1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mongolia Perangi Perubahan Iklim

25 Maret 2010

Dalam kunjungan 10 hari di Jerman, Menteri Lingkungan Hidup Mongolia mengungkapkan kebutuhan akan bantuan Jerman. Khususnya untuk mengatasi damnpak perubahan iklim

https://p.dw.com/p/McCZ

Mongolia belum memiliki pengetahuan keilmuan dan teknologi yang memadai untuk menghadapi gejala perubahan iklim. Karenanya negeri itu sangat membutuhkan bantuan keahlian dan teknologi luar negeri, termasuk Jerman. Dalam kunjungan 10 harinya di Jerman, Menteri Lingkungan Gansukh Luimed mengungkapkan:

"Kami sedang mengembangkan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Jerman memiliki tradisi panjang dan pengalaman luas dalam pengelolaan hutan. Jerman juga sudah mengembangkan model-model iklim untuk 100 tahun mendatang. Kami ingin berbagi pengalaman di bidang ini. Juga kami berharap bisa mempelajari berbagai riset yang sudah dilakukan di Jerman, yang bisa diterapkan di Mongolia".

Gansukh menegaskan, perubahan iklim menghadapkan Mongolia pada berbagai masalah lingkungan yang kemudian berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi. Kendati wilayah Mongolia tidak berbatasan dengan laut.

"Ketinggian rata-rata Mongolia sekitar 1500 di atas permukaan laut. Dan terkait keadaan geografis kami, justru perubahan iklim sangat berdampak besar terhadap Mongolia. Gambarannya begini. Suhu rata-rata global meningkat sekitar 0,74 derajat Celcius. Sementara di Mongolia, selama 70 tahun ini suhu meningkat sampai 2,1 derajat Celsius. Artinya, hampüir tiga kali lipat dibanding rata-rata kenaikan suhu dunia. Ini mengakibatkan terjadinya berbagai masalah berat. Seperti kekurangan air, mengeringnya sungai dan mata air, selain makin keringnya kemarau dan meningkatnya laju desertifikasi. Semua itu pada gilirannya menyebabkan pula musnahnya keragaman hayati".

Menurut Menteri Lingkungan Mongolia ini, desertifikasi, atau penggurunan atau berubahnya lahan biasa menjadi gurun pasir melanda hingga 70 persen wilayah Mongolia. Tetapi perubahan iklim bukan satu-satunya penyebab. Tradisi gembala juga jadi faktor besar. Sebagian rakyat Mongolia hidup dari menggembala kambing dan ternak lain. Sebagian besar menggembalakan ternak mereka di padang rumput secara liar dan berlebihan. Mengakibatkan gundulnya padang rumput. Kembali Menteri Lingkungan Mongolia Gansukh Luimed:

"Kami menjajaki kemungkinan mengekspor produk yang bersumber dari hewan. Jika kami bisa melakukannya, kami akan mampu menekan jumlah hewan namun meningkatkan kualitasnya dengan meningkatkan produktivitas hewan-hewan itu. Tentu saja diperlukan investasi besar, dan itu tak bisa dilakukan dengan jangka waktu pendek"

Penanganan udara dan air yang tercemar juga membutuhkan waktu lama. Karena infrastruktur dasar Mongolia masih sangat terbatas. Bahkan juga di ibukota, Ulan Bator, yang saluran pembuangan limbah rumah tangganya masih sangat terbatas.

Belum lagi dampak penambangan bahan baku alam. Pertambangan sudah merupakan industri penting Mongolia, namun dipastikan akan makin meningkat lagi, karena melimpahnya cadangan mineral seperti batu baru, tembaga, emas, dan uranium. Sekarang ini saja sudah banyak laporan mengenai pencemaran merkuri akibat penambangan emas liar oleh para penambang gelap yang dijuluki "kaum ninja". Menteri Lingkungan Mongolia Gansukh Luimed mengiyakan:

"Pada 20 tahun belakangan, selama masa transisi ke ekonomi pasar, memang banyak terjadi penambangan emas skala kecil, yang tidak selalu ramah lingkungan. Kami tak akan lagi membiarkannya. Kami sekarang sudah memiliki undang-undang yang melarang penambangan emas skala kecil yang merusak lingkungan."

Untuk itu, kata Menteri Lingkungan Gansukh Luimed, pemerintah Mongolia akan mengembangkan proyek-proyek pertambangan besar di kawasan selatan negeri itu, melalui kerjasama dengan para investor asing.

Thomas Berthlein/gg/hp