1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

080111 Irak al-Sadr

8 Januari 2011

Sekembalinya dari Iran, tokoh Syiah Irak, Muqtada al-Sadr segera menyerukan pendukungnya untuk melawan pendudukan oleh AS. Ia disinyalir ingin menciptakan kekuatan politik baru dengan mengacu pada Hizbullah di Libanon.

https://p.dw.com/p/zvGJ
Muqtada al-Sadr di Najaf, IrakFoto: AP

Moqtada al-Sadr berseru dan puluhan ribu orang berdatangan dari seluruh penjuru negeri, berbondong-bondong sembari menyerukan "tidak kepada Amerika". Sebagian bahkan berkemah di depan kediaman tokoh Syiah itu selama berhari-hari.

Hari Rabu (5/1) pekan lalu al-Sadr secara mengejutkan kembali ke kota asalnya Najaf setelah mengungsikan diri selama empat tahun di kota Qum, Iran. Dalam pidato perdananya hari Sabtu (8/1) di Najaf, sosok yang di Iran sering dielu-elukan sebagai "Hassan Nasrullah baru" itu berusaha menjauhkan diri dari reputasinya sebagai demagog yang berkepala panas.

"Pemerintah baru kini sudah terbentuk. Kalau mereka berguna bagi negara, masyarakat dan keamanan, maka kita akan mendukungnya. Tapi kalau mereka tidak berbakti pada rakyat, maka kita memiliki beberapa opsi politis. Kita harus memberikan waktu buat pemerintahan ini agar mereka bisa membuktikan mereka mengabdi pada rakyat. Pemerintah sebaiknya memulai dengan memberikan layanan kepada masyarakat," katanya.

Al-Sadr kemudian menyerukan kepada pendukungnya agar memerangi Amerika Serikat, melalui segala macam cara, termasuk dengan mengangkat senjata. Para pengamat meyakini, kepulangannya ke Najaf berkaitan dengan rencana untuk mentransformasi gerakan politiknya menjadi kekuatan politik dengan mengacu pada partai Hizbullah di Libanon. Hal tersebut tampak jelas dari penolakan Al-Sadr untuk melucuti tentara Mahdi yang dipimpinnya.

Beberapa pekan lalu al-Sadr setelah mendapat tekanan dari Iran akhirnya mengungkapkan dukungannya atas masa jabatan kedua Perdana Menteri Nuri Al-Maliki. Selama bertahun-tahun kedua tokoh itu saling bermusuhan. Namun kini gerakannya memegang peranan kunci di koalisi pemerintahan, yakni berupa 39 kursi di parlemen dan tujuh jabatan menteri di kabinet pemerintah. Dengan kepulangnnya al-Sadr diyakini ingin menambah tekanan kepada al-Maliki agar menepati janji politiknya.

Ketegangan antara al-Maliki dan al-Sadr dapat terjadi dalam beberapa bulan kedepan seputar keberadaan militer Amerika Serikat di Irak, yang diyakini akan melampaui tenggat penarikan mundur pasukan tanggal 31 Desember mendatang seperti yang telah disepakati. Bagaimanapun juga, Al-Sadr sejak awal telah menentang apa yang disebutnya pendudukan oleh AS. Pendukungnya mengancam akan meninggalkan koalisi jika al-Maliki kedapatan berupaya mengulur tenggat penarikan mundur pasukan AS.

Popularitas al-Sadr yang terutama menyebar di kalangan miskin di Baghdad dan kota-kota besar lainnya bersumber dari dua hal, yakni bahwa ia adalah putra seorang Ayatollah yang dieksekusi mati di era kediktatoran Saddam Hussein. Selain itu al-Sadr tidak termasuk politikus Irak yang di era Saddam melarikan diri ke luar negeri.

Para pengamat meyakini, kepulangan al-Sadr semakin memperkuat pengaruh Iran di negeri jirannya itu. Harian Inggris The Guardian bahkan menyebutnya sebagai sebuah "kudeta" yang dikontrol oleh Iran di Baghdad.

Kühntopp/Nugraha
Editor: Setyarini