1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Nasionalisme di Mata Kirana Larasati

Kirana Larasati
24 November 2018

Pindah negara? Mungkin tak masalah. Tapi pindah kewarganegaraan? Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini? Apakah itu artinya kita tidak nasionalis? Ikuti opini Kirana Larasati.

https://p.dw.com/p/36J0u
Indonesien Unabhängigkeitstag
Foto: Reuters/T. Allard

Memiliki lebih dari 17 ribu pulau, yang terpisah oleh lautan. 265 juta penduduk dengan 714 suku dan 1000 lebih bahasa, perbedaan adalah anugerah sekaligus ujian bagi Indonesia.

Saya sebuh anugerah, karena dengan segala perbedaan itu lahir ribuan budaya dan mahakarya di negeri. Kita punya candi Borobudur, kuil Buddha terbesar dunia. Bergeser sedikit, kita punya Candi Prambanan peninggalan kerajaan Hindu.

Indonesia punya masjid-masjid agung yang mengingatkan perjuangan wali songo menyebarkan Islam di pulau Jawa. Juga, keindahan kelenteng-kelenteng, pura, serta gereja-gereja cantik. Indonesia punya semua.

Penulis: Kirana Larasati
Penulis: Kirana LarasatiFoto: Kirana Larasati

Tapi di sisi lain, perbedaan sering jadi ujian bagi negeri ini, dan ini disadari juga oleh leluhur dan pendiri negeri ini. Makanya Gajah Mada menyerukan sumpah palapa, karena ia tahu sulitnya menyatukannya. Makanya para pemuda pada 1928 menyerukan sumpah untuk berbahasa, bertanah air, dan berbangsa satu.

Makanya para bapak pendiri negeri ini menyusun Pancasila sebagai pengingat utama berdirinya negeri ini. Karena memang tidak mudah menyatukan ribuan hal berbeda,kecuali kita punya satu tujuan, semua demi Indonesia.

73 tahun sejak merdeka, masih ada oknum yang ingin memecah belah bangsa ini dan tak suka melihatnya rukun. Mulai dari pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan), lDI/TII, PRRI, Permesta, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan OPM.

Yang ingin mengganti ideologi negeri ini juga banyak, mulai dari Jemaah Islamiyah hingga ISIS berusaha menyusup ke negeri ini, dengan cara paling tidak manusiawi yakni terorisme. Bom Bali masih teringat, lalu kita terkena deretan teror bom Natal di Surabaya beberapa bulan lalu.

Banyaknya yang dagang politik

Ada juga oknum yang memanfaatkan perbedaan, seperti perbedaan keyakinan, untuk jualan politik. Kita masih ingat betapa seorang Ahok dijatuhkan dengan isu penistaan agama begitu saja, tanpa memandang kinerja dan kontribusinya untuk Jakarta selama bertahun-tahun. Demo berjilid-jilid dengan ratusan ribu orang, untuk satu orang Ahok, mengubah citra Indonesia yang ramah menjadi Indonesia yang hobi marah.

Kita lalu jadi sorotan dunia, ke mana segala perbedaan yang dulu kita banggakan. Nyatanya bhinneka tunggal ika seakan semu.Gara-gara ini, saya sering sekali mendengar omongan orang-orang di sekitar saya, "Aduh, kalau bisa pindah negara, mau pindah saja deh. Rusuh. Aturannya tak jelas. Orang-orangnya tak disiplin. Pejabatnya korup,"

Namun, sebagai warga yang "waras”  dan mengiginkan Indonesia menjadi lebih baik dan maju, apakah bijak jika kita pergi meninggalkan Indonesia begitu saja, mengganti kewarganegaraan?

Mengapa kita tidak tetap tinggal saja dan berusaha membenahi apa yang perlu dibenahi dengan kapasitas yang kita miliki?

Mari beranalogi. Anggaplah Indonesia keluarga Anda, toh memang kita menjulukinya juga Ibu Pertiwi. Anda punya ibu dan bapak. Ketika di dalam keluarga itu ada yang tidak Anda senangi, apakah Anda akan mengganti ibu Anda? Bapak Anda? Lalu pergi mencari keluarga baru?

Mau sampai kapan Anda hanya mencari jalan keluar termudah dan meninggalkan keluarga sendiri dalam keadaan terluka?

Apakah Anda yakin di keluarga yang baru tidak akan ada masalah? Tidak akan ada luka?

Mengganti kewarganegaraan bukanlah jalan keluar

Mengganti bahasa, mengganti kultur, mengganti kehidupan, bukanlah sesuatu yang mudah. Semua keluarga, semua rumah, semua negara, punya masalahnya masing-masing. Pindah belum tentu lebih baik, tapi rindu pasti akan terus membayangi.

Jadi, tentunya bagi saya, berpindah kewarganegaraan sudah pasti bukanlah jalan keluar. Saya lebih memilih tinggal dan berupaya melanjutkan perjuangan para leluhur negeri ini, jangan menyerah menyatukan Indonesia. Jika saat ini sedang rusak atau kacau balau, mari coba kita bantu benahi perlahan-lahan sampai Indonesia cantik kembali.

Saya mencintai tanah air ini sepenuh hati layaknya mencintai keluarga sendiri. Indonesia telah, sedang, dan akan terus menjadi rumah saya. Apa yang Anda lakukan kepada rumah dan keluarga Anda? Tentunya merawat, memelihara, dan bekerja keras memberikan yang terbaik untuknya, bukan? Itulah yang akan terus sekuat tenaga saya perjuangkan, dan itu jugalah yang akan saya tanamkan ke anak cucu saya nantinya. Apapun yang terjadi, terus rawat negeri ini.

Penulis:

@_kiranalara, seorang politisi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.