1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAmerika Utara

Bagaimana Nasib Donald Trump Setelah Lengser?

Kristie Pladson
15 November 2020

Presiden AS ini belum akui kekalahannya dalam pemilu, tapi bukan berarti dia bisa tinggal di Gedung Putih selamanya. Dari gugatan hukum hingga ke dunia televisi, DW melihat prospek Trump selepas masa kepresidenan.

https://p.dw.com/p/3l9Ch
Presiden AS Donald Trump
Presiden AS Donald TrumpFoto: Chris Kleponis/Captital Pictures/picture alliance

Satu minggu sudah berlalu sejak proyeksi kemenangan mantan Wakil Presiden dari Partai Demokrat Joe Biden dalam Pemilu Presiden di Amerika Serikat. Bila resmi menang, pelantikan Biden akan dilakukan dalam waktu lebih dari dua bulan mendatang. Namun saat ini Biden sudah mulai beraksi, minggu ini ia bertemu dengan para ahli untuk membahas rencana aksi melawan wabah virus corona.

Banyak yang kemudian bertanya-tanya, bagaimana dengan Donald Trump, presiden yang sejauh ini menolak untuk secara terbuka menerima kekalahan elektoralnya itu. Kecuali ada perubahan besar, Donald Trump akan keluar dari Gedung Putih bagaimanapun caranya pada 20 Januari 2021.

Berikut hal-hal yang kemungkinan telah menunggunya setelah meninggalkan kantor kepresidenan:

Tuntutan hukum bertubi

Sebuah kebijakan Departemen Kehakiman AS, yang dibuat pada tahun 1973 selama skandal Watergate yang kemudian menjatuhkan Presiden Richard Nixon, telah mencegah pengadilan mendakwa presiden yang sedang menjabat. Meninggalkan Gedung Putih akan mencabut kekebalan ini dari Trump sebagai seorang presiden, membuatnya berpotensi menghadapi banyak tuntutan hukum yang menumpuk selama empat tahun dia menjabat.

Di negara bagian New York, saat ini sedang berlangsung investigasi kriminal dan perdata terhadap praktik bisnis Trump. Presiden juga menghadapi tuntutan hukum dari para perempuan yang menuduhnya melakukan pelecehan seksual. Itu hanya beberapa contoh.

Ada kemungkinan bahwa Trump akan mencoba menggunakan kekuasaan konstitusionalnya untuk mengeluarkan pengampunan pidana guna membersihkan diri sendiri sebelum meninggalkan jabatannya. Tetapi sejauh ini belum ada presiden yang pernah mencoba mengampuni dirinya sendiri dan tidak jelas apakah langkah itu akan tetap punya kekuatan hukum. 

Biden, saat resmi menjabat sebagai presiden, dapat memilih untuk mengampuni Trump, seperti yang dilakukan Presiden Gerald Ford kepada Nixon setelah pengunduran dirinya pada tahun 1974.

Jaksa Agung Negara Bagian New York Letitia James
Jaksa Agung Negara Bagian New York Letitia James pada hari Senin, 24 Agustus 2020 meminta pengadilan untuk menegakkan panggilan pengadilan atas dugaan penggelembungan aset bisnis Trump dalam laporan keuangan. Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Drew

Tumpukan utang

Beberapa orang juga berspekulasi bahwa intensitas pencalonan presiden periode kedua Trump dimotivasi oleh kebutuhan untuk mempertahankan perlindungan hukum dan perlindungan finansial dari jabatannya

"Adalah kantor kepresidenan yang menjauhkannya dari penjara dan kemiskinan," ujar profesor sejarah dari Yale, Timothy Snyder, kepada majalah The New Yorker pada hari-hari menjelang pemilu.

Pada bulan September, penyelidikan pajak Trump oleh New York Times mengungkapkan bahwa presiden berhutang lebih dari 400 juta dolar AS (Rp 5,65 triliun), sebagian besar kepada Deutsche Bank, dengan masa jatuh tempo empat tahun ke depan.

Beberapa hari sebelum pemilu, eksekutif senior Deutsche Bank mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa kekalahan Trump akan membuat pemberi pinjaman tidak terlalu canggung untuk menuntut pembayaran kembali pinjaman.

Trump juga menghadapi kemungkinan harus membayar kembali uang pengembalian pajak sebesar 72 juta dolar AS (sekitar Rp 1 triliun)  yang dia klaim pada tahun 2010, audit yang sedang berlangsung melihat klaim kerugian oleh Trump sebesar 1,4 miliar dolar AS (kurang-lebih Rp 19,8 triliun) pada tahun 2008 dan 2009.

Mengurus bisnis keluarga

Presiden Trump masih memiliki lebih dari 500 usaha, termasuk hotel, resor, dan klub golf, yang sering dia kemukakan selama masa kepresidenannya. Putra-putra Trump yang sudah dewasa memang telah mengambil alih manajemen harian The Trump Organization begitu dia menjabat, tetapi presiden tetap mempertahankan akses ke aset bisnisnya. Partai Demokrat menyebut langkah ini penuh konflik kepentingan, menuduh Trump telah menjadikan kesepakatan bisnis potensial untuk memengaruhi kebijakan luar negeri dan menggunakan kantor kepresidenan untuk keuntungan finansial pribadi. 

Setelah lengser, Trump dapat kembali ke peran yang lebih aktif di kerajaan bisnisnya. Namun, sebagian besar kepemilikannya berada di real estat dan hotel, dan majalah bisnis Forbes memperkirakan bahwa The Trump Organization telah mengalami pukulan signifikan selama pandemi virus corona. Valuasi bisnisnya turun 1 miliar dolar, menjadi 2,1 miliar dolar AS antara tanggal 1 - 18 Maret 2020, menurut Forbes.

Meski kursi kepresidenan mungkin berfungsi sebagai peluang bagi pemasaran, dengan cara lain hal itu juga telah merusak citra mereknya. Menurut perhitungan dari portal real estat City Realty, harga unit kondominium di gedung milik jejaring bisnis Trump telah turun 25 persen dalam empat tahun terakhir di New York City, sebuah kota di mana Trump sangat tidak populer. Beberapa gedung apartemen juga dikabarkan telah menghapus namanya dari gedung tersebut.

Kembali ke layar televisi

Beberapa pengamat seperti mantan penjabat Kepala Staf Gedung Putih Mick Mulvaney memprediksibahwa Trump akan tetap berada di panggung politik, dengan fokus pada pemilu melawan Biden tahun 2024. Tetapi banyak juga yang berpikir dia punya rencana lain.

“Ketika Anda melihatnya di jalur kampanye, betapa bersemangatnya dia dan betapa berenerginya dia saat berada di hadapan publik, cukup jelas apa yang ingin dia lakukan," kata jurnalis dan penulis biografi Trump, Michael D'Antonio, kepada DW. "Saya perkirakan dia akan terus-menerus tampil di televisi."

D’Antonio dan yang lainnya berspekulasi bahwa Trump akan memanfaatkan kedekatannya dengan media dan bermitra dengan perusahaan media konservatif, atau mungkin mendirikan bisnis media miliknya sendiri. Opsi ini telah ia canangkan pada tahun 2016 seandainya saat itu ia kalah dalam pemilu. Menurut media Business Insider, penasihat senior dan menantunya Jared Kushner telah "membicarakan" kemungkinan itu pada bulan Oktober.

Media yang dipimpin Trump bisa jadi lebih berhaluan sayap kanan daripada Fox News yang menjadi media favoritnya. Media ini pernah menjadi corong utama presiden, tetapi ketegangan antara Trump dan jaringan ini telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Trump dilaporkan sangat marah karena jaringan media ini tidak melaporkan lebih banyak berita untuk menantang legitimasi kemenangan Biden. (ae/vlz)