1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mongolia : Negara Kaya Rakyat Miskin

12 Oktober 2011

Usai runtuhnya Uni Soviet, Mongolia berkembang menjadi negara demokrasi. Namun, kebangkitan ekonomi negara kaya bahan mentah ini baru dimulai. Sepertiga warganya masih tetap miskin.

https://p.dw.com/p/12qbd
Padang stepa yang menghampar di HailarFoto: Xiao Xu

Batu bara, tembaga, emas, dan tanah langka - Mongolia memiliki segalanya. Keuangan negara ini meningkat 14 persen pada paruh pertama tahun ini. Dale Choi, ahli strategi investasi di perusahaan Frontier Securities di ibukota Ulan Bator menjelaskan : "Bagi setiap negara di dunia, ini angka yang cukup tinggi. Perekonomian kami tengah mengalami boom, karena pertambangan dan dampaknya di sektor lain."

Usaha pertambangan bahan mentah baru dimulai. Kebangkitan ekonomi selama ini baru mencapai kelompok elit tertentu, yang mampu membeli mobil dan rumah baru. Sepertiga warga tetap sangat miskin. Ini menurut Jürgen Wellner, yang bekerja bagi organisasi bantuan World Vision di Ulan Bator.

"Negara ini bisa memiliki masa depan cerah, tetapi tidak bagi sepertiga warganya. Angka pertumbuhan sangat besar. Pertanyaannya adalah, apakah dampaknya juga dirasakan kalangan bawah? Dalam 10 terakhir, produk sosial bruto Mongolia juga tumbuh sangat pesat, tetapi kemiskinan tidak mengalami perubahan," papar Jürgen Wellner.

Wüste Gobi Flash-Galerie
Gurun GobiFoto: AP

Khususnya di pinggiran kota Ulan Bator tampak kemiskinan. Di sana, penduduk tinggal di tenda tradisional dan pemasukannya dari pekerjaan tidak tetap. Setengah dari 2,8 juta warga Mongolia menetap di Ulan Bator. Banyak yang dulunya bangsa nomaden kini telah pindah ke kota, karena beternak tidak lagi menjamin penghasilan mereka. Juga karena mereka mencari akses ke modernitas. Namun, lapangan kerja sulit untuk diperoleh.

Johannes Rey dari yayasan Konrad Adenauer menjelaskan, "Kemiskinan terjadi, karena dalam 20 tahun terakhir, tidak ada industri yang bisa dibangun. Dan negara ini pada dasarnya hanya hidup dari hasil penjualan bahan mentah. Artinya, saat ini masih belum ada pabrik produksi, belum ada industri sekunder. Perkembangan ini harus berjalan paralel. Di satu pihak perdagangan bahan mentah, di pihak lain harus diusahakan, bahwa bahan mentah tidak hanya diekspor, tetapi juga dioleh di negara sendiri."

Pemerintah punya ambisi besar dengan permbangunan industrinya. Namun, sebelumnya infrastruktur harus diperbaiki terlebih dahulu. Saat ini, 90 persen jalanan tidak diaspal, jaringan rel kereta api yang melintasi seluruh kawasan Mongolia masih kurang. Ini semua akan berubah dalam beberapa tahun ke depan.

Mongolia berharap, bisa mendapat keuntungan dari negara tetangga yang kuat, seperti Rusia dan Cina. Mereka juga berharap dapat menjalin kemitraan keuangan dengan Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Korea Selatan. Jalan bagi negara yang berbangsa nomaden yang terisolasi menjadi bangsa yang memiliki bahan mentah modern masih panjang. Pembagian kekayaan negara bagi warganya juga masih merupakan masalah politik yang belum ditemukan solusinya.

Ruth Kirchner/Vidi Legowo-Zipperer Editor: Andriani Nangoy