1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

documenta 15: Monumen Duka di Friedrichsplatz

Indonesien Titarubi
Titarubi
19 Agustus 2022

Penurunan baliho Taring Padi di Jerman adalah 'monumen duka' untuk kebebasan seni, namun juga 'monumen peringatan' bahwa manusia berkuasa dan mampu menciptakan luka, tetapi juga sanggup menyembuhkannya. Oleh Titarubi.

https://p.dw.com/p/4Fldq
Documenta fifteen setelah skandal antisemitisme
Di sinilah baliho raksasa Taring Padi, kolektif Indonesia tadinya dipajangFoto: Uwe Zucchi/dpa/picture alliance

Baliho karya Taring Padi "People's Justice" (2002) di alun-alun Friedrichsplatz ditutup tirai, kemudian dilepas dan diturunkan dua hari setelah pembukaan documenta 15 di Kassel, Jerman, Juni lalu. Panitia pameran seni kontemporer documenta fifteen di Kassel memutuskan mencabut sebuah balihoTaring Padi karena mengandung penggambaran antisemitisme.

Sebuah karya "dibredel", tentu membuat terhenyak. Banyak di antara kami, para pekerja seni di Indonesia, tidak bisa percaya bahwa pembredelan karya seni di sebuah ajang seni prestisius di negara maju seperti Jerman, bisa terjadi. Kepercayaan padakebebasan artistik di Barat sebagai wujud demokrasi mulai dipertanyakan.

Diskusi-diskusi membahas diturunkannya karya Taring Padi mulai terjadi secara cepat dalam pertemuan-pertemuan kecil. Dalam sejarah Indonesia penurunan karya seni, apalagi pada sebuah event besar, memang menjadi peristiwa menakutkan. Secara otomatis kami memikirkan keselamatan teman-teman di negeri seberang sana. Dan berdoa semoga mereka selamat dan tidak mendapatkan perlakuan buruk. Mekanisme pertahanan diri dari rasa takut. Seperti kembali pada zaman Suharto, presiden Indonesia yang turun atas desakan rakyat pada tahun 1998, di mana aparat bisa menculik atau menangkap aktivis maupun seniman yang dianggap mengganggu kekuasaan.

Titarubi adalah pekerja seni yang sejak mahasiswa terlibat dalam berbagai gerakan sosial kemanusiaan. Meyakini seni sebagai cara berbagi pemikiran dalam memahami kehidupan. Studi Seni Rupa Murni (ITB) dan program pascasarjana Departemen Sejarah (UGM). Saat ini menjadi Ketua Ikatan Alumni Seni Rupa ITB.
Penulis: TitarubiFoto: Titarubi

Diskusi-diskusi dilakukan secara diam-diam melalui telefon, grup chatting, atau dalam kelompok-kelompok kecil. Rupanya kami terbiasa secara sembunyi-sembunyi membicarakan sebuah peristiwa buruk yang tidak direstui pemerintah. Terlebih lagi sekarang ini, pemerintah Jerman. Sebuah negara yang di dalam konstitusinya menyatakan kebebasan berpendapat. Tetapi tidak untuk "People's Justice" karya Taring Padi dari Indonesia. Kebebasan artistik, pada kenyataannya, memang tidak sepenuhnya ada. Rupanya, selalu ada kekecualian, bahkan di negara-negara demokratis sekalipun.

Tentu saja harapan besar tertumpu pada Taring Padi untuk menolak pembredelan karya dengan argumentatif. Harapan yang sama pada kolektif Direktur Artistik documenta 15, ruangrupa - yang berjumlah 10 orang. Tetapi rupanya, Taring Padi bukan hanya tidak diberikan kesempatan untuk membela diri maupun menjelaskan, bahkan ketika mengetahui bahwa karyanya ditutup dan mereka ingin memberikan judul "Monumen Duka" pada karya tersebut, baliho "People's Justice" sudah dalam proses diturunkan. Keputusan diturunkannya karya ini adalah keputusan absolut, tentu dari mereka, entah siapapun itu, yang memiliki kekuasaan. Kenyataan ini memicu perasaan yang sangat emosional. Menyakitkan. Sedih. Marah. Terluka. Terhina.

Teman-teman di Eropa ataupun mereka yang pernah tinggal lama di Eropa, berusaha menjelaskan duduk permasalahan secara panjang lebar. Berjam-jam. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berusaha membaca dan belajar, mencoba memahami sejarah antisemitisme. Dengan terburu-buru. Dalam kepanikan dan kekhawatiran.

Sejarah luka antisemitisme 

Bagaimana kami di Indonesia tidak menyadarinya? Saya mulai bertanya-tanya bagaimana bisa abai atas peristiwa penting kemanusiaan? Apakah peristiwa 1965-1966 di Indonesia, di mana ratusan ribu bahkan mungkin jutaan mereka para komunis atau bahkan yang hanya dituduh sosialis sekalipun, dibunuh, atau dipenjara tanpa pengadilan. Sebuah peristiwa getir yang tidak pernah diakui terjadi dalam sejarah, bahkan masih merupakan pembicaraan yang menakutkan dan karenanya dihindari masyarakat. Apakah ini membuat kami tidak cukup peka pada peristiwa holokaus di Eropa? Bukan mustahil.

Taring Padi adalah sekelompok kecil masyarakat yang berani menyatakan pendapatnya. Mereka berani mengutarakan suara orang-orang yang terpinggirkan dan tertindas. Termasuk menyuarakan kasus pembantaian 1965-1966 di Indonesia. Mereka bekerja berkelompok dan sering bersama-sama masyarakat berkarya, dan memberikan kebebasan berpendapat dan kebebasan artistik. Sebuah kegiatan yang memiliki resiko besar bagi Taring Padi sendiri. Seperti yang terjadi pada "People's Justice" di documenta 15. Mereka menjadi tertuduh atas kebebasan berpendapat yang mereka perjuangkan.

Kita kemudian bisa melihatnya sebagai "Monumen Duka" yang berdiri di sana tanpa kentara, di Lapangan Friedrichsplatz yang luas, bersama ratusan wayang-wayang kardus yang juga sudah tak ada lagi. Ketika kurator menyatakan bahwa di documenta 15 ini karya menjadi bagian dari masyarakat, ketika karya tidak berada pada white cube—sebuah ruang yang steril dari lingkungannya, ketika masyarakat menuntut karya itu harus diturunkan, ketika Taring Padi kemudian menerimanya sebagai kesalahan serta meminta maaf atas ketidakpahaman pada luka sejarah yang ditanggung masyarakat, "People's Justice" menjadi satu-satunya karya yang berhasil. Mengapa? Sebab begitu kuat melibatkan emosional masyarakat.

Tidak hanya emosional masyarakat di Jerman dan Eropa, sebetulnya, tetapi juga kemudian di Indonesia dan mungkin banyak negara lainnya. Peristiwa ini melibatkan begitu banyak perasaan. Mereka yang berkepentingan atas sejarah luka antisemit. Atas upaya kebebasan seni yang merasa perjuangannya selama ini diruntuhkan di documenta 15 dan harus dibangun kembali.

documenta fifteen - gambar Taring Padi yang menyulut kontroversi
Gambar Taring Padi yang menjadi perdebatanFoto: Uwe Zucchi/dpa/picture alliance

Ada rasa malu dan kecewa berkepanjangan sebab tidak teratasinya persoalan ini dengan segera. Ada luka baru di mana rasisme dan kekerasan meningkat. Ada patahnya solidaritas yang rapuh di antara kaum antiantisemitisme dan poskolonialisme. Ada meningkatnya kecurigaan dan prasangka yang menciptakan jarak antar individu maupun kelompok. Ada kekecewaan pada diri sendiri sebab merasa tak mampu membantu apapun untuk memulihkan keadaan yang buruk ini. Dan ada luka baru yang kemudian harus disembuhkan kembali.

Jika dokumenta pada awal munculnya di tahun 1955 untuk menyembuhkan luka perang, kukira begitu juga sekarang, documenta tampaknya harus tetap berfungsi untuk menyembuhkan luka perang. Seni adalah sebuah alat bersahaja yang selama ini digunakan di documenta untuk menyembuhkan luka perang. Sebab seni memiliki kesanggupan menyentuh hati manusia. Dengan demikian ia memiliki potensi sebagai jembatan solidaritas, kemanusiaan dan perdamaian.

"Monumen Duka" untuk kebebasan seni

Bukan seperti yang terjadi di documenta 15. Bagaimana karya-karya seni yang begitu banyak hanya terselip dalam perang kuasa yang semakin membesar. Bukan perihal seni, melainkan politik. Kami dari kejauhan melihat pertikaian sengit dan bukannya menonton perayaan seni. Kesenian telah ditindas di documenta 15. Menjadi perayaan luka perebut kepentingan. Dan ini tentu saja menyedihkan.

Waktu pameran documenta 15 tersisa kurang separuh dari 100 hari penyelenggaraan. Dan kami para penonton, apalagi yang berada di kejauhan, masih diasingkan dari karya-karya yang hadir di sana. Kami mendengar bahwa karya documenta 15 berupa proses, di mana para peserta dan kurator terus menerus berdiskusi. Seorang peserta documenta 15 pada diskusi di ArtJog Yogyakarta 14 Agustus 2022 mengatakan bahwa aktivitas documenta 15 adalah rapat. Bahkan sudah berlangsung sejak dua tahun sebelumnya.

Jika rapat adalah metode kerja sekaligus karyanya, maka kuratorial telah membuat documenta 15 menjadi ekslusif, terasing dari masyarakat luas. Begitu jauh dari kami. Apa yang tersisa bagi penonton di kejauhan adalah pembicaraan tentang diturunkannya karya "People's Justice" yang kemudian menjadi "Monumen Duka", bukan hanya bagi Taring Padi melainkan juga untuk semua, termasuk documenta 15.

"Monumen Duka", memang tidak bisa terlihat, tetapi berdiri tegak di Friedrichsplatz yang luas, di mana "People's Justice" pernah berdiri. Ingatan atas peristiwa ini, membuat "Monumen Duka" akan tetap berada di sana. Ia adalah ingatan bahwa kita setara. Kita memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menciptakan luka sekaligus memiliki kesanggupan untuk menyembuhkannya.

Ia juga menjadi sebuah monumen ingatan untuk merayakan kebebasan seni yang memiliki kesadaran etik dalam estetika. Kebebasan dalam seni, sekecil apapun, dibutuhkan manusia. Ketika hidup begitu ketat dengan segala peraturan dan batasan serta beban yang melelahkan, seni tampaknya menawarkan sebuah jalan pembebasan.

Titarubi adalah pekerja seni yang sejak mahasiswa terlibat dalam berbagai gerakan sosial kemanusiaan. Meyakini seni sebagai cara berbagi pemikiran dalam memahami kehidupan. Studi Seni Rupa Murni (ITB) dan program pascasarjana Departemen Sejarah (UGM). Saat ini menjadi Ketua Ikatan Alumni Seni Rupa ITB.