1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Naoto Kan Tetap Bertahan di Kursi Perdana Menteri

14 September 2010

Setelah unggul pada persaingan internal partai dalam perebutan kursi ketua partai Demokratik Jepang DPJ, Perdana Menteri Jepang Naoto Kan akhirnya tetap memangku jabatan sebagai pemimpin pemerintahan.

https://p.dw.com/p/PC53
PM Jepang Naoto KanFoto: AP

Tanpa diduga Perdana Menteri Jepang Naoto Kan berhasil mengalahkan penantangnya Ichiro Ozawa hari Selasa (14/09) dalam pemungutan suara untuk mempertahankan jabatannya sebagai ketua Partai Demokratik Jepang, DPJ. Pasar-pasar finansial sebelumnya sudah bersiap-siap untuk menghadapi perubahan kebijakan perekonomian yang akan meningkatkan pengeluaran negara, seandainya Naoto Kan kalah dalam pemungutan suara. Saat ini kegiatan ekspor Jepang harus berjuang melawan nilai mata uang Yen yang kuat, melemahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya hutang negara.

Kemenangan Naoto Kan yang berusia 63 tahun itu, hanya memberikan peluang untuk bernafas sejenak. Ia memang mendapat dukungan yang besar pada basis partai, tetapi dalam fraksi parlemen ia hanya mengantongi sekitar 50 persen suara. Sebagai perdana menteri ia kini harus menggalang dukungan dari anggota parlemen, dan bersamaan dengan itu juga mengupayakan kompromi dengan oposisi yang menguasai Majelis Tinggi parlemen Jepang. Ini dapat mengakibatkan melemahnya posisi Kan dan mempersulit upaya-upayanya untuk memperkecil defisit negara serta memangkas pengeluaran.

Sedangkan Ozawa yang berusia 68 tahun sebelumnya menyatakan, bila ia menang dalam pemungutan suara sebagai ketua partai DPJ, ia akan menepati salah satu janji partai pada kampanye pemilu, yaitu mengupayakan agar konsumen mendapat lebih banyak uang untuk dibelanjakan. Selain itu ia juga menyinggung hendak memerangi memburuknya perekonomian Jepang melalui hutang baru.

Sejak berpekan-pekan pedagang saham di Tokyo memang menuntut agar bank sentral bertindak untuk menangani Yen yang menguat. Namun tidak banyak kemungkinan yang ada saat ini. Tingkat suku bunga sudah hampir mencapai nol dan sebenarnya tidak dapat diturunkan lagi. Yang bisa dilakukan hanya menjual Yen dalam jumlah besar-besaran untuk menghindari meningkatnya nilai tukar Yen. Daisaku Ueno, pakar devisa yang juga adalah presiden sebuah perusahaan perdagangan devisa mengutarakan: "Bila Yen melebihi level tahun 1995, ketakutan akan menyebar bahwa semuanya tidak akan lagi terkendalikan. Investasi publik pada infrastruktur dan di luar negeri bisa menurun. Ini akan menimbulkan risiko bahwa situasi mata uang ini dapat merusak perekonomian Jepang dalam jangka panjang."

Setahun setelah mengambil alih kekuasaan di Jepang, banyak pemilih DPJ kecewa. Sebulan setelah Naoto Kan memangku jabatan sebagai perdana menteri, pemerintah koalisi kehilangan mayoritasnya pada pemilu Majelis Tinggi bulan Juli lalu. Saat itu Kan mempertimbangkan untuk menaikkan pajak penjualan sebesar lima persen untuk menyehatkan keuangan negara.

Jepang mencatat defisit anggaran yang paling besar di antara negara-negara industri. Menurut perusahaan pemeringkat saham dan obligasi Standard and Poor's, kredibilitas kredit Jepang menurun. Memang kemenangan Kan tidak otomatis memperbaiki penilaian itu. Kan tetap sebagai perdana menteri Jepang dinilai lebih menunjukkan kelanjutan dari kebijakan finansial dan perekonomian yang sama seperti sebelumnya.

Para pakar berpendapat bahwa meski keberhasilannya dalam partai, Kan harus mendekati pendukung Ozawa. Selain itu Naoto Kan harus menemukan jalan agar undang-undang dapat diloloskan di parlemen, misalnya melalui kerja sama dengan partai oposisi. Demikian diutarakan Koichi Haji, pakar ekonomi senior dari Lembaga Penelitian Ekonomi NLI.

Christa Saloh/rtrd/dpae

Editor: Hendra Pasuhuk