1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Myanmar di Ambang Kudeta?

29 Januari 2021

Suasana genting menggelayuti Myanmar menyusul desas-desus ihwal kudeta militer. Tatmadaw menuduh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) melakukan kecurangan pemilu, dan oleh karenanya mengancam akan mencabut konstitusi.

https://p.dw.com/p/3oZ0K
Aung San Suu Kyi di Den Haag
Foto ilustrasi: Aung San Suu Kyi tatkala di Mahkamah Internasional Den HaagFoto: Getty Images/AFP/ANP/K. van Weel

Belasan perwakilan asing, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, mendesak militer Myanmar untuk "menaati norma demokratis,” pada Jumat (29/1). Sebelumnya PBB menyatakan kekhawatiran perihal niat militer Myanmar atau Tatmadaw mengkudeta pemerintahan sipil.

Baru satu dekade silam Myanmar mengakhiri separuh abad kekuasaan militer. Konstitusi yang baru mendikte pemerintah sipil untuk membagi kekuasaan dengan militer, antara lain berupa jatah 25% kursi di parlemen melalui mekanisme penunjukan langsung.

Namun bulan madu di Naypyidaw berakhir November silam, ketika Tatmadaw menuduh NLD mencurangi pemilihan umum. Dalam pemilu tersebut, partai pimpinan Aung San Suu Kyi ini memenangkan hampir 83% suara.

Adapun Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang dibentuk militer, dikabarkan menangguk malu usai hanya mengamankan 33 dari 476 kursi di badan legislatif.

Tuduhan kecurangan oleh militer

Sejak berpekan-pekan terakhir, para jendral menuduh NLD memalsukan daftar pemilih untuk mendapat tambahan suara. Seorang jurubicara Tatmadaw menolak mengecualikan opsi kudeta untuk menanggulangi apa yang disebutnya sebagai "krisis politik”.

Kekhawatiran memuncak ketika Panglima Militer, Jendral Min Aung Hlaing – salah satu figur paling berkuasa di Myanmar – ikut menggemakan tuntutan tentara. Dia mengatakan konstitusi negara bisa "dicbut” dalam kondisis tertentu.

Sejak Jumat (29/1), aparat keamanan memenuhi ibu kota Naypyidaw untuk menjaga sidang perdana parlemen baru pada 1 Februari. Polisi mendirikan barikade di jalan-jalan dengan pagar pembatas atau kawat berduri.

Sebanyak 16 perawakilan asing menerbitkan pernyataan bersama sebagai peringatan terhadap Tatmadaw. "Kami menantikan pembukaan sidang parlemen pada 1 Februari dan pemilihan presidenserta ketua umum parlemen secara damai,” tulis mereka.

"Kami menentang setiap bentuk usaha mengubah hasil pemilihan umum atau menghalangi transisi demokratis di Myanmar.”

Ambisi politik para jenderal

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, juga mengutarakan "rasa kekhawatiran yang besar” terkait kisruh politik di Nyapyidaw, kata jurubicaranya, Stephane Dujarric.

"Dia mengajak semua pihak untuk menghentikan hasutan atau provokasi, dan sebaliknya mendemonstrasikan kepemimpinan serta tunduk pada norma-norma demokratis, dan menghormati hasil pemilu,” katanya dalam keterangan tertulis.

Komisi Pemilihan Umum sejauh ini mengatakan pihaknya belum menemukan adanya bukti manipulasi secara sistematis, meski mengakui "kekurangan” dalam penyusunan daftar pemilih. Saat ini KPU Myanmar baru cuma menyelidiki 287 laporan.

Meski demikian, Tatmadaw enggan mencabut tuduhan. Saat berpidato di hadapan anggota militer Rabu (28/1) silam, Jenderal Hlaing mengatakan konstitusi adalah "ibu dari semua hukum,” dan jika tidak ditaati, maka sebaiknya dicabut. Dia mencontohkan langkah serupa pernah diambil di masa lalu di Myanmar.

Namun menurut pakar hukum Myanmar, Khin Maung Zaw, mencabut konstitusi yang disusun bersama oleh militer dan sipil bukan langkah yang bijak. "Bisa jadi mereka ingin mencabut konstitusi karena mereka tidak bisa melindungi kepentingan sendiri,” kata dia.

Laku Tatmadaw diyakini digerakkan oleh petinggi militer yang ingin memanfaatkan situasi menjelang masa jabatan berakhir. "Ambisi politik petinggi Tatmadaw belum terpenuhi,” kata kolumnis Myanmar, San Yu Kyaw, "sebab itu mereka bertingkah seperti ini.”

rzn/hp (rtr, afp)