengubahnya ke dalam sistem dimana pasien hanya perlu memberi setetes darah pada kertas, lalu kertas dimasukkan ke dalam mesin pembaca, dan hasilnya otomatis terlihat. Jadi mirip dengan alat pengukur tingkat gula darah bagi penderita diabetes", ujar Griss.

vlz/ab (afp)