1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Muslimah Malaysia Kerap Menghadapi Pelecehan di Dunia Maya

22 Agustus 2017

Perempuan di Malaysia sering menjadi target pelecehan di dunia online, terkait tampilan fisik dan pandangan mereka. Namun, muslimah jauh lebih sering lagi dicaci di dunia maya akibat tuntutan sosial atas atribut mereka.

https://p.dw.com/p/2iYkr
Malaysia Mädchen
Foto: Getty Images/AFP/M. Vatsyayana

Seorang remaja berumur 15 tahun asal Malaysia awal tahun 2017 berkicau tentang mimpinya: ia ingin menjadi perdana menteri perempuan pertama di Malaysia. Reaksi para netizen di negeri Jiran itu justru mencaci maki tampilannya yang tidak menggenakan hijab.

“Kami melihat ada tren yang muncul bahwa muslimah, khususnya di Malaysia, menjadi target dalam berbagai hal terutama terkait penampilan mereka," ungkap Juana Jaafar, aktivis perempuan yang mendampingi kasus remaja berusia 15 tahun tersebut. Insiden yang menimpa remaja putri ini menjadi pemantik yang mengungkap kenyataan yang dihadapi perempuan di Malaysia. “Jika Anda memiliki nama melayu, secara cepat Anda akan langsung menjadi target,“ kata Juana Jaafar lebih lanjut seperti dikutip di BBC.

Jaga Tepi Kain

Di Malaysia, perempuan kerap menjadi target pelecehan di dunia maya, namun insiden ini lebih sering menyasar perempuan muslim. Masyarakat Malaysia mengenal istilah budaya “jaga tepi kain“, ikut campur urusan orang lain adalah hal biasa. Budaya “jaga tepi kain“ ini semakin kebablasan semenjak makin banyaknya situs tabloid gosip online berbahasa melayu.

"Insiden seperti ini terjadi secara global, namun ada faktor tambahan di Malaysia, yakni pembenaran moral yanng didasarkan pada interpretasi agama yang sempit,“ ujar Dr Alicia Izharuddin, dosen studi jender dari Univesiti of Malaya. Meski demikian, Juana Jaafar berpendapat bahwa fenomena ini dianggap lebih sebagai masalah budaya ketimbang agama.“Agama tidak mendorong tingkah laku jaga tepi kain. Ada hadis yang menyorot penghormatan terhadap privasi individu,“ungkapnya.

Perempuan berkicau lewat media sosial

Tren yang kini merebak di kalangan perempuan Malaysia adalah menyuarakan isu-isu tentang kaumnya lewat sosial media, terutama twitter. Namun, ini pulalah yang memicu semakin tingginya pelecehan terhadap perempuan di dunia maya.

Sederet nama perempuan tercatat kerap menjadi target di dunia maya karena pandangan dan pilihan berbusana mereka. Maryam Lee, berusia 25 tahun, menjadi sasaran kemarahan netizen Malaysia sejak dia memutuskan melepaskan jilbab dan menyebut dirinya sebagai feminis. Nama lainnya, Nalisa Alia Amin menjadi viral ketika ia menyuarakan pandangannya yang pro LGBT. Caci maki yang kerap diterimanya sering kali justru menyasar bentuk tubuhnya. “Mereka yang tidak bisa menerima pandangan saya akan menyerang tampilan fisik, terutama karena saya agak gemuk,“ungkapnya. Para perempuan yang menjadi korban di dunia maya ini sepakat para netizen pria muslim yang sering menyerang mereka di dunia online.

Screenshot Malaysia Malaymail  Shell Model
Aksi pelecehan terhadap reklame di SPBU Shell di Malaysia yang dilakukan para pelanggan viral di media sosial Foto: themalaymailonline.com

Pelecehan terhadap reklame Shell

Awal Juli 2017, pelecehan seksual di Malaysia sempat membuat perusahaan minyak asal Belanda, Shell meradang. Sejumlah pelanggan pria memperagakan adegan pelecehan seksual terhadap reklame berbentuk tubuh perempuan  yang dipajang di stasiun Shell di Malaysia. Aksi ini kemudian difoto dan diunggah ke jejaring media sosial dan menjadi viral.  Shell segera menarik seluruh reklame yang tersebar di Malaysia dan mengecam perbuatan tersebut. Ulah para pelaku dianggap sebagai bentuk penghinaan. "Mereka mungkin hanya bercanda, tapi saya merasa terhina. Meskipun itu hanya sebuah gambar, tapi itu adalah saya," kata Nor Shafila Khairusalleh, perempuan yang menjadi model reklame tersebut seperti diberitakan portal berita mStar.

Berlindung di mana?

Malaysia tidak memiliki hukum terkait gender yang dapat melindungi perempuan dari pelecehan online, sebagian alasannya karena masih ada persepsi yang memandang apa yang terjadi di dunia online bukanlah bagian dari kenyataan sebenarnya. Undang-undang Komunikasi dan Multimedia yang ada justru membatasi kebebasan bersuara di internet, para pengguna internet  kerap dihukum jika tidak sejalan dengan garis politik dan agama pemerintah.

"Metode propaganda tandingan hanya akan memperuncing perseteruan terutama bila berhadapan dengan perempuan, mereka tidak hanya akan diserang,  tapi juga dipermalukan secara fisik, dan identias muslim mereka turut dicermati,“ ungkap Juana Jaafar.  

Ed: ts/hp (bbc, malaymail online)