1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanMalaysia

Murid Sekolah Malaysia Galang Diskursus Kekerasan Perempuan

1 Mei 2021

Lelucon perkosaan yang dibuat seorang guru memicu perdebatan di Malaysia soal isu yang selama ini tabu: pendidikan seks dan kekerasan seksual. Uniknya, diskursus soal hak perempuan digalang murid sekolah.

https://p.dw.com/p/3snj9
Ilustrasi kekerasan seksual di sekolah
Ilustrasi kekerasan seksual di sekolahFoto: Pedro Fiuza/ZUMA Wire/picture alliance

Ketika Ain Husniza Saiful Nizam pulang dari sekolah pekan lalu, dia tidak menyangka video yang baru diunggahnya di TikTok akan ramai diperbincangkan. Di dalamnya, Ain merekam seorang guru pria yang hari itu membuat lelucon tentang pemerkosaan di depan kelas.

Setelah videonya viral, seisi negeri mendebatkan isu yang selama ini dihindari, seputar pendidikan seksual, kebencian terhadap perempuan dan kekerasan seksual

"Ada banyak murid yang maju dan menceritakan pengalaman mereka sebagai korban kepada saya," kata Ain kepada Reuters. "Tapi banyak yang memilih mendiamkan pengalaman para murid. Dan buat saya, hal ini sangat, sangat menyedihkan."

Remaja perempuan 17 tahun itu sudah sejak lama giat menyuarakan isu-isu sosial di lingkungannya. Tapi baru kali ini dia mendapatkan reaksi "yang luar biasa." Videonya di TikTok saat ini sudah ditonton lebih dari 1,4 juta kali. 

Ain membuat tagar #MakeSchoolASaferPlace untuk menyalurkan perdebatan di media sosial. Dia berharap murid-murid sekolah lain akan lebih berani mengisahkan pengalaman mereka di sekolah, termasuk isu rasisme.

"Gerakan kami fokus membuat sekolah menjadi lingkungan yang aman bagi semua murid, terlepas dari gender, perempuan atau laki-laki," kata dia. 

Lantang di media sosial

Saat tagar yang dicetuskan Ain mulai ramai digunakan, kritik dan kecaman mulai berdatangan. Sejumlah murid dan guru menuduhnya hanya ingin merusak citra sekolah. Seorang murid lain mengancam akan memerkosanya. Dia juga mendapat komentar cabul terkait penampilannya di media sosial.

Orang tua Ain yang awalnya sempat kebingungan oleh reaksi negatif terhadap aktivisme putrinya memilih mengadu ke polisi. 

"Jika kita bertingkah normal, atau mendiamkan ucapan seperti itu sebagai sekadar sebuah ‘lelucon', anak perempuan saya mungkin harus mengalaminya juga dengan guru yang sama," kata ibu Ain, Norshaniza Sharifudin.

Polisi urung bertindak setelah keluarga murid yang melayangkan ancaman pemerkosaan menyambangi keluarga Ain untuk meminta maaf. Kepolisian sebaliknya mengarahkan penyelidikan kepada pihak sekolah. 

Perdebatan di media sosial menggerakkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengeluarkan imbauan agar semua instansi mengambil langkah tegas terhadap lelucon perkosaan atau ucapan seksis di lingkungannya. Pada Rabu (28/04), Kementerian Pendidikan mengumumkan akan melakukan penyelidikan.

Cheryl Fernando dari kelompok advokasi, Pemimpin GSL, mengatakan murid seperti Ain mewakili generasi baru yang tidak takut menggunakan media sosial untuk menyuarakan pendapatnya.

"Adalah penting bagi guru dan para pemimpin untuk tahu cara menghadapi murid-murid ini," kata dia. "Mereka adalah generasi yang punya akses luas terhadap teknologi dan platform media sosial yang mencapai seluruh dunia." 

rzn/ae (Reuters)