1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMesir

Mungkinkah Pemilu Presiden di Mesir Membawa Perubahan?

Jennifer Holleis | Mahmoud Hussein
12 Desember 2023

Meskipun reputasi Presiden Abdel Fattah el-Sissi telah membaik, para pengamat khawatir krisis ekonomi Mesir maupun situasi hak asasi manusia yang buruk tidak akan terselesaikan.

https://p.dw.com/p/4a0tX
Poster Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi
Poster Kampanye Presiden Mesir Abdel Fattah el-SissiFoto: Amr Nabil/AP Photo/picture alliance

Pemungutan suara tiga hari dibuka di Mesir pada hari Minggu (10/12) dalam pemilihan presiden yang dibayangi oleh perang di kawasan tetangga Gaza dan krisis ekonomi yang serius. Pemungutan suara akan berlanjut hingga Selasa (12/12), dengan hasil resmi akan diumumkan pada 18 Desember.

Pemilu kali ini kemungkinan besar akan kembali dimenangkan petahana Abdel Fattah el-Sissi yang sekarang berusia 69 tahun dan akan menjalani jabatan ketiganya di negara Afrika Utara berpenduduk 113 juta jiwa itu. Hingga tahun 2019, konstitusi hanya memperbolehkan dua kali masa jabatan presiden. Abdel Fattah el-Sissi terpilih tanpa adanya oposisi dengan perolehan suara sekitar 97% pada tahun 2014 dan 2018. Dia kemudian mendorong amandemen konstitusi yang melegitimasi presiden Mesir menjabat untuk ketiga kalinya, sekaligus memperpanjang masa jabatan presiden dari empat menjadi enam tahun.

Otoritas Pemilu Nasional Mesir, NEA, mengatakan dalam pernyataannya bahwa proses pemilu yang melibatkan total empat kandidat telah berlangsung adil. Pekan lalu NEA juga mengumumkan, warga Mesir di luar negeri telah selesai memberikan suara mereka.

Namun, menjelang pemilu, para pengamat dan organisasi hak asasi manusia berulang kali menuduh el-Sissi menindak kandidat oposisi yang potensial. "Hisham Kassem saat ini dipenjara atas tuduhan politik dan Ahmed Altantawy menghadapi dakwaan sementara puluhan anggota tim kampanyenya juga ditahan,” kata Timothy E. Kaldas, wakil direktur Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah yang berbasis di Washington, kepada DW.

Hampir pasti terpilih kembali, kemungkinan el-Sissi tidak akan menghadapi banyak kritik internasional mengingat peran negaranya yang sangat penting dalam perang yang terjadi di Gaza saat ini.

Dampak perang Israel-Hamas

Sejak awal perang antara Israel dan Hamas, dimana Hamas oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Jerman dan beberapa negara-lain dikategorikan sebagai kelompok teroris, perhatian global telah beralih dari catatan buruk hak asasi manusia di Mesir, menjadi mitra politik dan mediator yang dapat diandalkan di kawasan. Hal ini tidak hanya meningkatkan reputasi el-Sissi di dunia internasional, namun kemungkinan besar akan berdampak positif pada keuangan negara, yang sekarang sedang terpuruk.

"Komisi Eropa mengumumkan investasi hingga €9 miliar di Mesir, sementara laporan lain menunjukkan bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) sedang mempertimbangkan untuk menggandakan jumlah pinjaman Mesir sebagai respons terhadap situasi ini,” kata Kaldas. Dia menambahkan, "hal ini terjadi meskipun faktanya Mesir telah gagal memenuhi sebagian besar komitmen reformasinya selama setahun terakhir, sehingga menghalangi IMF untuk menyelesaikan peninjauan dan pencairan tahap pinjaman." Sejak 2022, Mesir mengalami krisis ekonomi yang semakin parah.

Menurut Bank Sentral Mesir, inflasi mencapai 38% pada bulan Oktober, sementara mata uang Pound Mesir telah kehilangan separuh nilainya terhadap dolar AS. Perkiraan resmi menyatakan bahwa 30% penduduk hidup dalam kemiskinan. Cadangan devisa yang dibutuhkan untuk membayar kembali pinjaman hampir habis.

"Di masa lalu, Barat juga tidak terlalu kritis terhadap pemilu di Mesir, dan el-Sissi serta militer sering kali dianggap di Barat sebagai satu-satunya aktor yang dapat mencegah kekacauan di negara itu,” kata Christian Achrainer, peneliti di Universitas Roskilde Denmark, yang telah banyak menerbitkan buku tentang Mesir, kepada DW.

Selain itu, tidak hanya di Gaza, tetapi juga di negara-negara tetangga Mesir lainnya – Sudan, Libya dan Yaman – sedang berkecamuk perang, dan Laut Merah nyaris menjadi medan perang bagi milisi proksi Iran melawan Israel. "Ini akan menjadi skenario yang mengerikan bagi para pengambil keputusan di Eropa, jika Mesir, sebagai negara dengan populasi terbesar di Afrika Utara dan Arab, juga menjadi tidak stabil,” tambah Achrainer.

Kelanjutan "kebijakan kosmetik"

Pandangan ini juga diamini oleh Gamal Abdel Gawad, profesor ilmu politik di American University di Kairo dan penasihat lembaga think tank Al-Ahram Center for Political and Strategic Studies yang berbasis di Kairo. "Baik kawasan maupun dunia tidak siap menghadapi situasi yang bergejolak di Mesir akibat dampak ekonomi,” kata Gawad. Dalam pandangannya, perang di Gaza "merupakan risiko terhadap keamanan nasional Mesir yang telah mengarah pada persatuan dan peningkatan dukungan terhadap presiden,” katanya kepada DW.

Bagi Timothy Kaldas, hal ini juga berarti bahwa "melemahkan posisi Barat terhadap malpraktek ekonomi dan pelanggaran hak asasi el-Sissi”. Patut diragukan bahwa "reformasi yang diperlukan akan segera terwujud."

Ahmed Mefreh, direktur eksekutif kelompok hak asasi manusia Committee for Justice yang berbasis di Swiss, berpendapat, kemungkinan terpilihnya kembali el-Sissi akan mengarah pada "kelanjutan kebijakan kosmetik yang ada saat ini terkait hak asasi manusia."

Meskipun rezim Mesir telah membebaskan antara 1.000 sampai 1.500 tahanan politik tahun ini, sebagai bagian dari Dialog Nasional dan pembukaan politik, kelompok hak asasi manusia mengklaim bahwa setidaknya ada tiga kali lebih banyak tahanan politik yang ditangkap pada periode yang sama. "Banyak di antara mereka yang terus ditahan tanpa pengadilan atau bahkan tuntutan,” kata Kaldas dari Tahrir Institute.

"Skenario kedua adalah kembalinya penindasan langsung, termasuk menargetkan pembela hak asasi manusia dan organisasi hak asasi manusia di Mesir dan di pengasingan,” kata Mefreh kepada DW. "Perbedaannya yang utama adalah, apakah rezim tersebut berada di bawah tekanan internasional yang signifikan untuk memperbaiki catatan hak asasi manusia selama krisis ekonomi saat ini, atau tidak,” katanya, seraya menambahkan bahwa konflik baru-baru ini antara Israel dan Gaza akan membuat skenario kedua "lebih mungkin terjadi pada periode mendatang.”

(hp/as)