1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nairobi, Kota Penyelenggara Konferensi Perubahan Iklim PBB

6 November 2006

Ibukota Kenya yang dulunya merupakan daerah hijau, kini berubah menjadi kota dengan kehidupan yang keras.

https://p.dw.com/p/CPW9
Skyline di kota Nairobi
Skyline di kota NairobiFoto: DW

Sampai delapan jalur kendaraan bermotor memenuhi lalu lintas jalan raya di kota Nairobi. Pusat kota dipadati oleh pegawai bank, gelandangan dan pedagang kaki lima yang menjual cinderamata kepada turis-turis.

Sekitar seratus tahun yang lalu, singa dan gajah masih berkeliaran di wilayah ini yang dulunya adalah rimba belantara dan sabana. “Enkara Nyrobi” atau “Wilayah Air Dingin” adalah sebutan untuk Nairobi di masa silam.

Kini jumlah penduduk kota Nairobi sudah mencapai tiga juta. Mereka ada yang hidup di gedung-gedung mewah, daerah perumahan bagus atau perkampungan kumuh yang pertumbuhannya sangat pesat. Nairobi adalah pusat perekonomian di wilayah timur Afrika. Berbagai perusahaan asing dan organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sejak tahun 1972 merintis program lingkungannya UNEP, membuka kantor di kota ini.

Kesenjangan antara miskin dan kaya di Nairobi sangat menyolok. Sebutan “Green City in the sun” sudah diganti dengan “Nairobbery”. Sebab, Nairobi adalah salah satu kota yang paling tidak aman di dunia. Mantan Direktur UNEP Klaus Töpfer pernah hidup di kota tersebut selama delapan tahun. Ia bercerita:

“Sebetulnya Nairobi masih memiliki lahan hijau. Namun, sebutan tersebut sudah tidak sepadan dengan situasi sekarang. Nairobi berubah menjadi kota keras, kota yang sangat maskulin. Kota ini lebih menggambarkan konfrontasi daripada hidup atau bekerja bersama. Di mana-mana terdapat pagar listrik dan jendela berterali.”

Orang lalu lalang ditembak mati di jalanan terbuka hanya untuk sepuluh Dolar saja. Mobil dirampok. Tidak jarang perampokan berakhir dengan pemerkosaan dan pembunuhan. Para penjahat bahkan meminjam senjata dari polisi yang gajinya memang sangat buruk.

Demikian juga, pemenang hadiah nobel dari Kenia Wangari Maathai menyesali merosotnya kualitas hidup di Nairobi:

“Saya mengimpikan Nairobi sebagai kota, dimana kita dapat berjalan-jalan dengan nyaman. Apakah di jalanan atau di hutan-hutan. Hanya sekedar jalan-jalan saja.”

Akan tetapi dalam satu hal, tidak ada kota metropolitan lainnya yang dapat menyaingi Nairobi. Kota in memiliki cagar alam nasional dengan flora dan fauna yang tidak ada bandingannya. Namun, sayangnya di sini pun para pecinta alam hanya dapat berjalan dengan menggunakan mobil. Kalau tidak, mereka bisa-bisa menjadi mangsa badak, banteng atau singa.